Mengadili Anies Baswedan

Oleh: Smith Alhadar, Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education (IDe)

Sejak memenangkan kontestasi pemilihan gubernur DKI Jakarta pada 2017, Anies Baswedan terus diadili para pendukung Ahok dan Jokowi. Ia diasosiasikan dengan kubu Islam konservatif yang hendak mendirkan khilafah.

Khilafah adalah sistem pemerintahan yang pernah muncul dalam sejarah Islam di mana khalifah sebagai
pemimpin sekuler di bawah tuntunan ulama berkewajiban meluaskan dakwah, melindungi agama, dan mengayomi umat Islam.

Tentu saja ini bertentangan dengan sistem demokrasi modern karena khalifah tidak dipilih rakyat dan tak ada lembaga legislatif untuk mengontrol dan mengawasi jalannya pemerintahan. Karena itu, sistem ini berpotensi menciptakan kekuasaan yang korup, yang menindas rakyat.

Setelah runtuhnya Khilafah Usmani (Otoman Empire) — khilafah terakhir — yang dekaden pada 1924, sistem ini surut dari dunia Islam di tengah gelombang pasang nasionalisme dan demokrasi yang datang dari Barat. Pada 1953, seorang ulama dari Yerusalem bernama Taqi al-Din al-Nabhani mendirikan Hizb al-Tahrir al-Islam untuk menghidupkan lagi khilafah. Namun, tak disambut di dunia Islam kecuali sedikit orang. Di Indonesia, mereka yang tertarik pada konsep khilafah ala al-Nabhani mendirikan Hizbut Tahrir Indonesia ( HTI). Namun, tak mendapat audiens yang luas.

Kendati demikian, pemerintahan Islam berdasarkan syariah — yang daya tariknya juga meredup dihadapkan pada ideologi-ideologi modern — masih menggoda sebagian kaum Muslim di seluruh dunia yang kecewa pada hegemoni Barat dan rezim nasionalis di negara mereka yang gagal menghadirkan kesejahteraan dan keadilan sosial.

Di Indonesia, kelompok yang memperjuangkan penerapan syariah adalah Front Pembela Islam (FPI) pimpinan Habib Rizieq Shihab (HRS). Walaupun demikian, HRS menerima Pancasila sebagai ideologi negara yang sudah final.

Apapun, khilafah atau negara Islam nyaris mustahil didirikan di negeri ini karena tidak populer. NU dan Muhammdiyah — juga ormas Islam lain — tidak menghendakinya. Sementara itu, FPI, didirikan pasca keruntuhan Orba, berlaku seperti polisi akhlak di Arab Saudi dan Iran dengan melancarkan sweeping terhadap tempat-tempat maksiat. Maka, dengan cepat ia menciptakan antipati luas di masyarakat. Sampai-sampai aktivitas sosial FPI yang transformatif — seperti bantuan tanpa pamrih kepada semua kelompok primordial korban bencana alam — kurang mendapat apresiasi masyarakat.

Menyadari hal ini, HRS menghentikan kebijakan sweeping dan beralih pada isu-isu politik. Dalam dua pilpres terakhir (2014 dan 2019), FPI memberikan suara pada pasangan Prabowo Subianto karena menilai kubu Jokowi dikelilingi orang-orang anti-Islam konservatif. Dan dalam pilgub DKI Jakarta
2017, FPI (mungkin juga HTI) mendukung Anies Baswedan melawan Ahok.

Bagaimanapun, Anies tidak berbagi ideologi dengan kedua organisasi ini. Anies adalah tokoh nasionalis-relijius yang menegaskan sistem demokrasi sebagai harga mati. Terbukti, selama memimpin Jakarta, tidak satu pun kebijakannya yang mengindikasikan ia mengakomodasi agenda FPI, apalagi HTI.

Ia memperlakukan semua komunitas agama secara adil. Tak heran, ia diberikan Harmony Award 2020 dari Kementerian Agama karena berhasil membangun hubungan harmonis antarumat beragama. Anies juga mendapat penghargaan dari Kementerian Dalam Negeri terkait meningkatnya Indeks Demokrasi dan Penegakan HAM di Jakarta.

Dari dunia internasional, majalah Foreign Affairs asal AS memasukkannya ke dalam daftar 100 Intelektual Publik Dunia; majalah Foresight asal Jepang menobatkan dia sebagai 20 Tokoh Dunia Pembawa Perubahan; sementara Royal Islamic Strategic Studies Center mendapuknya sebagai 100 Muslim Paling Berpengaruh Di Dunia.

Economic Forum memasukkannya sebagai Young Global Leaders 2009. Yang saya cantumkan ini hanya segelintir dari puluhan penghargaan lain dari lembaga dalam dan luar negeri yang kredibel. Maka, tidak mungkin seorang pendukung khilafah menelurkan berbagai prestasi kerja dan pemikiran berdimensi universal yang diapresiasi semua komunitas dunia.

Kendati fakta-fakta di atas, ditambah seabrek prestasi sosial yang ditoreh Anies di Jakarta, secara terang-benderang mengungkapkan siapa Anies sebenarnya, ujaran bernada kebencian dan fitnah terus disemprotkan kepadanya.

Terakhir, terkait pengeroyokan terhadap Ade Armando (AA), pegiat media sosial yang tak ada istirahatnya dalam menyerang Anies, Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Solidaritas Indonesia Grace Natalie menuduh pelaku penganiayaan itu adalah relawan Anies Apik 4, yang konon datang dari anggota FPI dan HTI.

Grace memang menggunakan kata “jika” untuk menghindari kemungkinan terjerat hukum karena lontaran bernada kebencian ini tanpa bukti — yang memang kemudian terbukti tidak benar — hanya mendasarkan pada tangkapan layar (screen shot) di salah satu grup WA.

PSI, pendukung fanatik Ahok, secara menyedihkan menjaga konstituennya di Jakarta dengan mengembangkan narasi-narasi kebencian terhadap Anies. Kebijakannya yang konsisten adalah “semua yang datang dari Anies” wajib dilecehkan. Tentu saja semuanya omong kosong dan fitnah belaka. Tapi mungkin kita harus maklumi karena ketua umumnya adalah vokalis grup band yang drop out dari Universitas Paramadina ketika Anies menjadi rektornya.

Sayangnya, AA — dosen ilmu komunikasi dari Universitas ternama — yang seharusnya menjadi pencerah masyarakat ikut-ikutan mem-bully Anies dengan bersedia menjadi juru bicara PSI, partai yang tidak punya visi tentang Indonesia ke depan.

Sebagai pendukung fanatik Ahok, AA boleh saja menolak Anies. Toh, Anies tak butuh dukungannya. Tapi politik asosiasi, yang mengaitkan secara paksa Anies dengan Islam konservatif, adalah sikap tidak fair. Bagaimanapun, AA tidak sendiri.

Teman-teman seperjuangannya, di antaranya, adalah Denny Siregar, Abu Janda, dan Zeng Wei Jian. Sebenarnya mereka ini cukup terpelajar. Namun, kebencian terhadap Anies dan dukungan pada Ahok-Jokowi telah menutup nurani dan akal sehat mereka.

Siang-malam mereka menulis dan menyebarkan video-video kebohongan dengan menempatkan Anies sebagai pesakitan yang menjijikkan. Dengan begitu, mereka dengan jahat menakut-nakuti publik tentang bahaya khilafah bila Anies menjadi presiden. Dengan narasi demikian, mereka mempromosikan pandangan oligarki yang memang tak menghendaki Anies memimpin Indonesia.

Sayangnya, kendati nama Anies terus berkibar, orang-orang ini belum juga insyaf. Kenyataanya, yang mereka lakukan itu kontraproduktif dalam melawan pribadi agung. Sebaliknya, mereka hanya melakukan pembodohan dan memelihara keresahan sosial. Dalam mendukng Jokowi secara tidak kritis, sesungguhnya mereka berkontribusi bagi keterpurukan negara hari ini. Dan dalam mengadili Anies secara sepihak, mereka juga menambah kegaduhan di masyarakat di tengah kenaikan harga-harga bahan pokok dan BBM.

Sekali lagi, aktivitas jahat yang mereka lakukan telah menjustifikasi kekuasaan oligarki yang hari ini menjadi akar masalah bangsa. Mereka tahu bahwa Anies punya preseden dalam melawan oligarki di Jakarta. Tapi mestinya mereka tahu bahwa Anies tidak melarang orang menjadi kaya asalkan ditempuh secara konstitusional dan berbasis keadilan sosial.

Anies tak ada hubungannya dengan krisis kepercayaan terhadap Rezim Jokowi yang mereka dukung tanpa reserve. Anies juga tak dapat disalahkan karena kekalahan Ahok dalam pilgub. Para pendukng Ahok-Jokowi ini hanya akan terlihat cerdas, toleran, demokratis, bijaksana, dan berkomitmen pada kemajuan bangsa kalau sekarang mereka berbalik arah: meninggalkan Jokowi dan mendukung Anies dalam pilpres 2024.

Dengan begitu, mereka menjadi orang-orang yang waras karena telah mengadili Anies dengan benar. Namun, saya khawatir, Anies tak membutuhkan mereka. Gubernur Jakarta in sangat percaya bahwa karakter jujur, adil, bijak, dan kerja keras adalah senjata ampuh melawan kedengkian dan kebodohan yang disengaja.

Tangsel, 18 April 2022