Dana Sosial Islam untuk Pengembangan Ekonomi Islam dan Kesejahteraan Umat

Dana sosial Islam yang dikumpulkan dari zakat, infak dan sedekah untuk pengembangan ekonomi Islam dan kesejahteraan umat.

“Di Indonesia, sejak reformasi sudah memiliki UU Zakat, UU Wakaf yang sudah diamandemen menjadi pintu penting dana sosial Islam untuk pengembangan ekonomi Islam untuk kesejahteraan umat,” kata Ketua STEI SEBI Sigit Pramono di Kelas Akselerasi Intensif (KAI) Batch 3 yang diselenggarakan Akademizi beberapa waktu lalu.

Karakter masyarakat Indonesia yang suka memberi menjadi potensi besar dalam pengumpulan dana sosial Islam. “Perilaku memberi di masyarakat khususnya membayar zakat menjadi potensi utama dalam mengumpulkan dana sosial Islam,” paparnya.

Dana sosial Islam yang dikumpulkan, kata Sigit, melalui lembaga yang sudah dipercaya publik dan memiliki integritas baik. “Dana tersebut dikumpulkan ke lembaga yang mempunyai kepercayaan publik dan memiliki integritas,” jelas pria yang meraih gelar Ph.D dari Ritsumeikan Asia Pacific University, Beppu, Jepang.

Zakat sebagai sumber dana sosial mempunyai potensi. Pertama, regulasi dibangun agar tidak melanggar UU yang berlaku, peraturan menteri, peraturan presiden dan kultur organisasi yang akan mendorong pelaku filantropi Islam berjalan sesuai tujuannya.

“Regulasi baik ada aspek insentif, kalau melanggar didenda dan diberi peringatan. Di bank, regulasi oleh OJK. Regulasi filantropi Islam di Indonesia belum sempurna masih butuh waktu yang lama. Regulasi tidak boleh over regulasi, kalau banyak aturan dikhawatirkan menghambat pertumbuhan filantropi Islam. Regulasi harus efektif bisa diaplikasikan secara baik menumbuhkan ekosistem, industri makin kuat misal dalam bisnis regulasi, tidak ada monopoli, regulasi tidak ada kecurangan,” papar Sigit.

Kedua, tingkat kesalehan dan kedermawanan masyarakat yang begitu tinggi terhadap saudaranya. Namun, ada orang yang memahami Islam secara tekstual dengan mengedepankan ibadah mahdah tetapi peduli terhadap sosial.

“Ada yang bisa umrah setiap bulan sekali, ini menandakan kuat ibadahnya. Ada haji setiap setahun sekali tapi ada yang tidak mempunyai kesempatan, apakah punya keberagamaan kita seperti itu? untuk kesalehan pribadi sanggup mengeluarkan dana tapi untuk membantu saudaranya tidak muncul,” jelasnya.

Seseorang yang mempunyai kesempatan haji berkali-kali lebih baik dananya untuk membantu fakir miskin dan memberikan beasiswa pendidikan karena akan menjadi lebih berkah.

“Ada pemulung, anaknya meninggal dunia dan tidak bisa dibawa ambulance sehingga didorong dengan gerobaknya. Kemana umat Islam atas kejadian tersebut? Padahal setelah shalat ditutup dengan mengucapkan salam ke kanan dan kiri. Ini ajaran untuk hidup berjamaah,” ungkap Sigit.

Ketiga, tata kelola dana sosial Islam sangat penting terlebih lagi ijtihad filantropi bukan hanya hubungan dengan individu pembayar zakat, infak dan sedekah. Namun lembaga pengelola dana sosial Islam harus menunjukkan kemampuan yang baik termasuk sumber daya manusianya.

Keempat, kepercayaan publik terhadap lembaga filantropi sangat penting. Kepercayaan harus dijaga. Dengan kepercayaan publik, orang bisa memberikan kepercayaannya. Kelima, disrupsi teknologi di saat penghimpunan dana sosial tidak secara konvensional tetapi secara digital,” pungkasnya.