Vpn_Indonesia: Penyidik Polda Maluku Dicurigai Lagi Bermain dalam Kasus Dugaan Rudapksa Thaher Hanubun

Lambatnya proses penyidikan kasus Dugaan rudapaksa yang dilakukan eks Bupati Maluku Tenggara memunculkan berbagai interpretasi publik terhadap proses penegakan hukum di Polda maluku.

Direktur executive voxpol network Indonesia, Adhy Fadhly saat di hubungi (19/11) mengatakan kasus yang menimpa karyawati cafe Agnia milik Thaher Hanubun seharusnya tidak berlarut-larut. Menurutnya dengan adanya pelaporan dari korban dan bukti rekaman yang sudah dikantongi penyidik sepertinya tidak perlu menunggu waktu lama untuk menetapkan terlapor sebagai tersangka.

Sebelumnya pihak Polda Maluku mengatakan kasus dugaan pelecehan ini tetap berproses hanya saja dari penyidik masih menemui kendala terkait pemeriksaan saksi saksi. Menurut direktur executive VPN Indonesia ini alasan yang disampaikan Kabid Humas Polda Maluku Kombes Roem Ohoirat sangat tidak relevan dengan aturan perundang-undangan yang ada.

Lebih lanjut dia menjelaskan jika penyidik hanya terfokus pada kekerasan fisik mungkin akan membutuhkan waktu lama, namun Adhy mengingatkan para penyidik, tentang bukti rekaman yang diserahkan pelapor yang notabane adalah korban.

“Jangan lupa dengan bukti rekaman yang sudah ditangan penyidik, itu memudahkan penyidik untuk segera menetapkan tersangka, sebab dari rekaman itu jelas masuk dalam kategori pelecehan nonfisik yang mana dalam UU TPKS pasal 5 sudah sangat jelas menyatakan bahwa pelecehan verbal dan pelecehan nonfisik lainnya dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 bulan dan/atau pidana denda paling banyak Rp10 juta. Para penyidik profesional dikitlah,” ucap Adhy.

Adhy juga mengatakan,bahwa keterangan/laporan korban ditambah dengan rekaman yang ada maka syarat penetapan terlapor sebagai tersangka sebenarnya sudah terpenuhi.

“Lantas apa alasan penyidik tidak segera menetapkan Thaher Hanubun selaku tersangka,” paparnya dengan nada yang tegas.

Penyidik jangan main-main dalam kasus ini, hari ini berbagai interpretasi negatif bermunculan bahkan ada yang mencurigai penyidik sedang bermain-main dalam kasus dugaan rudapaksa ini. Mungkinkah mereka menunggu publik lengah sehingga kasusnya bisa dihentikan? maka akan bertentangan dengan UU TPKS pasal 23.

Lebih lanjut dia mengatakan, jika berpedoman pada aturan aturan yang ada maka tidak ada alasan untuk tidak menetapkan Thaher hanubun selaku terlapor sebagai tersangka. “Jangan konyol sebab kasus ini juga menjadi perhatian publik bukan cuma di Maluku,” ungkapnya.

Dalam UU TPKS Pasal 4 ayat (1) ada 9 jenis tindak pidana pelecehan seksual. Salah satunya adalah pelecehan seksual non-fisik yang diatur pada Pasal 5 UU TPKS. “Setiap Orang yang melakukan perbuatan seksual secara nonfisik yang ditujukan terhadap tubuh,keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksud merendahkan harkat dan martabat seseorang berdasarkan seksualitas dan/atau kesusilaannya,dipidana karena pelecehan seksual nonfisik,dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) bulan dan/ atau pidana denda paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

Jadi menurut aktivis HAM dan Anti korupsi ini,Jika penyidik kesulitan dalam aspek pelecehan fisik dan mengabaikan keterangan korban, maka bukti rekaman suara yang diserahkan korban sudah cukup untuk menjerat pelaku.

Dirinya mengaku heran dengan tidak ditetapkan tersangka dalam kasus ini. Padahal menurutnya, keterangan korban dan bukti rekaman itu sudah cukup untuk menetapkan tersangka. “Sebab hasil rekaman suara dapat dijadikan alat bukti yang sah,” tutup Adhy.