Dramaturgi Tangisan Mas Goen

Oleh: Ady Amar, Kolumnis

Goenawan Mohamad, jurnalis senior dan salah satu pendiri majalah TEMPO, budayawan sekaligus sastrawan, menangis tak biasanya. Setitik air menggantung di kelopak matanya, lalu sedikit meleleh di pipi. Wajahnya terlihat sendu, dan maaf, lusuh. Bicara pun tersendat seolah ia tengah kelelahan yang sangat.

Pikirku, itu karena terlampau lama ia terlelap. Karenanya, memunculkan sesal. Tak mengira negeri ini terseret menuju kehancuran. Ia memang baru terjaga dari tidur panjangnya. Lebih dari 9 tahun ia mengukir mimpi indah.

Saat terjaga, ia tergagap melihat sekeliling yang terasa asing. Agaknya di matanya semua menjadi berubah. Jokowi yang disanjungnya, itu tiba-tiba menjadi bukan sosok yang dulu dikenalnya. Padahal Jokowi tak pernah berubah, kecuali sekadar membuka topengnya.

Tak ada yang berubah, kecuali nalar mati dan tersesat. Semua menjadi serasa berubah, jauh dari yang dibayangkan. Lalu, Mas Goen atau GM–biasa ia dipanggil–berlaku seperti layaknya bocah kecil kalah main gundu di pekarangan tetangga, dan berlari pulang menangis.

Tangis Mas Goen itu tidak lain sekadar penegas, bahwa ia bukan bagian yang terlibat dalam sengkarut mengacak-acak demokrasi. Dan, itu menjadikan hukum sekadar keset kekuasaan.

Wajah Mas Goen setidaknya terlihat tertekuk. Ketuaan wajahnya pun makin tampak. Baru sekali-kalinya ia menangis di hadapan publik, itu dua pekan lalu, dalam acara “Rosi”, Kompas TV.

Ia salahkan Jokowi yang berubah. Lalu ia bertanya dengan tanya seada-adanya, lebih tepat itu tanya pada diri sendiri, “Kepada siapa lagi kita percaya,” lanjutnya masih dengan nada tanya, “Rakyat percaya siapa Ketua MK, Jokowi, atau Gibran?”.

Tapi sayang tak muncul penyesalan darinya, bahwa ia bagian yang ikut membuat suasana negeri berubah begitu cepat. Mas Goen seperti berlepas diri, cuci tangan, tergagap dan menutupinya dengan menangis, berharap semua tak menafsir tangisannya itu.

Muncul pula suara grenengan lirih dari mulutnya, suara tipis nyaris tak terdengar. Tapi tetap tak terdengar muncul suara penyesalan, bahwa ia bagian yang ikut membesarkan anak kucing jadi harimau.

Mas Goen terlalu besar diri, tak kenal kamus bersalah, dan mustahil minta maaf. Melihat adegan menangis, tak membuat diri ini turut bersedih. Justru terus mencermati grenengan kata per kata yang meluncur dari mulutnya, berharap ada sesal meski sekadar kata bersayap, tapi tak juga muncul. Ia tetap menyalahkan keadaan yang berubah, tapi tak merasa mengapa semua bisa berubah.

Penuturannya, ia merasa dibohongi. Dan, itu tentang dihadirkannya Gibran, anak sulung Jokowi untuk melanggengkan kekuasaan. Seakan siasat dengan menyiasati konstitusi dimana sang anak dicantolkan sebagai cawapres Prabowo Subianto. Berharap kendali kekuasaan masih ada di tangannya. Itu yang buat Mas Goen keberatan. Tapi, benarkah itu yang membuatnya tersadar, dan lalu menangis.

Mas Goen tetap tampak tak hendak mendedahkan utuh kesuntukan hatinya. Tetap menyisakan ruang “cinta” untuk Jokowi, seperti sulit melepas. Tampak dalam pujinya, tak ada presiden sebelumnya yang sebaiknya pernah hadir di negeri ini. Itu tentang moralnya, katanya.

Jika saja ada yang tak setuju dengan ungkapan berlebihan tentang moral Jokowi, itu tak mengapa. Meski berjibun “dosa” Jokowi bisa diungkap berderet, tapi Mas Goen tak hendak beranjak, tetap melihatnya dengan kacamata kuda.

Banyak yang lalu bertanya atas sikapnya yang memang tidak menjelaskan sebenarnya akan ketidaksukaannya itu. Semua dibuat tidak jelas, semua diharap mau mengerti tentangnya, meski tak paham tangisannya itu untuk apa.

Sepertinya Mas Goen tengah memainkan dramaturgi Erving Goffman, yang menampilkan “pertunjukan” tidak saja dari panggung depan, tapi juga panggung belakang. Panggung depan sudah muncul lewat tangisan, grenengan dan wajah yang tertekuk. Termasuk juga ketidaksukaannya pada Jokowi, dan itu soal Gibran.

Panggung depan acap tak menjelaskan apa-apa, kecuali sekadar trik mengaburkan makna sebenarnya dari agenda besar yang mau diraih. Agenda yang justru berkebalikan dengan tangisan yang seolah penyesalan.

Sedang panggung belakang memunculkan makna tersirat lebih luas, dan lebih pada motif politik. Itulah agenda sebenaranya. Memang perlu analisa lanjutan, namun meski tipis-tipis, itu bisa terlihat senyatanya. Dan, itu tentang pilihan politik, dan dukungannya pada Ganjar Pranowo. Kita pun jadi mafhum akan tangisannya itu.