Prabowo Terus Mencari Pembenaran

Oleh : Sholihin MS (Pemerhati Sosial dan Politik)

Demi membela seorang Gibran (yang belum matang tapi dipaksakan), semua pendukungnya rela berbohong dan menjadi bodoh. Demi membela seorang Gibran nyawapres, semua lembaga negara yang berkait dengan Pemilu harus melanggar hukum aturan.

MK yang awalnya sebagai lembaga bermarwah, sekarang telah jadi lembaga sampah; KPU dan Bawaslu yang awalnya lembaga yang “agung” , sekarang telah jadi lembaga kacung; para ketum Parpol (Koalisi Indonesia Maju) yang dulunya sangat tajam berbicara, sekarang lidahnya kelu dan bungkam tanpa bicara akibar tersandera; dan seorang Prabowo yang dulunya seorang ksatria dan gagah perkasa, demi membela seorang Gibran telah kehilangan jati diri dan akal sehatnya. Gibran dipujinya sebagai pemuda yang gagah berani, padahal semuanya hanya basa basi karena tidak sesuai fakta dan realita.

Bukan soal “anak mudanya” yang dipermasalahkan, tetapi proses penyelundupan perjalanan pencawapresannya yang dipermasalahkan.

Setelah sebelumnya Prabowo puja-puji Jokowi setinggi langit, kini Prabowo mulai puji-puji Gibran sebagai tokoh muda yang berani dan siap mengabdi kepada negara. Betulkah, sehingga Prabowo tidak mempermasalahkan perihal politik dinastinya ?. Disebutnya tidak ada masalah dengan politik dinasti, yaitu dinasti merah putih atau dinasti untuk negara. Padahal istilah “demi negara” hanya kamuflase dan tameng untuk memenuhi syahwat kekuasaan Jokowi dan keluarganya.

Rakyat tidak sebodoh para pelaku kejahatan dan para pejabat ambisius terhadap kekuasaan.

Entah setan apa yang telah merasuki jiwa Prabowo, Jenderal yang dulunya seorang ksatria dan patriot pembela kejujuran, sekarang berubah 180% menjadi seorang ‘penjilat” yang sempurna.

Jika saja orang yang dipuji-puji memang seorang Pahlawan bangsa yang telah berjasa besar kepada bangsa dan negara dengan pengorbananannya yang secara luar biasa, tentu hal itu sebuah sikap positif dan terpuji sebagai penghormatan terhadap jasa-jasanya.

Tetapi ini, yang dipuji seorang Jokowi yang sudah jelas seorang yang zalim, bengis, kejam, penipu, pembohong, koruptor, mengorbankan rakyat untuk kepentingan pribadi dan keluarga, dll, maka demi apakah segala pujian itu ? Diduga segala tindakan Prabowo ini hanyalah sebuah pembenaran atas ambisinya jadi Presiden, dan hal ini merupakan penghinaan dan pendegrasian atas nilai-nilai kebenaran, kejujuran, dan keadilan.

Mari kita periksa satu persatu kelakuan Jokowi yang telah “menggadaikan” negara ini untuk kepentingan oligarki taipan dan China komunis sehingga negara ini di ambang kehancuran : Pertama, dibiarkannya sumber daya alam dikeruk oleh China,

Kedua, ekonomi dan politik yang dikendalikan oligarki taipan,

Ketiga, pembiaran korupsi meraja lela di mana-mana,

Keempat, semua lembaga negara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) dibuat impoten,

Kelima, Undang-undang dan berbagai peraturan diubah-ubah seenaknya yang harus mengikuti keinginan dirinya dan oligarki taipan,

Keenam, pelanggaran pemilu yang dilakukan secara sengaja, terstruktur, sistematis, dan masif,

Ketujuh, dan masih banyak kejahatan yang lainnya.

Sangat sulit untuk menemukan satu saja kebijakan Jokowi yang benar-benar jujur dan pro rakyat. Segala pembangunan di era Jokowi bukan ditujukan untuk kesejahteraan rakyat, tapi demi ambisi pribadi dan kepentingan oligarki taipan, dengan jeratan hutang, hutang, dan hutang yang sudah hampir mencapai 8000 triliun.

Ketika rakyat yang berakal sehat sudah mulai muak dengan segala kebohongan dan kepalsuan Jokowi, anehnya di mata Prabowo justru Jokowi dijadikan “raw model” bagi kehidupan politik Prabowo.

Ketika rakyat rame-rame menghujat Gibran yang “diselundupkan” oleh Jokowi melalui putusan MK yang dipaksakan dan cacat hukum, di mata Prabowo pencawapresan Gibran dinilai positif.

Demikian juga ketika masyarakat mempermasalahkan kapasitas Gibran yang under capacity: otak kosong, zero gagasan, zero prestasi, zero pengalaman politik dan organisasi, ijazah yang diduga palsu, pembohong, dan diduga ikutkorupsi, dll di mata Prabowo Gibran adalah seorang anak muda yang berani dan siap mengabdi kepada negara.

Bahkan Prabowo membandingkan Gibran dengan Jenderal Soedirman sang pahlawan sejati. Ada lagi yang membandingkannya dengan Sutan Syahril. Sebuah perbandingan yang sangat tidak sepadan, bukan apple to apple, atau jika dianggap sama-sama mudanya, mungkin seperti apel bagus dengan apel busuk, walaupun sama-sama apel (muda), tapi kualitasnya tidak sama, bagaikan bumi dan langit.

Syahwat Prabowo untuk menjadi presiden telah menjadikan nalar sehatnya hilang dan bahkan telah mengorbankan jati dirinya dengan sehina-hinanya, sudah tidak mampu lagi menilai yang benar dan salah, yang baik dan buruk, yang haq dan batil, yang halal dan haram.

Seandainya pun Prabowo dimenangkan oleh KPU dan MK, mungkin Prabowo bisa mengklarifikasi sikapnya selama ini. Hanya saja, pasangan Prabowo-Gibran tidak bakal jauh beda (kerusakannya) dari era Jokowi. Apalagi kalau kalah, maka stigma negatif terhadap Prabowo akan melekat seumur hidup.

Semoga rakyat cerdas memilih pemimpin masa depan, demi kesejahteraan pribadi, anak cucu, bangsa dan negara.

Bandung, 28 J. Awwal 1445