Bahaya Fanatisme Buta Terhadap Tokoh Idola

Taushiah: KH. Luthfi Bashori
Transkrip: Rizal Affandi

Kalau mencermati kehidupan umat Islam dewasa ini, dan kita fokuskan di Indonesia saja, saya kadang-kadang prihatin dan merasa trenyuh.

Karena apa?
Sebagian umat Islam itu ada yang fanatik dalam mengidolakan seorang tokoh.

Lantas, yang seperti ini masalahnya apa?
Masalahnya, bahwa orang-orang yang fanatik ini, seringkali apriori atau menolak pendapat dari tokoh lainnya, padahal yang diucapkan oleh tokoh lain selain idolanya itu adalah suatu kebenaran.

Sebenarnya, langkah yang tepat itu adalah, umat Islam harus dapat menerima segala macam kebenaran sesuai Syariat. Bahkan kebenaran yang yang datang dari manapun asalnya dan siapapun yang menyampaikannya.

Yang penting, asalkan pendapat tersebut benar-benar sesuai dengan aturan Syariat, entah itu disampaikan oleh Syeikh Fulan, Habib Fulan, Kyai Fulan, Ustadz Fulan. Itu adalah suatu hal yang perlu diperhatikan. Jangan ditolak hanya karena yang menyampaikan bukan tokoh idolanya.

Yang terbaik itu, jangan semata-mata dilihat siapa yang bicara, tapi apakah isi yang disampaikan itu benar menurut aturan Syariat atau tidak, jika hal itu benar, maka itu sejatinya harus diterima, namun jika bertentangan dengan Syariat, maka wajib ditolak.

Baca juga:  Peran Hati, Antara Iman & Inkar

Demikian juga kalau misalnya ada suatu pelanggaran syariat yang dilakukan di tengah masyarakat, entah itu oleh tokoh siapa saja, maka sudah seharusnya ditolak, bukan malah dibela-bela hanya karena faktor sebagai idola. Atau karena faktor jabatan semisal sebagai ketua ormas Islam semacam NU.

Namun, yang terjadi dewasa ini, kadang-kadang tidak demikian. Orang yang sudah terlanjur fanatik buta dengan salah seorang tokoh idola misalnya, kemudian sang idola itu melakukan sesuatu di luar ajaran Syariat, bahkan kelakuannya itu sudah bertentangan dengan ajaran Syariat, atau bahkan kadang-kadang sang idola telah melecehkan Syariat, tapi karena para pengikutnya sudah terlanjur fanatik buta, maka apapun yang dilakukan oleh sang tokoh idolah itu, dianggap benar.

Bahkan terkadang, aturan Syariat yang ada dalam Alquran, Hadits Nabi Muhammad SAW dan ajaran para ulama Salaf itu, pasti dikalahkan demi untuk membela tokoh idolanya, walaupun sang tokoh ini telah keluar dari Syariat, atau berani menentang Syariat secara terang-terangan di depan publik.

Jadi, kalau bisa umat Islam itu, hendaklah melihat suatu permasalahan, harus sesuai dengan bingkai Syariat, atau melihat perilaku seorang idola itu harus dimasukkan terlebih dahulu ke dalam laboratorium Syariat.

Baca juga:  Nasionalisme

Bilamana sudah benar sesuai aturan Syariat, maka boleh diikuti oleh siapapun dan sebaiknya dijadikan panutan oleh umat Islam.
Namun jika tidak sesuai, maka harus berani meninggalkannya. Begitulah sebenarnya yang seharusnya terjadi.

Jadi tidak perlu ada fanatik terhadap perorangan, walaupun itu misalnya tokoh struktur di PBNU, atau tokoh Tariqat, atau tokoh yang berdarah biru.

Tapi fanatiklah kepada Allah, fanatiklah kepada Rasulullah SAW, fanatiklah kepada ajaran Syariat yang sudah dikemas oleh para ulama Salaf sebagai hukum fiqih atau hukum Syariat.

Juga tentang ajaran aqidah, atau adab sopan santun dalam bermasyarakat yang sudah banyak dikupas dalam kitab-kitab ulama Salaf, itulah yang seharusnya perlu difanatiki.

Sekali lagi jangan salah, janganlah apriori terlebih dahulu terhadap perorangan, tapi jangan pula fanatik buta terhadap perorangan.

Yang paling bagus adalah segala sesuatu itu, harus diukur dengan kebenaran Syariat.