Kasus Rudapaksa Bupati Maluku Tenggara, Korban Terima Rp1 Miliar

Dugaan kasus pelecehan yang menyeret nama para aparat pemerintahan mulai dari pegawai biasa hingga pejabat publik marak terjadi dan terus terjadi. Undang Undang Tindak Pidana Kekerasan seksual (TPKS) seperti tidak membawa dampak pada para pelaku kejahatan tersebut.

Bupati Maluku tenggara M.Thaher Hanubun adalah salah satunya, kepala daerah yang satu ini diduga melakukan tindakan pelecehan terhadap salah satu karyawan cafe milik sang bupati, kasus yang ditangani Polda Maluku seperti berliku dan terkesan ada indikasi telah diskenariokan pihak-pihak terkait untuk membebaskan Hanubun dari jeratan hukum.

“Persoalannya ada pada Mekanisme penerapan keadilan restoratif yang mana telah diatur dalam Peraturan Kapolri No. 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana yang disusul dengan Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 8 Tahun 2021 tentang Penangangan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif yang selalu menjadi pedoman aparat kepolisian, ini persoalannya,” ungkap Adhy Fadhly Aktivis Hak Asasi Manusia asal Maluku, Ahad (17/9/2023).

Dia melanjutkan, restorative justice seharusnya ada pengecualian khususnya terhadap tindak pidana kekerasan seksual, terlebih dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada prinsipnya tidak ada secara tegas mengatur istilah perdamaian antara korban dan pelaku. “Artinya mekanisme yang diatur dalam Perkapolri 6/2019 dan Perpol 8/2021 bertolak belakang dan tidak berlandaskan apa yang diatur dalam ketentuan KUHAP,” tandas Direktur Executive Voxpol Network Indonesia.

Dalam kasus Dugaan Pelecehan yang diduga dilakukan oleh Bupati Maluku Tenggara,aparat kepolisian polda Maluku harus tetap memproses dugaan kasus tersebut,walaupun saat ini beredar informasi bahwa Hanubun telah menikahi korbannya dengan mahar yang cukup fantastis yaitu 1 Milyar,kasus pidananya harus tetap berjalan,sebab penyelesaian perdata tidak menggugurkan asas pidananya.

Lebih lanjut Adhy Fadhly mengatakan, dalam kasus ini muncul berbagai interpretasi publik, mempertanyakan komitmen dan konsistensi aparat hukum dalam mengimplementasikan amanat Undang Undang Tindak Pidana kekerasan seksual (TPKS)yang secara tegas menyatakan bahwa kasus kasus kekerasan seksual tidak dapat diselesaikan di luar pengadilan.

“Entah Hanubun bersikap cepat ataukah aparat kepolisian daerah maluku yang terkesan lambat,” ketus Adhy Fadhly.

Dia menyayangkan tidak ditetapkannya tersangka dalam kasus ini, padahal menurut dia, saat ada laporan polisi dibuat dan ada penyerahan bukti rekaman dari telepon seluler korban terkait percakapan pelaku, maka seharusnya sudah dilakukan penetapan tersangka.

Informasi soal pernikahan terduga pelaku dan korban yang telah berlangsung selang beberapa hari pasca pelaporan, Adhy berpendapat bahwa menikah merupakan hak asasi manusia yang dilindungi oleh negara dan dijamin dengan Undang Undang. Walaupun banyak kasus kekerasan seksual yang berakhir dengan pernikahan adalah bagian dari upaya pelaku agar terlepas dari jeratan hukum, namun itu tetap harus di hargai ASALKAN pernikahan itu juga sah di mata hukum,dan di akui oleh negara tanpa ada paksaan dalam bentuk apapun.

Lebih lanjut dia mengatakan bahwa kasus yang pernah terjadi pada salah satu pegawai kementrian koperasi yang diperkosa oleh beberapa orang, yang mana kasusnya diSP3kan oleh pihak kepolisian setelah salah satu dari pelaku menikahi korban. Namun pasca pernikahan hak-hak korban yang telah menjadi istri diabaikan, maka menteri koperasi sendiri telah membentuk tim investigasi untuk membuka kembali kasus pidana tersebut. Ini yang dikhawatirkan akan terjadi pada korban rudapksa Bupati Maluku tenggara.

Pihak kepolisian Polda Maluku yang menangani masalah ini, harusnya melakukan proses penyelidikan lanjutan terkait pernikahan tersebut,apakah ada unsur paksaan,juga apakah pernikahan tersebut terdaftar secara sah dimata hukum. Ini semua untuk menjamin hak-hak korban ke depannya.

Apapun alasannya, menurut Adhy penyelesaian perkara kasus kekerasan seksual dengan mekanisme perdamaian maupun menikahkan korban dengan pelaku sangat tidak dapat dibenarkan dan akan selalu merugikan korban.maka ini harus diusut hingga tuntas, demi rasa keadilan serta harkat dan martabat manusia.

“Tentunya bagi semua pihak yang dari awal telah memberikan atensinya terhadap kasus ini, tidak terkecoh dengan informasi pernikahan, harus tetap mengawal dan mendesak kepolisian untuk menuntaskan kasus dugaan tindak pidana pelecehan ini diruang pengadilan,” harapnya.

Aparat penegak hukum serta lembaga peradilan harus paham benar bahwa mekanisme restorative justice pada perkara pidana seksual tidak memberikan rasa keadilan sedikitpun pada korban malah memberikan beban psikologis yang berat terhadap korban.

“Pendekatan seperti ini jelas sangat berpihak kepada para pelaku dan dapat memberikan peluang terhadap terjadinya aksi aksi bejat yang lainnya,” tutup Pegiat HAM asal Maluku ini.