Kedaulatan Rakyat dalam UUD 2002 tidak Berdasar Pancasila

Oleh: Sutoyo Abadi (Koordinator Kajian Politik Merah Putiih)

Core philosophy kedaulatan negara dalam Pancasila adalah terumuskan dalam “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/perwakilan” diikuti serta “Mewujudkan suatu keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia”. Hakekatnya untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Jadi negara Indonesia bukan total individu (individualisme) juga bukan total masyarakat (sosialisme).

Bunga Hatta seperti Bung Karno, menolak mentah mentah untuk mengekor model demokrasi liberal. Karena Indonesia mencipta citakan terlaksananya dasar perikemanusiaan dan keadilan sosial.

Rakyat berdaulat dan kedaulatan rakyat adalah kekuasaan yang dijalankan oleh rakyat atas nama rakyat dengan dasar musyawarah bentuknya “musyawarah – mufakat”, semangatnya adalah kolektifvisme.

Kolektifvisme sifatnya tolong menolong, musyawarah – mufakat untuk menghilangkan dasar perseorangan menciptakan hidup bersama yang teratur.

Dalam UUD 2022 tiba tiba muncul dalam psl. 1 ayat 2: bahwa “kedaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang – Undang Dasar”. Secata analitika bahasa suatu pelimpahan kekuasaan rakyat yang tidak jelas mengandung “category mistake”

Bahasa dalam peraturan hukum harus memiliki acuan yang jelas, karena peraturan hukum itu suatu norma yang dijabarkan dari asas. Pasal diatas menimbulkan makna ganda, wayuh arti bersifat multi interpretasi .

Pasal diatas adalah sebuah upaya untuk memarginalkan kekuasaan MPR bukan sebagai lembaga tertinggi.

Ketentuan tersebut tidak konsisten dan koheren dengan hakikat negara Proklamasi sebagaimana terkandung dalam “staatsfundamentalnorm” dalam pembukaan UUD 45.

Pada UUD 45 sangat jelas Pasal 1 ayat 2 bahwa: “Kedaulatan rakyat di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR”. Pasal 6 ayat 2 :”Presiden dan Wakil Presiden oleh MPR dengan suara terbanyak (Kaelan, 2002 : 46).

Pemikiran “Trias politica” pemisahan atau pembagian kekuasaan, dihancurkan antara : kekuasaan legislatif pembuat UU (rule makin function), kekuasan eksekutif pelaksana UU ( rule aplication function) dan yudikatif mengadili pelanggaran UU (rule adjudication) – ( Flechtheim 1952 : 151 ).

“Akibatnya muncul kedaulatan semu berada pada sejumlah elit dan partai politik dan elit negara yang bersifat Oligarkis”. Melalui amandemen telah berhasil menghilangkan kekuasaan MPR sebagai lembaga tertinggi negara dengan segala fungsinya .

MPR sebagai lembaga tinggi (bukan tertinggi) memiliki kelemahan mendasar yaitu ketidak jelasan sistem, unicameral, bicameral, atau tricamral atau tidak semuanya.

Pada Pasal 2 ayat 1 bahwa :”… MPR terdiri atas anggota DPR dan DPD yang dipilih melalui pemilihan umum ” seperti sistem bicameral sedang MPR sudah bukan lembaga tertinggi, makin runyam posisinya.

Esensi yang membahayakan adalah “meniadakan sistem keterwakilan rakyat dalan sistem ketatanegaraan dalan UUD 2002”. Dalam kondisi seperti ini Presiden dapat menggunakan supremasi kekuasaan MPR sehingga bersifat “executive heavy”

Kekuasaan MPR dalam UUD 2002, tidak koheren dan tidak konsisten. Disatu sisi dikatakan sejajar dengan lembaga tinggi lainnya, disisi lain MPR dianggap memiliki kekuasaan tertinggi.

Fakta yang terjadi dalam UUD 2002, DPR dan Presiden lah yang memiliki kekuasaan dominan. DPD tidak memiliki kekuasaan yang signifikan. Fungsi DPD hanya badan komplementer DPR., bahkan kedudukan DPD berada dibawah DPR dan Presiden.

DPD tidak memiliki kekuasaan membuat UU, tidak memiliki original Power, fungsi pengawasan tidak bersifat Imperatif.

“Mekanisme kekuasaan sistem demokrasi liberal langsung diterapkan dalam UUD 2002. Tidak efektifnya mekanisme kekuasaan dalam pemerintahan, kekuasaan diambil alih oleh partai politik dengan membagi kekuasaannya dengan cara membentuk membentuk koalisi partai”

Tujuan Negara dalam UUD 2002, tidak konsisten dengan Pancasila. Episode lakon wayang Jawa sebagai contoh refleksi semiotis dalam sistem demokrasi kita saat ini yaitu “PETRUK DADI RATU” benar benar terjadi.

Demokrasi yang terjadi demokrasi biaya tinggi, ahirnya negara akan di miliki orang berkapital (politic is money). Kedaulatan rakyat sudah diambil para kapitalis Oligarki, tidak bisa bicara lagi nilai nilai Pancasila, sebagai pedoman pelaksanaan kedaulatan rakyat di Indonesia.