Aspek Kesejarahan Masjid Agung Lamongan

Masjid Agung Lamongan, merupakan bangunan yang memiliki nilai historis bagi perkembangan sejarah Islam di Lamongan, dan lokasi masjid juga berada dihantung kota Lamongan, Masjid Agung Tidak bisa dilepaskan dari tata ruang kota pada zaman kesultanan, yaitu seiring dengan keberadaan alon – alon sebagai pusat, dikelilingi pusat pemerintahan, pusat keramaian, keamanan dan keadilan.

Pada periode kepemimpinan Masjid Agung oleh Mbah Yai Mahmud sekitar tahun 1919, dibentuk panitia pemugaran masjid yang diprakarsai oleh Bupati saat itu (Adipati Djojodinegoro). Dikarenakan kondisi masjid Agung yang sudah tidak representatif bagi perkembangan dan syiar Islam. Letak geografis masjid Agung sendiri yang dekat dengan kali (sungai) sering dilanda banjir semakin mempercepat kerapuhan bangunan masjid

Pada waktu panitia akan melakukan proses pembangunan, KH. Mastur Asnawi mengusulkan agar posisi masjid dihadapkan arah kiblat. Namun, usul ini tidak bisa diterima oleh tim panitia dikarenakan faktor pembiayaan yang amat besar.

Dalam proses pembangunannya, guna menekan biaya yang diperlukan tim panitia menyiasati pandemen lama yang berada di sebelah utara dan di sebelah barat hanya ditumpuki saja yang asalnya dulu hanya berukuran 0,5 m dijadikan ukuran 1,25 m sehingga menjadi tidak serasi dengan gapura.

Akhirnya setelah pandemen sudah tinggi tim panitia sudah tidak sanggup lagi meneruskan pembangunan dikarenakan sudah tidak ada uang lagi kala itu, dan juga tiang utama (soko guru) masjid belum didapatkan sama sekali.

Pada tahun 1922 Masehi tim pembangunan masjid dibubarkan oleh Bupati dan kelanjutan pembangunan diserahkan sepenuhnya kepada KH. Mastur Asnawi dikarenakan tim panitia kala itu sudah tidak sanggup untuk meneruskan pembangunan.

Mendapat amanah utuk melanjutkan proses pembangunan masjid, KH. Mastur Asnawi mengumpulkan tokoh masyarakat Lamongan yang juga sahabat karibnya. Setelah dana tercukupi, didatangkanlah empat buah kayu jati yang dipergunakan sebagai soko guru masjid. Tiga buah kayu jati berhasil didatangkan dari Asembagus Situbondo serta sebuah lagi berasal dari Demak Jawa Tengah.

Saking gembiranya masyarakat Lamongan saat itu, kayu jati yang diangkut dengan cikar atau pedati sudah disambut dengan meriah begitu tiba diperbatasan kota.

Gaya bangunan masjid Agung ini berasitektur khas Jawa, bercungkup susun tiga sebagai perlambang dari Iman, Islam dan Ihsan. Sebagaiman corak arsitektur masjid yang khas Nusantara pada masa lalu.

Desain tersebut juga melestarikan kearifan lokal dimana corak arsitektur masjid bercungkup susun tiga merupakan simbol kesejalinan antara Islam dengan budaya Nusantara.

Pendekatan kultural inilah yang pada masa lalu masyarakat Nusantara secara luas mudah menerima ajaran Islam. Karena kondisi masjid Agung yang sudah tidak kuat menampung jamaah, dibangunlah masjid sebelah barat yang besarnya sama dengan yang lama dan soko gurunya hasil shodaqoh oleh seorang lurah dari dusun Melawan, desa Kedungwangi kecamatan Sambeng. Tetapi karena kurang panjang dan kurang besar, maka diambil inisiatif dengan menyambung dan ditambal sehingga sesuai dengan soko guru yang diharapkan.

Pada tahun 70-an dibangunlah sebuah menara yang modelnya sama persis dengan masjid Qiblatain Madinah kala itu, karena KH. Mastur Asnawi lama tinggal di Arab. Pada tahun 1982 KH Mastur Asnawi berpulang ke Rahmatullah. Tampuk kepemimpinan masjid Agung dilanjutkan oleh putranya, KH. Mahbub Mastur.

Tidak lama setelah KH. Mastur Asnawi meninggal dunia, dilakukan pembangunan masjid seiring dengan perkembangan jumlah jamaah masjid Agung yang semakin meningkat, kondisi masjid Agung sudah tidak bisa menampung jamaah. Sehingga dilakukan pelebaran dengan bangunan sebelah timur, pelebaran sisi utara dan dilanjutkan dengan pembangunan dua lantai.

Pembangunan ruang sebelah timur ini atas prakarsa Presiden RI ke-2, Bapak H. Soeharto melalui Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila. Sehingga kompleks makam yang aslinya berada di luar ruangan, saat ini menjadi di dalam ruangan masjid Agung, termasuk menara masjid juga menjadi berada di dalam masjid.

Pada masa kepemimpinan KH. Abdul Aziz Choiri dilakukan perluasan tanah masjid di sebelah selatan sehingga jalan Basuki Rahmad serta dibuatkan pintu gerbang sebelah selatan.

Saat ini telah dibangun menara kembar (setinggi 53 m, dinisbatkan pada usia Nabi Muhammad saw sewaktu melakukan hijrah dari Makkah ke Madinah) serta perombakan ruang serambi yang direncanakan akan dibangun tiga lantai dengan model timur tengah.

Gencarnya pembangunan yang dilakukan, sudah tidak bisa mempertahankan dan melestarikan khasanah budaya sebagai Objek Diduga Cagar Budaya dan Objek Cagar Budaya yang harus tetap dilestarikan. Di antaranya:
1. Gapura Utama (Gapura Paduraksa) : Adanya upaya pemugaran
2. Dua buah gentong : Pemindahan kearea belakang masjid karena adanya pembangunan.
3. Dua buah batu pasujudan (Prasasti) : Pemindahan kearea pos satpam depan masjid karena adanya pembangunan dan tetap dilokasi tetapi adanya upaya pemindahan tetapi tidak berhasil sehingga batu pasujudan / Prasasti berdiri miring.

Dua buah gentong dan batu pasujudan ini juga dihubungkan dengan cerita rakyat yang berkembang di Lamongan yaitu pengantin Bekasri ( Tradisi Pinangan Di Lamongan) Yaitu tokoh : Panji Laras dan Liris, Andanwangi dan Andansari.

Objek Diduga Cagar Budaya dan Objek Cagar Budaya yang masih tetap ada dan tetap dilestarikan. Diantaranya:
1. Dua buah sumur : Terletak didalam masjid, dekat dengan tempat wudlu jamaah putra dan putri
2. Ruang utama yang terdiri dari dua cungkup : Masjid jati pertama saat ini ruangan tengah
3. Komplek makam : KH. Mahmud, KH. Mastur Asnawi
4. Mimbar : Mimbar ceramah
5. Menara : Menara yang dibangun oleh KH. Mastur Asnawi tahun 1970-an

Tim Peneliti dan Penyusun Buku Lamongan Memayu Raharja Ning Praja. Lamongan: Pemerintah Daerah Tingkat II, 1993. Peran masjid Agung Lamongan bagi perkembangan Lamongan khususnya umat Islam juga tidak bisa dianggap kecil karena Candra Sengkala berdirinya kabupaten Lamongan diduga ada di masjid Agung Lamongan ini. Yaitu “Masjid Ambuko Sucining Manembah” Masjid Jati, halaman masjid dengan gapura model Cina, 2 genuk, dan 2 batu pasujudan. Yang artinya: masjid (1) halaman dan pintunya (4) genuk atau tempat air (9) batu tempat bersujud (1) berarti 1491 tahun Saka, bertepatan dengan 1569 Masehi. Bertepatan dengan pisowanan agung di Kedaton Giri, pelantikan Rangga Hadi menjadi Tumenggung Surojoyo pada kamis pahing 10 Dzulhijjah 976 H (26 Mei 1569). (Rinto)