Wajah Dunia Pendidikan

Oleh: Ahmad Basri (Ketua K3PP Tubaba)

Ini merupakan langkah strategis dan jitu sebuah trobosan “politis” yang setidaknya perlu mendapatkan dukungan, dengan dikeluarkannya Permendikbudristek No 53 Tahun 2023 oleh Mendikbudristek Nadiem Makarim. Walaupun mungkin masih ada yang pro – kontra dengan keputusan tersebut oleh Menteri Nadiem Makarim.

Setidaknya ini merupakan salah satu cara strategi Nadiem Makarim memperbaiki dunia pendidikan di perguruan tinggi dengan begitu kompleksitas problem yang ada. Memang harus ada langkah berani untuk memperbaiki kualitas dunia pendidikan jika sebuah negara ingin maju. Dunia pendidikan tidak sebatas hanya memproduksi mencetak sarjana / ijazah tapi lebih dari itu.

Isi Permendikbudristek ini sederhana membebaskan mahasiswa S1 dan D4 untuk tidak membuat skripsi sebagai karya tulis ilmiah sebagai syarat kelulusan sebagai sarjana. Hemat penulis, bila perlu untuk semua jenjang pendidikan di perguruan tingg, baik S1 S2 S3 idealnya memang dihapus dalam masalah karya ilmiah ( skripsi, tesis, desertasi ) karna memang tidak lagi relevan dalam dunia pendidikan saat ini. Banyak terbuang sia – sia tergeletak dan mangkrang di ruang perpustakaan.

Di negara – negara maju seperti AS, Inggris, Australia sudah sejak dahulu membebaskan mahasiswanya dari skripsi.Terpenting setiap semester kuliah wajib lulus dalam ujian semester. Namun jangan ditanya kualitasnya out put mahasiswa lulusan dari luar negri, dari ketiga negara tersebut (Australia, AS, Inggris). Tak ada yang bisa meragukan.

Di negara ketiga tersebut merupakan salah satu barometer sistem pendidikan terbaik di dunia, dan tentunya menjadi satu impian seluruh mahasiswa di dunia, untuk bisa bersekolah di AS, Inggris atau Australia. Bisa jadi sepertinya, Mendikbudristek Nadiem Makarim terinspirasi oleh ketiga negara tersebut dalam masalah sistem pendidikan, khususnya dalam membebaskan mahasiswanya untuk tidak buat karya ilmiah skripsi.

Jika kita ingin jujur sesungguhnya sistem pendidikan kita memang sudah lama “rusak” sejak dari dulu tepatnya dalam lingkungan perguruan tinggi. Dunia pendidikan kita – perguruan tinggi baik negri maupun swasta, semua sudah berorentasi pada satu titik kepentingan pada orentasi bisnis.Wajah orentasi bisnis pendidikan lebih dikedepankan dan menjadi seperti alat mesin industri.

Begitu mudahnya kita melihat mendirikan lembaga pendidikan tinggi, sampai pada tingkat kabupatenpun bertebaran lembaga perguruan tinggi dimana – mana. Perguruan tinggi kita sesungguhnya tidak lebih sudah seperti mendirikan ” pabrik ” yang sebatas menghasilkan produk ijazah. Tidak ada urusan dengan in put – out put kualitas pendidikan yang dihasilkan.

Lihat dengan mudahnya mendirikan program pendidikan sampai program S2 begitu menjamur bak jamur dimusim hujan. Sudah seperti mall, toko, warung kaki lima, program pendidikan S2, dan belum yang S1. Belum lagi pemberian gelar “Prof” yang tidak lagi bersandar pada kaidah – kaidah moralitas keilmuan. Semua orang seakan bisa dengan mudah mendapatkannya asal ada uang dan kekuasaan.

Gelar pendidikan bukan lagi cermin eksistensi intelektualitas pada mereka yang menyandangnya, namun sebatas nilsi pajangan nama dalam panggung sosial atau sebatas syarat administrasi kepegawaian. Betapa banyak misalkan mereka yang menyandang gelar pendidikan S2, tapi pola pikirnya hampir sama dengan lulusan mereka lulusan anak SMA. Ini realitas yang sangat mudah kita temukan ditengah masyarakat hari ini.

Lihatnya hari ini dalam dunia pendidikan kita yang namanya plagiatisme dalam skripsi, tesis, desertasi, dan perjokian karya ilmiah sudah menjadi tradisi yang dipertontonkan dengan terang benderang. Betapa banyak skripsi, tesis, desertasi cukup mengklik di geogle atau lainnya ” copy paste ” dalam hitungan jam selesai. Tidak pernah menjadi perhatian perguruan tingggi.

Manusia hari ini sudah tidak malu – malu lagi mengambil karya orang lain “copy paste” untuk mendapatkan gelar pendidikan S1 S2 S3 dengan mudahnya. Termasuk tidak mengenyam proses pendidikan orang bisa menggunakan gelar pendidikan. Semua bisa dikatakan, bahwa gelar pendidikan banyak yang tidak dilalui dengan jalan normal, dan jalan abnormal lebih mendominasi.

Inilah salah satu yang mungkin membuat Mendikbudristek Nadiem Makarim, mengambil keputusan satu penting dengan mengeluarkan Permendikbudristek No 53 Tahun 2023 skripsi ditiadakan di perguruan tinggi. Keputusan dikeluarkan oleh sang menteri ini setidaknya satu bentuk kegelisan yang sangat tinggi atau bentuk ” kemarahan ” atas bobroknya dunia pendidikan perguruan tinggi. Lulusan perguruan tinggi tidak selaras dengan kualitas yang dihasilkan.