Ketum PP Muhammadiyah: Label Kadrun Disertai Anti-Arab Beririsan Anti-Islam Jadi Virus Perpecahan

Bangsa Indonesia mengarah kepada perpecahan adanya pelabelan kadal gurun (kadrun) oleh kelompok pendukung penguasa yang disertai anti-arab beririsan anti-Islam tertentu.

“Jujur setelah dua kali Pemilu 2014 dan 2019 di tubuh bangsa ini tertular virus pembelahan yang mengarah pada perpecahan. Bermula dari pilihan politik yang berbeda, kemudian berubah menjadi pembelahan politik dan ideologis. Label kadrun masih terus diproduksi disertai aura anti-Arab yang beririsan dengan anti-Islam tertentu,” kata Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir dalam artikel Indonesia Tunggal Ika

Kata Haedar, dunia keagamaan terbawa arus sentimen pembelahan bernuansa konflik politik-ideologis itu, yang bertemali dengan berbagai faktor yang saling beririsan.

“Sentimen keagamaan itu baik dibawa oleh sebagian umat beragama yang terlampau jauh membawa agama pada sengketa politik maupun pihak lain yang tidak suka agama dilibatkan dalam urusan politik,” paparnya.

Sentimen ras dan kesukuan pun sama terangkat dalam isu pembelahan politik Pemilu itu. Sejumlah kasus dan gesekan yang melibatkan kedua aspek yang sensitif itu menyeruak ke permukaan ketika suasana Pemilu khususnya untuk Pemillihan Presiden memanas pada masa dan sesudah kontestasi politik itu berlangsung. Rekam jejak media digital dapat dirujuk pada dua isu panas tersebut, yang mengingatkan pada konflik politik-ideologis era 1955-1965.

Kata Haedar, Isu radikalisme, terorisme, intoleransi, dan kebhinekaan kian menambah tajam arena pembelahan politik-ideologis. Pro-kontra dan tarik-menarik pemikiran maupun maupun kontradiksi di sekitar isu-isu sensitif tersebut terus berlangsung.

“Semua sungguh merugikan dan tidak ada yang diuntungkan oleh juali-beli isu-isu sensitif bernuansa SARA dan ideologis tersebut. Pola pikir moderat berhenti di ranah umum yang cenderung retorik, jauh dari membumi di realitas objektif dalam memahami dan menyikapi persoalan-persoalan kebangsaan. Urusan “Toa” pun jadi perkara ideologis yang berat dan rumit,” papar Haedar.

Dalam menghadapi ancaman perpecahan bangsa, kata Haedar penting meneguhkan keindonesiaaan dengan jiwa “Bhinneka Tunggal Ika” yang utuh antara “kebhinnekaan” dan “ketunggalan” secara moderat atau dengan pandangan moderasi agar tidak terjebak pada paham yang sempit, parsial, dan radikal-ekstrem atau radikal-liberal mengenai kebhinekaan. Artinya “Bhinneka” dan “Tunggal Ika” itu satu kesatuan, bukan sesuatu yang terpisah.

“Jangan terus mengelorakan kebhinekaan, seraya lupa atau abai menyuarakan ketunggalan atau kesatuan dan persatuan sehingga terjadi ketidakkeseimbangan. Sudahi membidik anti-kebhinekaan kepada golongan tertentu, tanpa refleksi  apakah diri sendiri sudah benar-benar berpaham Bhineka Tunggal Ika secara jujur dan autentik,” pungkasnya.