KH Luthfi Bashori
Dalam fiqih madzhab Syafi’i diterangkan, bahwa setelah shalat Subuh dan shalat Ashar, adalah waktu yang seseorang itu dilarang melaksakan shalat sunnah mutlaq, termasuk shalat sunnah rawatib.
Larangan ini sesuai dengan riwayat shahabat Abu Sa’id Al-Khudri RA yang mengatakan, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah shalat (sunnah) sesudah Ashar hingga terbenam matahari, dan janganlah pula (shalat sunnah) sesudah shalat Subuh hingga terbit matahari.” (HR. Muslim).
Dalam hadits riwayat Imam Ahmad diceritakan: “Ada seorang shahabat Nabi yang setelah Ashar melakukan shalat sunah ba’diyah, maka ditegur oleh Sayidina Umar, beliau berkata: “Sesungguhnya Rasulullah SAW melarang shalat sunnah setelah Ashar” (HR. Ahmad).
Lantas mengapa Rasulullah melarang shalat dalam dua waktu tersebut?
Ternyata Rasulullah melarang shalat sunnah pada dua waktu tersebut, karena matahari terbit itu di antara dua tanduk setan dan terbenam juga di antara dua tanduk setan. Maksudnya pada saat itulah dari kalangan bangsa setan sedang beribadah menyembah matahari.
“Janganlah shalat (sunnah) ketika matahari terbit dan janganlah shalat (sunnah) ketika matahari tenggelam, karena ketika matahari terbit dan tenggelam itu berada di atas tanduk setan. Shalatlah di antara itu semua, terserah kalian.” (HR. Abu Ya’la dalam musnadnya, 2/200 dan Al-Bazzar, 1/293/613)
Dalam tradisi masyarakat Jawa, ada satu larangan bagi anak-anak agar tidak keluar dari pintu rumah dan berada di jalan-jalan, khususnya pada saat menjelang adzan Maghrib, atau waktu ‘surup’ (saat mega memerah). Maka para orang tua akan mengatakan semisal, “Nak, kalau kamu berada di jalan di saat waktu ‘surup’, nanti kamu akan diculik oleh hantu Wewe Gombel …!”
Ajaran tradisi yang tampaknya hanyalah cerita fiktif tanpa menyebut dalil syariatnya ini, ternyata menyimpan maknawiyah hadits Nabawi, sebagaimana disebutkan bahwa matahari terbit dan terbenam itu berada di antara tanduk setan di atas.
Agar anak-anak tersebut selamat dari tasyabbuh (menyerupai) perilaku setan yang kerap menyembah matahari di saat terbit dan tenggelam, maka anak-anak pun ditakut-takuti dengan menggunakan bahasa yang paling mudah mereka pahami, tiujuannya agar tidak keluar dari rumah. Ini sesuai dengan hadits man tasyabbaha biqaumin fahuwa minhum (Barangsiapa menyerupai suatu kaum, (dalam bab ini adalah kaum setan), maka ia tergolong dari kalangan mereka).
Nasihat para orang tua itu juga senada dengan riwayat shahabat ‘Amr bin ‘Abasah RA, bahwasannya Rasulullah SAW telah bersabda : “…..Jika bayangan telah condong (waktu zawal), maka kerjakanlah shalat, karena shalat pada waktu itu disaksikan dan dihadiri (oleh para malaikat). Hingga engkau mengerjakan shalat ‘Ashar. Setelah itu, janganlah engkau shalat hingga matahari terbenam. Karena matahari terbenam di antara dua tanduk setan. Pada saat itu, orang-orang kafir sujud kepadanya (kepada matahari)” (HR. Muslim).
Sedangkan untuk waktu bakda Subuh, tidak terdengar ada nasihat dari para orang tua kepada anak-anaknya agar tidak keluar dari rumah, karena umumnya pada saat itu semua anggota keluarga masih berada di rumahnya, hingga menunggu disediakan sarapan pagi, dan umumnya masyarakat Jawa mengadakan sarapan itu sekitar pukul 06.15 atau 06.30 yaitu sudah masuk waktu Isyraq (matahari terbit secara sempurna).