Rakyat di Belakang Rocky Gerung

Oleh : Sholihin MS (Pemerhati Sosial dan Politik)

Gertakan Moeldoko kepada Rocky Gerung, dan Demo bayaran dari para “penjilat” Jokowi yang menuntut Rocky Gerung dipenjara tidak akan mampu membungkam “kebringasan” Rocky Gerung dalam mengkritik rezim Jokowi. Moeldoko gara-gara ulahnya yang mau membegal Partai Demokrat (tapi gagal) sudah dicap masyarakat sebagai bagian dari komprador busuk. Para pendemo sebagai pemuja Jokowi yang juga tidak paham akan kejahatan Jokowi, motif gerakannya semata-mata karena uang, mereka tak ubahnya para buzzer rp.

Mereka tidak paham (tidak mau paham) bahwa Presiden itu ‘petugas rakyat’ (bukan petugas partai), karena digaji oleh rakyat rakyat agar melayani kepentingan rakyat, bukan untuk menjadi jongos China.

Jika saja Jokowi memenuhi janji-janji kampanyenya dan mengabdikan diri untuk rakyat, tidak ada yang perlu dikritik. Kalau tidak mau dikritik dan dicaci (karena kezalimanny) jangan jadi pemimpin rakyat, cukup duduk manis di rumah saja.

Kekesalan Rocky Gerung itu mewakili kekesalan rakyat. Tindakan Jokowi itu sudah sangat menyimpang, dan sebutan bajingan, tolol dan pengecut sepertinya belum mewakili kejahatan Jokowi secara keseluruhan, yang telah mengkhianati bangsa dan negara.

Kalau cuman ungkapan “bajingan” biasanya tertuju pada seseorang yang suka mencuri, merampok, atau mengambil hak orang lain (korupsi). Semua koruptor secara bahasa memang bajingan. Istilah “tolol” menunjukkan seseorang yang bertindak tanpa dipikirkan matang-matang terlebih dahulu, tanpa mempertimbangkan baik-buruknya, manfaat dan resikonya, dan bahaya yang akan menimpa diri dan orang lain (rakyat banyak). Istilah tolol memang lebih buruk dari “bogoh” atau “dungu”. Yang jadi pertimbangan tindakan orang tipe ini adalah “hawa nafsu dan mau menang sendiri”. Sedangkan “pengecut” menggambarkan seseorang yang senangnya main di belakang, tidak berani berhadapan langsung dengan realita dan orang yang tidak menyukainya.

Memang semua sifat itu sepertinya ada dalam diri Jokowi. Dan banyak lagi sikapnya yang lebih jahat. Celakanya, dia itu seorang Presiden Indonesia yang memimpin lebih dari 275 juta jiwa. Bagaimana mungkin seorang Jokowi bisa lolos jadi Presiden ?

Jokowi sebagai Presiden bukan saja harus menerima cacian fan kemarahan rakyatnya yang justru lebih lurus (jujur), cerdas, dan pemberani, tapi begitu tahu rakyat sudah tidak suka dan tidak percaya, sebagaimana diatur dalam Tap MPR Nomor 6 Tahun 2000, Jokowi sudah seharusnya segera mundur dari jabatannya bukan malah cari akal bulus dengan membuat tipu daya untuk mempertahankan kekuasaannya. Tindakan Jokowi ini bagi orang yang berakal sehat memang tidak ubahnya seperti itu.

Sebagai contoh adalah sikap Jokowi baru-baru ini yang menyerahkan desain detail IKN ke China dan menyerahkan 340 ribu hektar untuk dikelola China. Atas sikapnya ini Jokowi pantas disebut apa saja yang lebih buruk dari ungkapan Rocky Gerung karena telah “menyerahkan” kedaulatan NKRI kepada bangsa Asing. Silakan sebutan apa yang lebih cocok disematkan kepada Jokowi sebagai Pemimpin Indonesia dengan tindakannya itu ?

Jika mau dirinci satu persatu kejahatan Jokowi (sebagai Presiden), begitu banyaknya : penipu, perampok (korupsi), pendusta, khianat, ingkar janji, penindas rakyat, pelanggar HAM berat, pembunuh karakter, mengorkestrasi kejahatan semua lembaga Negara, membungkam Anggota DPR/MPR dan Ketum Parpol, serta berhati busuk sehingga Islam dimusuhi, ulama dikriminalisasi, para habaib dizalimi dan diadu domba, umat Islam dimarjinalkan, dll. Sepertinya rakyat sudah kehabisan kata-kata (makian) atas berbagai kejahatan Jokowi.

Tapi kenapa justru Jokowo tidak merespon positif segala keluhan dan cacian dengan cara mengundurkan diri dari jabatannya ? Bahkan mungkin Jokowi Presiden terjahat dari presiden jahat dari presiden-presiden sebelumnya. Dan malah kejahatannya malah ingin diwariskan kepada pemimpin berikutnya, bahkan tidak rela menerima pemimpin yang jujur, cerdas, dan pemberani ?

Kejahatan Jokowi harus segera diakhiri, bukan diwariskan! Rakyat harus bersatu untuk mrnghentikannya.

Bandung, 17 Muharram 1445