Kisah Pedagang Takjil di Tengah Pandemi Corona

Penjual yang langsung menggelar dagangan di lapak tak seberuntung mereka yang beralih menjajakan takjil secara daring.

Aroma sedap aneka takjil tak sekomplit Ramadhan tahun lalu. Kepadatan lalu lintas maupun lalu lalang para pengunjung pun tak separah biasanya. Tak banyak pedagang takjil berderet di tepi Jalan Bendungan Hilir, Jakarta Pusat, itu.

Sebagian pedagang takjil lainnya memilih menggelar dagangan di dalam pasar. Padahal, tahun-tahun sebelumnya, meja-meja dagangan hampir rapat satu sama lain. Pun pembeli berjubel.

Beragam kue, aneka macam gorengan, atau deretan kolak dalam bungkusan rapi yang biasanya ditata begitu unik serta menarik, lenyap. Para pedagang yang biasanya memadati area tersebut mulai pukul 15.00, kali ini hingga menjelang buka puasa, senyap.

“Ya sepi. Biasanya kan para pembelinya orang-orang kantoran dekat sini. Namun, sekarang banyak kantor libur. Jadi ya, (keberadaan pasar takjil) ikut terimbas,” kata Amin (39), salah seorang juru parkir di Pasar Bendungan Hilir, Senin (27/4).

Amin berkisah, suasana sepi tersebut terjadi sejak hari pertama puasa. Pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) memang sangat berpengaruh. Selain pedagang takjil yang bisa dihitung jari jumlahnya, hanya beberapa petugas Satuan Polisi Pamong Praja dan kepolisian sesekali memantau kondisi pasar.

Salah seorang pedagang takjil Umi (48) mengeluhkan kondisi tersebut. Pada tahun lalu, dalam sehari dia bisa meraup keuntungan Rp 1 juta. Beda lagi pada akhir pekan. Keuntungan bisa diperoleh berkali-kali lipat dengan mudah. Kini, untung Rp 100 ribu per hari sudah lumayan.

“Situasi sekarang, bahkan banyak pedagang enggak bisa jualan karena tidak punya modal,” ujar dia.

Kawasan Pasar Bendungan Hilir merupakan salah satu pasar yang dijadikan sentra penjualan takjil. Biasanya, per hari omzet para pedagang takjil di sini bisa mencapai lebih dari Rp 200 juta. Pandemi COVID-19 merontokkan usaha pedagang tahunan itu.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebenarnya mengizinkan para pedagang tetap berjualan saat PSBB berlangsung. Namun, aktivitas pedagang dan pembeli diharuskan mengikuti protokol kesehatan termasuk mengenakan masker, pedagang harus menyediakan air bersih dan sabun cuci tangan atau hand sanitizer, serta tetap saling menjaga jarak fisik.

Mengacu Peraturan Gubernur Nomor 33 Tahun 2020 tentang PSBB, pedagang diharuskan menyediakan wadah untuk melayani pembelian secara take away (dibungkus), menjaga jarak antrean 1 meter, menyediakan alat bantu seperti penjepit makanan, plastik, dan sarung tangan plastik.

Selain itu, proses pemanasan makanan harus dijamin pedagang demi menjaga kebersihan. Umi mematuhi semua aturan tersebut. Untuk menjaga keamanan, dia menggunakan masker dan sarung tangan plastik saat melayani pembeli. “Saya selalu terapkan itu sejak berjualan,” kata perempuan yang sudah berjualan takjil di kawasan tersebut lebih dari 10 tahun itu.

Tak hanya di kawasan Bendungan Hilir. Suasana sepi juga tampak di sekitar Masjid Sunda Kelapa, Jakarta Pusat. Pelataran masjid dan tepi jalan di depannya yang biasanya sangat ramai para pedagang dan pembeli jelang buka puasa, kini muram.

Hanya ada beberapa penjual makanan. Gerbang masjid tertutup rapat. Ini karena shalat berjamaah ditiadakan. Adapun sejumlah pengojek daring tengah mengambil pesanan. Yang lain beristirahat di area parkir masjid.

Salah seorang pedagang minuman di kawasan Masjid Sunda Kelapa, Cecep (40) menuturkan, biasanya bukan hanya pedagang takjil yang sejak sore berkumpul. Pedagang atribut dan busana Muslim ramai pada bulan Ramadhan.

“Sekarang dibatasi. Hanya pedagang yang sehari-hari jualan di sini saja. Padahal, biasanya dari luar (pedagang) banyak yang buka lapak,” ujar dia.

Kawasan Senen yang biasanya ramai pedagang dan pembeli takjil, tahun ini juga tak jauh berbeda dengan kawasan Bendungan Hilir. Sejumlah pedagang memang masih membuka lapak. Namun, tak sepadat tahun lalu. Mereka tampak mengenakan masker dan sarung tangan. Di sudut lapak, air bersih untuk membasuh tangan dan sabun disediakan.

Agak berbeda di kawasan Jalan Panjang, Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Kawasan yang biasanya sepi pedagang takjil, kini justru ramai. Penggunaan masker baik pedagang maupun pembeli memang tampak familiar. Namun, yang mengkhawatirkan, jarak fisik tak terkontrol.

Kepala Satuan Polisi Pamong Praja DKI Jakarta Arifin mengatakan, selama PSBB memang tidak ada larangan penjualan makanan untuk berbuka puasa. Namun, pedagang wajib mematuhi aturan PSBB. “Silakan saja berdagang, asal tidak di tempat yang dilarang seperti trotoar. Jangan sampai mengganggu ketertiban umum,” katanya.

Menurut Arifin, Satpol PP akan memantau berbagai tempat yang biasanya digunakan pedagang takjil selama Ramadhan agar kerumunan berlebihan, tidak terjadi. “Masyarakat harus selalu ingat tentang jarak fisik. Pedagang juga harus memperhatikan langkah pencegahan yang sudah dibuat pemerintah. Tidak boleh sembarangan,” ujar dia.

Bagi pedagang yang terbukti melanggar aturan PSBB, sanksi tegas menanti. “Tentu sebelumnya kami peringatkan. Kalau ada pelanggaran lagi, kami harus tindak. Bisa ditutup,” kata Arifin.

Di sisi lain, kondisi tak bersahabat jika memaksa berjualan langsung di jalanan dalam kondisi seperti saat ini, mengubah cara Aprodita Wina (25) menjajakan takjil. Pada tahun-tahun sebelumnya, dia turut menggelar dagangan takjil di kawasan Citra Raya Festival (Cifes) Cibubur, Bogor, Jawa Barat, bersama rekan-rekannya. Kali ini, dia memilih menjajakan secara daring.

“Di sini kawasan perumahan. Jadi, antar pesanan ke pelanggan relatif mudah. Pintar-pintar kita saja mengubah cara berjualan ketimbang berisiko terserang virus mematikan itu,” ujar dia.

Aneka takjil dia jual. Mulai dari risoles, pisang goreng, kue pandan, tahu isi bakso, tempe goreng, hingga es buah. “Kalau mikir untung, ya tetap untung. Yang unik, sekarang seperti ojek daring saja. Harus rela ke sana ke mari. Enaknya, enggak perlu gelar dagangan di luar rumah,” kata Wina yang mengaku per hari meraup untung antara Rp 200 ribu hingga Rp 500 ribu.

Selain memanfaatkan grup WhatsApp di lingkungan perumahan tempat dia tinggal, Wina menawarkan dagangannya lewat jejaring sosial lainnya. Namun, dia selektif. Hanya pemesan yang tidak terlalu jauh dari tempat tinggalnya yang dilayani. “Pakai kendaraan sendiri soalnya cara mengantar pesanan, jadi utamakan yang deket. Kecuali pesannya banyak, bolehlah agak jauh dikit,” ujar Wina.

Pakar marketing Hermawan Kertajaya menilai, langkah yang diambil Wina sudah tepat. Yang diperdagangkan secara daring pun tak perlu muluk-muluk. “Mulai dari yang kecil-kecil dan memanfaatkan momen. Sekarang Ramadhan. Jualan takjil secara daring, oke juga. Manfaatkan tetangga, kerabat dekat, teman yang rumahnya tidak jauh. Kalau agak jauh, kan bisa pakai ojek daring,” tutur dia.

Menurut dia, bukan hanya takjil untuk buka puasa. Peluang menjual makanan untuk sahur juga memungkinkan dilakukan secara daring. “Kalau si ibu pinter masak, si bapak bisa jadi tukang antarnya. Namun kalau enggak pingin repot, ya pakai ojek daring tadi, bisa juga kan?” kata Hermawan.

Terpenting, kata Hermawan, dalam kondisi sulit seperti saat ini harus dimanfaatkan untuk mengasah cara menangkap peluang bisnis. “Selalu ada peluang meski dalam kondisi krisis,” ujar dia.