Menguliti Parasit Agama

Judul Buku : PLURALISME AGAMA (parasit bagi agama-agama) Pandangan Katolik, Protestan, Hindu, Islam).
Penulis : DR.Adian Husaini, MA.
Penerbit : Media Dakwah, Jakarta.
Tebal buku : 90 halaman
Cetakan : ke III, 2008.

Sejak faham pemikiran post modernisme diperkenalkan, maka metode metode filsafat sebelumnya yang sempat merajai dunia pemikiran runtuh. Karena semua teks filsafat kehilangan kompetensi pembenaran sebab segala sesuatu direlatifkan secara mutlak. Sehingga yang mutlak adalah yang relatif itu. Sekarang ini dunia Ilmu agamapun sedang digerogoti oleh spesies parasit yang populer dengan nama pluralisme.

Esensi pluralisme adalah relativisme itu sendiri. Karena dari faham relativisme berimplikasi pada asumsi bahwa semua produk pemikiran, pendapat maupun kemampuan menangkap ilmu pengetahuan tentang agama dianggap adalah relatif, tidak memiliki hak absolut kebenaran.

Anggapan bahwa persepsi manusia relatif terhadap Tuhan yang mutlak maka konsekuensi logika ialah maka setiap pemeluk suatu keyakinan/ agama tidak boleh, tidak berhak mengklaim yang paling benar.

Biang pluralisme tumbuh seketika pada abad pertengahan di tengah masyarakat Kristen Barat.

Masyarakat Kristen Barat trauma pada sejarah kekuasaan Gereja di Zaman Pertengahan dan juga konflik Katolik-Protestan. Suatu masa para tokoh gerejanya telah banyak melakukan kekeliruan dan kekerasan memaksakan kehendak keyakinan. Dan itu menimbulkan sikap trauma masyarakat Barat terhadap klaim kebenaran satu agama tertentu.

Pluralisme yang bersemi di Barat itu serta merta oleh banyak Ilmuwan agama, intelektual muslim, menjadi contoh penyelesaian sosial. Terlebih negara yang bangsanya majemuk seperti Indonesia.

Karena dari kacamata kerukunan sosial merangkum kemajemukan dinilai sebagai kebijaksanaan yang religius.

Sedemikian keblingernya sehingga Ulil Abshar Abdalla mengatakan, di Majalah Gatra 21desemver 2002 : Semua agama sama. Semuanya menuju Jalan kebenaran. Jadi Islam bukan yang paling benar. (Hal 11).

Buku ini juga memetik pendapat Cak Nur (Prof Dr.Nurcholis Madjid membagi tiga sikap dialog agama-agama yaitu eksklusif, inklusif dan pluralis. Bahwa agama-agama lain adalah jalan yang sama-sama sah untuk mencapai kebenaran yang sama. Rupanya Cak Nur mengarah pada sikap moderasi keagamaan.

Agama oleh faham pluralis diasumsikan sebagai jalan sah mencari kebenaran yang tak pernah ada ujungnya dan masing-masing memiliki cara sendiri.

Doktor Adian, berpendapat bahwa pluralisme adalah pangkal masalahnya. Pluralisme menginfeksi agama-agama langit yang telah memiliki aturan dan atau syariat peribadatan.

Karena pluralisme di poros tengah yaitu “menuju pada yang sama ” atau Tuhan, atau aspek batin/esoteris. Maka pengikut Pruralisme boleh mengabaikan aspek eksoteris, ubudiyah .

Pengabaian demikian dipastikan seorang akan meninggalkan substansi agama.

Buku berukuran setengah folio ini berkaitan sangat padat dan terperinci menjelaskan respon dari pndangan Katolik, Protestan, Hindu dan Islam.

Bagi pemeluk agama Hindu tentang faham bahwa hakekat agama adalah jalan yg berbeda menuju tujuan yang sama, acapkali tersamarkan dengan BagawadGita Iv: 11, bahwa Jalan yang ditempuh manusia ke arahku semuanya, Aku terima”. Padahal makna Bagawat Gita itu adalah dalam keyakinan Hindu ada jalan dalam Gita yaitu Empat Yoga. Antara lain: Karma Yoga, JnsnzYogya, Bhakti Yoga…serta Rajayoga

Oleh pemeluk Hindu faham dasar keagamaan menamakan bahwa pluralisme agama itu berfaham universalisme radikal yang intinya intinya menyatakan semua agama adalah sama.

Yang harus kita mengerti adalah agama internal Hindu sendiri sudah pluralistik, yaitu terdapat banyak jalan bahkan banyak orang sucinya, banyak kitab sucinya, dan faham kebenaran tidak diklaim secara eksklusif. Melainkan perbedaan internal yang sungguh luas itu ditafsirkan, bagai daun-daun dari sebatang pohon beringin yang besar tetapi sekali lagi keberadaan itu masih dalam wadah keimannan Hindu.

Penganut Hindu justru lebih luwes menghadapi Pluralisme Agama, sepertinya tidak menolak tetapi sejatinya menohok keluar eksternal, bahwa pluralisme konsep Barat tersebut justru bisa melahirkan bentuk lain dari intoleleransi (Hal 46)

Memang sungguh, Pluralisme Agama itu salah satu yang parisitik dalam pemikiran filsafat agama. Karena tatkala beberapa orang sedang mencari kebenaran agama dan mereka berangkat dari titik berangkat serta jalan berbeda, dengan medium yang beda, ritualistik serta simbol yang beda kemudian mereka ternyata menemukan esensi yang seakan sama, yaitu kebenaran yang transendetal

Mereka tertipu dalam jebakan filsafat ketuhanan yg pertama, yaitu ada yang transendental. Kalau seorang hanya sekedar mencari Tuhan seperti itu maka menjadi monoteisme Universal.

Catatan yang perlu diwaspadai adalah bahwa dalam sejarah Filsafat Agama, kesuburan Pluralisme merupakan hasil simbiotik dengan relatifisme di awalnya, kemudian liberalisme dan materialisme erta penohok budaya pemikiran Post Modernisme. (Bin Subiyanto.M./ eks Filsagama)