RUU Pemilu & Cukong di Balik Oligarki Partai Politik

[Catatan Pengantar Diskusi Cangkruk’an Cak Slamet]

Oleh : Ahmad Khozinudin, S.H.
Advokat, Aktivis Pejuang Khilafah

Malam ini, Senin 15 Februari 2021 Pukul 19.30 – 21.00 WIB, Penulis bersama Jurnalis Senior Hersubeno Arif insyaAllah akan berdiskusi di acara Cangkruk’an Slamet. Diskusi pekanan yang diselenggarakan setiap Senin malam, programnya Cak Slamet Sugianto.

Temanya tentang RUU Pemilu dan cukong dibalik oligarki partai politik. Tema krusial, sentral tapi juga klasik. Karena soal partai dikuasai cukong, itu sebenarnya cerita kuno.

Beberapa waktu yang lalu, Ketua MPR RI Bambang Soesatyo menyebut pemodal atau cukong cukup merogoh ongkos Rp 1 Triliun untuk menguasai partai politik di Indonesia, menurut Bamsoet nominal itu berdasarkan pengalamannya selama berkiprah di dunia politik di Indonesia. Boleh jadi, itu adalah harga untuk menguasai Partai Golkar, karena Bamsoet sendiri diketahui kader Golkar dan pernah mewacanakan dirinya untuk menjadi Ketua umum Partai Golkar.

Kalau sekelas Partai Golkar saja harganya hanya satu triliun, tentu harga untuk Grade Parpol dibawah Golkar biayanya tentu lebih murah. Biaya itu patut diduga biaya sukses dalam Kongres, untuk penyelenggaraan, akomodasi peserta dan kompensasi ‘harga suara’ yang dibeli dari Perseta Kongres Partai Politik untuk mendapatkan posisi Ketua Umum.

Pernyataan Bamsoet bukanlah satu-satunya konfirmasi adanya kekuatan Cukong untuk menguasai Partai Politik. Tanpa pernyataan politisi Golkar ini, soal adanya kekuatan Cukong menguasai Partai Politik bahkan Negara ini, bukanlah suatu rahasia lagi bagi publik. Apalagi, desain politik demokrasi yang mahal dan pragmatis, keniscayaan adanya ‘simbiosis mutualisme’ antara pengusaha dan penguasa.

Mendiskusikan RUU Pemilu berarti mendiskusikan Rancangan Perubahan UU No 7 Tahun 2017 (UU Pemilu) sekaligus pelaksanaan Pilkada Tahun 2024 berdasarkan Ketentuan UU No 10 Tahun 2016 yang merupakan perubahan kedua tentang Pilgub, Pilbup dan Pilwalkot (baca : UU Pilkada). Dua Produk Legislasi ini akan sangat menentukan corak pemilihan, siapa yang akan diuntungkan dan terlempar dari kekuasaan. Karenanya, seluruh partai politik berkepentingan dengan dua UU ini.

Revisi UU Pemilu selalu diusung oleh Partai Politik setiap lima tahun sekali. Hal-hal yang biasanya menjadi bahasan klasik adalah soal Parlementiary Threshold, Presidential Threshold, Sistem Pemilihan, hingga soal jadwal pemilihan.

UU Pemilu dan Pilkada, didesain agar gelaran Pemilu dan Pilkada dapat dilaksanakan secara serentak setiap lima tahun sekali. Namun, praktik Pemilu tahun 2019 yang menyebabkan 894 anggota KPPS meninggal dunia, nampaknya menjadi salah satu bahan evaluasi dan dasar revisi, baik terhadap pelaksanaan Pemilu maupun Pilkada.

Soal masa jabatan Presiden, dan berapa kali Presiden dapat dipilih kembali juga menjadi salah satu isu krusial. Meskipun, isu ini selain harus diwadahi dengan UU Pemilu juga harus pula ditempuh dengan merubah konstitusi. Tapi apa yang tidak mungkin bagi penguasa, demi kekuasaan ? Mereka mudah saja merubah atau membuat UU hingga UUD, jika itu demi kepentingan kekuasaan. Sementara, ormas yang tak memiliki wewenang mengubah konstitusi, dituduh ingin mengubah UUD 45 dan dicabut BHP nya (HTI).

Uniknya, dalam RUU Pemilu selain mengatur ihwal kekuasaan dan perebutan kekuasaan antara Partai Politik, juga diatur tentang eksistensi HTI. Dalam RUU Pemilu khususnya ketentuan pasal 182 ayat (2) huruf JJ, diatur larangan bagi eks anggota HTI untuk mengikuti proses politik baik untuk menjadi anggota DPR dan DPRD, anggota DPD, bahkan menjadi Cakada atau Capres dan Cawapres. Entah apa yang melatarbelakangi norma pasal ini, sampai-sampai HTI mendapatkan kedudukan spesial.

Namun, jika dikaitkan dengan ketentuan pasal 182 ayat (2) huru ii, dapat diketahui adanya motif jahat para legislator di Senayan. Ada upaya terstruktur, sistematis dan masif untuk menyudutkan HTI dengan narasi menyamakannya dengan PKI.

Adapun terkait UU Pilkada, sebagimana pernah penulis uraikan, beberapa substansi yang menjadikan diskursus perubahan UU Pilkada ini seksi dimata Partai Politik, adalah sebagai berikut :

Pertama, sumber konflik antara elit partai adalah pada ketentuan pasal 201 UU 10 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU 1 tahun 2015 tentang Penetapan Perpu 1 tahun 2014 tentang Pilgub, Pilbup dan Pilwalkot menjadi UU.

Dalam ketentuan pasal ini, para Kepala Daerah (Gubernur, Bupati dan Walikota) yang periode jabatannya selesai di tahun 2022 dan 2023, yakni Para Gubernur, Bupati dan Walikota yang periode jabatannya Tahun 2017-2022 dan Tahun 2018-2023, tidak dilakukan Pilkada (Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota) pada tahun 2022 dan tahun 2023. Melainkan dibarengkan dengan Pemilu yang pelaksanaannya diundur pada tahun 2024.

Kedua, pada Tahun 2022 dan Tahun 2023 tidak ada Pilkada (Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota). Sehingga, partai tidak memiliki peluang untuk merebut kekuasaan di Daerah melalui Pilkada 2022 dan 2023.

Partai bisa mencuri kursi kekuasaan, jika UU Pilkada diubah. Yakni, dengan mengubah ketentuan pasal 201 dengan mengamanatkan dilaksanakannya Pilkada pada tahun 2022 dan tahun 2023 untuk jabatan Kepala Daerah yang habis masa jabatannya pada tahun 2022 dan tahun 2023.

Ketiga, PDIP mengunci posisi politik dengan menolak Revisi UU Pilkada, berikutnya diikuti Golkar, Gerindra, Nasdem, PKB, PAN dan PPP. Dengan kekuasaan eksekutif ada pada kekuasaan PDIP, melalui Presiden Jokowi PDIP bisa ‘mengkooptasi’ kekuasaan di daerah melalui pengaktifan ketentuan pasal 201 ayat 9, 10 dan 11.

Melalui aktivasi pasal 201 ayat 9, 10 dan 11, PDIP bisa menaruh ‘Orang Dalam’ untuk mendukung visi partai melalui penempatan Pimpinan Tinggi Madya untuk menduduki jabatan Gubernur dan Pimpinan Tinggi Pratama untuk menempati jabatan Bupati dan Walikota, yang kosong pada tahun 2022 dan tahun 2023.

Golkar kemungkinan ‘telah bernegosiasi’ dengan PDIP tentang postur pengisian jabatan Gubernur, Bupati dan Walikota yang kosong pada tahun 2022 dan tahun 2023. Golkar punya banyak stok kader di Birokrat, Golkar tak mau ketinggalan ‘Kue Gratisan’ ini dan tak mau semua kue kekuasaan melalui penempatan jabatan Gubernur, Bupati dan Walikota dikuasai oleh PDIP sendiri.

Mengingat, sebelumnya Golkar termasuk yang ngotot minta revisi UU Pilkada. Belakangan, Golkar ikut irama PDIP. Tentu Golkar tak mau merapat tanpa kompensasi, salah satu kompensasi yang patut diduga diterima Golkar, adalah PDIP akan berbagi kursi kekuasaan di daerah bersama Golkar untuk mengisi jabatan kepala daerah yang kosong di tahun 2022 dan 2023.

Memang benar, bukan kader PDIP dan Golkar langsung yang menempati karena syaratnya harus birokrat dengan kualifikasi Pimpinan Madya dan Pratama. Namun publik sudah paham, banyak birokrat yang terafiliasi dengan partai bahkan binaan partai, yang siap mengabdi untuk merealisasikan visi dan misi partai.

Entahlah, apakah Gerindra, Nasdem, PKB, PPP dan PAN mendapat jatah atau diajak ikut mengisi jabatan kekuasaan di Daerah yang kosong di tahun 2022 dan 2023. Yang jelas, posisi tawar Golkar lebih kuat dan Golkar punya banyak cadangan kader di Birokrat.

Keempat, karena itu Demokrat dan PKS ngotot UU Pilkada di revisi. Karena jika UU Pilkada tidak diubah, tak ada kesempatan PKS dan Demokrat untuk mempertahankan Kader mereka yang habis periode jabatannya sebagai kepala daerah di 2022 dan 2023, tak punya kesempatan pula untuk mencuri posisi kepala daerah di 2022 dan 2023 yang sebelumnya dikuasai partai lain, karena peluang itu ditutup jika tak ada revisi UU Pilkada.

Tak ada revisi, berarti tak ada Pilkada ditahun 2022 dan tahun 2023. Artinya, Demokrat dan PKS harus siap ‘Gigit Jari’ karena kekosongan jabatan Gubernur, Bupati dan Walikota di tahun 2022 dan 2023 akan dikuasai oleh PDIP dan Golkar (kemungkinan, Gerindra, PKB, PAN dan PPP juga hanya menjadi penonton, kalaupun kebagian hanya sekedar permen pemanis).

Untuk menguatkan argumentasi, dua partai ini akan mengeksploitasi kekacauan pelaksanaan Pilkada, Pemilu dan Pilpres langsung tahun 2019. Hal ini, akan menjadi alasan materiil tuntutan perubahan UU Pilkada dan Pemilu.

Kelima, ada tujuan secara khusus untuk mengunci Anies Baswedan yang habis jabatannya di tahun 2022. Anies Baswedan tak akan bisa ikut Pilkada di DKI tahun 2022, DKI akan ditunjuk pejabat pimpinan madya (tentu orangnya Jokowi atau PDIP), sehingga Anies selama 2 tahun hingga 2024 nganggur.

Saat 2024 Anies akhirnya pecah konsentrasi. Apakah mau fokus menjadi Gubernur DKI Jakarta kembali dengan ikut Pilkada DKI, atau langsung melenggang ke Pilpres 2024. Keadaan ini, menyebabkan Anies tak bisa mengkapitalisasi kekuasaan di DKI untuk meningkatkan elektabilitas menuju Pilpres 2024.

Jika UU Pilkada direvisi, 2022 Anies Baswedan bisa ikut Pilkada DKI Jakarta dan berpotensi menang. Selama 2022 hingga 2024 Anies Baswedan bisa fokus bekerja untuk DKI Jakarta sekaligus membangun legacy sebagai modal meningkatkan elektabilitas. Dan tahun 2024 Anies Baswedan bisa ikut Pilpres 2024. Itu artinya, Anies Baswedan dapat peluang keduanya.

Pada saat yang sama, mengunci UU Pilkada juga akan menjadi sarana memuluskan Gibran naik tangga politik, dari Walikota Solo menuju Gubernur DKI Jakarta. Persis, mengikuti jejak sang Bapak, Joko Widodo. Jika Anies berkonsentrasi pada Pilpres, sudah pasti peluang Gibran Rakabuming Raka akan semakin berpeluang menduduki jabatan DKI 1.

Keenam, ditiadakannya Pilkada tahun 2022 dan tahun 2023 sekaligus penunjukan pejabat Gubernur, Bupati dan walikota tahun 2022 dan tahun 2023 akan sangat menguntungkan PDIP. Sebab, otoritas penunjukan pejabat Gubernur, Bupati dan walikota tahun 2022 dan tahun 2023 ada pada Presiden Jokowi, yang tak lain adalah petugas partai PDIP.

PDIP juga paham, jika Pilkada 2022 dan 2022 diadakan, akan banyak posisi Kepala Daerah yang selama ini dikuasai PDIP akan direbut partai lainnya. Mengingat, PDIP paham partainya saat ini sedang berada di titik nadir.

PDIP sedang mempertahankan kekuasaan, sambil membeli waktu berharap ada perubahan situasi politik di 2024. Hingga PDIP memiliki kesiapan elektabilitas, untuk bertarung di Pemilu dan Pilkada 2024.

Begitulah, realitas politiknya. Jadi, jangan percaya narasi pilkada tahun 2022 dan 2023 ditiadakan karena pemerintah mau fokus menangani pandemi covid-19. Toh, pada 2020 yang lalu, Pilkada tetap jalan meskipun rakyat kompak menolak karena situasi pandemi.

Jangan pula tersihir dengan narasi ‘demi kualitas demokrasi’ atau ‘rakyat butuh memilih pemimpinnya’. Itu semua narasi basi. Intinya, semua hanyalah soal merebut dan mempertahankan kekuasaan. [].