Zakat dan Wakaf Harus Bersinergi

Zakat dan wakaf harus bersinergi untuk mengatasi persoalan dan memberikan solusi ekonomi umat. Zakat dan wakaf harus dikelola secara profesional termasuk laporan keuangannya dapat dipertanggungjawabkan ke publik.

“Zakat dan wakaf bisa berjalan dengan baik. Keduanya harus bersinergi. Ibarat dua kaki tidak boleh pincang. Keduanya untuk memajukan ekonomi umat,” kata Sekretaris Jenderal MUI Amirsyah Tambunan dalam acara Forum Literasi Filantropi Vol 17 bertemakan “Amil dan Nazhir: Fokus Ibadah X Target Ramadhan yang diselenggarakan Akademizi, Rabu (6/3/2023).

Terlebih di Ramadhan, kata Amirsyah, penghimpunan zakat dan wakaf harus meningkat. Dalam Hadits yang diriwayatkan Al-Hakim “Barangsiapa yang hari ini lebih baik dari hari kemarin, maka ia (tergolong) orang yang beruntung. Barangsiapa yang hari ini sama dengan hari kemarin, maka ia (tergolong) orang yang merugi. Dan barangsiapa yang hari ini lebih buruk dari hari kemarin, maka ia orang yang dilaknat (celaka)”.

“Dalam penghimpunan zakat dan wakaf di Ramadhan tahun ini harus lebih baik dari Ramadhan tahun lalu agar masuk dalam kategori beruntung,” jelas Amirsyah.

Ia juga menyoroti pengertian wakaf yang masih dipahami secara parsial seperti mengelola mushola, lembaga pendidikan, masjid dan makam. Padahal ada wakaf produktif melalui pemanfaatan instrumen keuangan syariah dengan penguatan modal sosial (social-capital) yakni serangkaian nilai atau norma yang dimiliki bersama di antara para anggota dari kelompok masyarakat yang saling terkait didasarkan pada nilai kepercayaan, norma dan jaringan sosial.

Kata Amirsyah, lemahnya wakaf produktif dipengaruhi. Pertama, secara umum masih lemahnya gerakan masyarakat untuk melakukan transformasi wakaf produktif dapat menjadi pilar penting dalam perekonomian.

Kedua, terbatasnya kemampuan dalam mendesain proyek produktif berbasis wakaf secara integral yang dapat mendukung antara proyek komersial dan proyek sosial.

Ketiga, kurangnya profesionalisme dalam mendesain manajemen keuangan yang terintegrasi antara instrumen keuangan sosial syariah dan instrumen integrasi keuangan komersial dan sosial syariah. Keempat, rendahnya tingkat kepatuhan implementasi terhadap ketentuan syariah, karena lemahnya literasi, edukasi dan sosialisasi kepada pemangku kepentingan.

“Kelima, belum meratanya pemahaman masyarakat terhadap digitalisasi wakaf yang memudahkan masyarakat untuk berpartisipasi dalam berwakaf, nengakibatkan lambannya pertumbunhan wakaf produktif,” jelasnya.

Menurut Amirsyah, dalam pengelolaan wakaf harus ada aspek sosial dan komersial. “Harus ada keseimbangan keduanya,” papar Amirsyah.

Ia juga mengatakan, secara undang-undang tidak ada masalah seorang berprofesi amil sekaligus nadzir. “Namun persoalannya etika. Ada orang lain ngak yang bisa mengurusi salah satunya,” jelasnya.

Selain itu, ia menyoroti amil yang bersikap elitis hanya menjemput zakat dari muzaki tanpa melihat lingkungan di sekitarnya. “Saya tinggal di Ciputat dekat perumahan elite Bali View tetapi di luar perumahan tersebut banyak yang miskin. Apakah wajib zakat dari Perumahan Bali View peduli ngak dengan masyarakat di luar yang miskin? Inilah tugas amil untuk mengenidentifikasi warga miskin tersebut termasuk kebutuhan untuk modal,” tegas Amirsyah.

Zakat, kata Amirsyah bisa menjadi sharing ekonomi. Yochai Benkler seorang profesor dari Universitas Harvard mengatakan, sharing atau semangat berbagi merupakan modalitas yang paling penting untuk meningkatkan produksi ekonomi.

Selain itu, Amirsyah meminta penguatan peran amil sebagai sarana ibadah sosial dalam tata kelola zakat. “Penting juga membuat model pembiayaan sertifikasi wakaf oleh nadzir untuk produktif secara mandiri, berkelanjutan dan berkemajuan untuk pengembangan amal sosial,” pungkasnya.