Gibran: Memilukan dan Memalukan

Ahmad Basri, Penulis Adalah Ketua K3PP Tubaba /alumny HI UMY

Kasus Gibran putra Presiden Jokowi sebenarnya mempertegas tentang kondisi generasi anak muda indonesia saat ini. Fenomena Gibran sesungguhnya mewakili gambaran umum tentang bagaimana mencapai kesuksesan dengan cara cepat dan mudah dan tak perlu bersusah payah berproses berlama – lama dengan waktu.

Ajaran lama tentang motivasi kesuksesan hidup “berrakit rakit kehulu, berenang renang ketepian, bersakit sakit dahulu, lalu sukses senang kemudian” sepertinya tak berlaku bagi seorang Gibran atau setidaknya perlu direvisi ulang mungkin tidak lagi sesuai dengan kreteria zaman. Kesempatan tidak datang dua kali dan harus diraih dan direbut secepat mungkin tak perduli kepantasan atau tidak.

Hari ini kekuasaan dan jabatan hanya dimaknai sebagai alat mesin penggilas untuk menyingkirkan segala rintangan agar mudah mencapai apa yang diinginkan dan diharapkan. Bagi mereka yang memiliki kekuasaan dan jabatan dan uang aturan peraturan hanyalah seonggok kertas yang kapanpun bisa dicampakan ke dalam tong sampah tak perlu malu apalagi berbicara moral dan etika.

Sebagai contoh di sisi lain sering kali kita menyaksikan dan melihat fenomena sosial di tengah masyarakat, misalkan sikap orang tua yang memperkenalkan sang “anak” dipanggung sosial, bahwa sangat “anak” telah diterima atau bekerja di salah satu institusi negara. Tentu itu semua sah – sah saja dilakukan orang tua terhadap putra – putrinya mungkin sebagai tanda bentuk kasih sayang memperkenalkan ke publik. Memperkenalkan sesuatu yang dibanggakan memang salah satu bentuk tabiat manusia sejak dahulu dengan segala motivasi yang mengiringi.

Tapi apakah pencapaian prestasi itu benar – benar merupakan sebuah proses yang alami karna kemampuan sang anak itu sendiri atau melalui jalan tangan “kotor” yang menghalalkan segala cara dengan menyingkirkan mereka yang seharusnya menjadi haknya. Betapa banyak cerita sedih anak – anak muda berprestasi di negri ini yang harus tersengkir terelaminasi digantikan oleh mereka, anak – anak muda yang minus prestasi hanya karna faktor orang tuanya memiliki kedudukan jabatan dan uang.

Mari kita cek kejujuran dalam hati kita apakah mereka yang diterima di institusi kelembagaan negara, sesungguhnya merupakan sebuah proses seleksi yang berlandasan pada kepantasan moralitas dan etika peraturan yang ada. Jika ditelisik lebih dalam lagi sesungguhnya kita miris bahwa di dalam seleksi yang namanya etika dan moralitas itu menjadi barang langka. Semuanya cenderung berproses dengan cara loby – loby bukan kemampuan atau prestasi yang dimiliki.

Loby kekuasaan, loby jabatan dan lobby uang dan itu yang sesungguhnya mewarnai semua struktur sendi sosial kehidupan kita hari ini. Seleksi penerimaan dalam bentuk apapun tidak lagi berlandaskan norma etika dan moralitas. Kepantasan dan kepatutan tidak lagi lagi menjadi parameter dalam berbagai macam penerimaan. Trust kepercayaan kita terhadap apa yang sering kita lihat dalam berbagai macam seleksi sesungguhnya menunjukan, bahwa kesuksesan pencapaian seseorang bukan karna prestasi personality.

Jika dimaknai sesungguhnya loby sesuatu yang mengandung nilai – nilai positif jika di tempatkan pada tempatnya. Dalam segala aspek loby merupakan bagian kehidupan sosial dalam berkomunikasi yang mustahil untuk dihindari. Dengan cara loby apa yang kita miliki dapat kita komunikasikan tentang sesuatu “produk” agar setidaknya dapat memberikan gambaran. Itulah loby dalam arti yang sesunguhnya.

Di tangan – tangan kekuasaan politik yang kotor loby merupakan alat penekan yang paling ampu untuk mempengaruhi setiap keputusan kebijakan. Aturan peraturan hukum yang baik sekalipun akan menjadi “sampah” ketika jatuh ditangan kekuasaan politik yang serakah. Hakim tidak lagi menjadi entitas simbol “kesucian” untuk mempertahankan marwah hukum keadilan. Hakim hanya melayani sebagai pelayan kepentingan politik kekuasaan. Itulah yang kita rasakan dan terusiknya rasa keadilan publik atas keputusan MK beberapa waktu lalu.

Begitu mudahnya aturan peraturan diobrak – diabrik demi sahwat birahi kekuasaan politik yang liar. Pada akhirnya generasi mudah indonesia kedepannya akan seperti “Gibran” mencontoh dan melakukan apa saja selama kekuasaan jabatan masih dalam genggaman. Dan etika moralitas dan rasa malu adalah syair puisi yang tak lagi menjadi nilai – nilai standar kehidupan. Itulah mengapa Jabatan dan kekuasaan tidak selalu identik dengan yang namanya moralitas. Hari ini kita dipertontonkan prilaku nepotisme politik yang sangat memalukan dan memilukan dalam segala bentuk.