Jepang dan China di Indonesia

Oleh: Penulis Ketua K3PP – Tubaba dan Alumny HI – UMY

Secara teoritik politik kebijakan luar negeri kita masih sama seperti dulu tidak berubah yakni politik bebas aktif. Politik bebas aktif dimaknai bahwa, bebas tidak berpihak dalam satu kekuatan manapun dalam konstalasi politik global, namun aktif dalam kegiatan pergaulan politik internasional dan ikut memberikan sumbangan pemikiran untuk mencapai perdamaian dunia.

Semangat politik luar negri bebas aktif itu lahir, dari rahim tatanan politik global, yang diselimuti oleh adanya rasa kehawatiran, ketakutan dan ketidak pastian, akibat dua kutub besar kekuatan bipolar, blok ideologi kapitalisme (AS) dan sosialisme komunisme (US), yang bersetegang merebutkan wilayah pengaruh ideologi. Posisi itu yang menempatkan Indonesia mencari pilihan untuk bersikap netral non blok dalam tatanan politik internasional.

Dalam realitas empiric tatanan politik global kita menyaksikan sendiri bagaimana akhirnya ideologi sosialisme komunisme (US) runtuh era dekade awal 90 an. Seiring ambruknya tembok berlin, dan menyatunya Jerman Timur menjadi Jerman. Pencahnya US menjadi negara bagian dan serta lahirnya negara baru bernama Rusia.

Rakyat memberontak melawan rezim kekuasaan untuk membangun perubahan baru, karna menganggap sistem sosialis komunisme gagal mensejahterakan kehidupan. Perlawanan itu karna tidak ada pertumbuhan ekonomi di negara – negara berhaluan sosialis komunisme. Faktor itu sesungguhnya memberi andil besar bahwa, ideologi sosialis komunisme gagal sebagai ideologi politik ekonomi pembangunan.

Namun dalam prakteknya politik luar negri “bebas aktif – non blok” tidak sepenuhnya benar – benar dijalankan. Masa kekuasaan Presiden Soekarno misalkan, cenderung pada kedekatannya dengan US – China, yang berhaluan ideologi sosialisme komunisme. Era Soeharto berbalik seratus lima puluh derajat arah kebijakan cenderung kepada AS yang berhaluan ideologi kapitalisme.

Masing – masing kedua pemimpin tersebut, tentu memiliki landasan historis filosophis paradigma tersendiri menempatkan posisi kebijakan luar negri. Pilihan – pilihan tersebut tentu dengan alasan rasional untuk pencapaian kepentingan nasional. Pilihan – pilihan tersebut juga membawa konsekuensi ideologis tersendiri di dalam negri.

Kedekatan Soekarno di era 1960-an dengan US plus RRC (sosialisme komunisme) menghidupkan kembali semangat PKI, sebagai partai politik membangun kekuatan politik massa, dengan jargon politik paling utama hidup dab mati bersama Bung Karno. Pada akhirnya dalam perjalanan sejarah menjadi ” malapetaka “, Soekarno harus melepaskan kekuasaannya dan PKI menjadi pesakitan. Para tokohnya dan simpatisan diburu dan diadili. Kurang lebih hampir 750 – 1 juta orang merenggang nyawa akibat tragedi 1965.

Di era Seharto hampir kurang 32 tahun berkuasa kiblat kebijakan politik luar negri berubah total. Pola kebijakan lebih bernuansa membangun kerja sama dengan negara negara maju berhaluan kapitalisme dengan motor penggerak AS – Jepang sebagai sekutu utama pembangunan. Lahirlah berbagai macam regulasi kebijakan politik ekonomi pembangunan yang semuanya untuk membuka kran masuknya investasi asing ke Indonesia.

Kemitraan kerjasama dalam investasi menjadi warna tersendiri dengan dominasi investasi Jepang di Indonesia. Hari ini kita bisa melihat dimana – mana, merk otomotive kendaraan roda dua dan empat, hampir merata semuanya produk Jepang. Market pasar otomotif kendaraan semua didominasi oleh Jepang, kalaupun ada merk lain negara lain seperti Korea atau Eropa itupun tidak begitu kuat menguasai market pasar. Belum lagi produk elektronik lainnya semuanya made in Jepang.

Tentu ini menarik tentang sejarah investasi Jepang ke Indonesia yang secara cultural tidak pernah ada atau terdengar menimbulkan benturan gejolak sosial di tengah masyarakat. Tak pernah terdengar masuknya investasi Jepang mendapatkan reaksi negatif oleh masyarakat. Kalaupun pernah ada di era tahun 1975 ” kasus malari ” anti produk Jepang, namun tidak serta merta mengganggu masuknya investasi Jepang Ke Indonesia, tapi sebaliknya semakin meningkat setiap tahunnya.

Keberhasilan Jepang melakukan investasi besar – besaran di Indonesia setidaknya telah merubah wajah ” Indonesia ” berubah. Kita mengalami kemajuan dan pertumbuhan ekonomi yang luar biasa. Pembangunan dengan parameter pertumbuhan ekonomi mendorong Indonesia menjadi salah satu negara ” macan asia ” di masa depan. Walaupun tetap dan masih ada wajah kantong – kantong kemiskinan yang tertinggal dari proses pembangunan di setiap sudut kehidupan masyarakat.

Hari ini dalam konteks perspektif politik ekonomi pembangunan, posisi Jepang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat kita. Ada perasaan ” saudara ” jika kita meletakan Jepang dalam konteks cultural kebudayaan di tengah masyarakat. Kita tidak menemukan adanya sentimen negatif di tengah masyarakat terhadap Jepang. Tentu ini merupakan salah satu keberhasilan investasi Jepang di Indonesia.

Salah satu faktor keberhasilan Jepang dalam berinvestasi di Indonesia menciptakan hubungan timbal balik yang saling menguntungkan. Tenaga kerja lokal ditempatkan pada posisi yang manusiawi. Pelatihan skill tenaga kerja dibangun dan tranformasi alih teknologi tercipta. Putra – putri terbaik dikirim ke Jepang untuk belajar teknologi. Kerja sama pendidikan belajar ke Jepang dengan bea siswa terpogram secara sistematis.

Hari ini kita lihat berbagai gelar pendidikan S1 – S3 lulusan perguruan tinggi dari Jepang begitu banyak kita temukan. Menariknya Jepang siap berinvestasi dengan syarat bahwa, tanah yang akan mereka bangun sebagai industri bukan dari proses yang tidak ” manusiawi ” dengan jalan penindasan dan penggusuran tanah masyarakat. Jika itu terjadi Jepang tidak akan mau melakukan investasi.

Bandingkan kita hari ini kebijakan politik ekonomi pembangunan yang ” berkiblat ” ke China. Masuknya investasi China dalam berbagai sektor pembangunan tidak mencerminkan wajah keadilan bagi lapisan masyarakat. Sentimen anti China bangkit dimana – mana. Ini semua bukan tanpa alasan, mengapa sampai detik ini penerimaan terhadap mereka etnis China belumlah mampu menjadikan mereka bagian saudara.

Jika menelisik sejarah masuknya etnis China ke Indonesia sudah dimulai sejak awal abad pertengahan 15. Artinya, memiliki sejarah yang sangat panjang jika dihitung sampai detik ini yakni sudah hampir mencapai 450 tahun lebih. Namun tidak mengalami satu proses kebudayaan sosial yang berarti dalam kehidupan masyarakat. Masih terjadi garis pembatas yang sangat jelas.

Dalam perspektif sosial ekonomi etnis china dalam posisi negatif tidak mampu berasimalisasi kultural. Asumsi lama mereka adalah kaum pengkhianat dalam persektif kultural ekonomi politik. Kasus Rempang, Batam, Riau mempertegas asumsi lama bahwa apapun tentang China adalah kelicikan dan pengkhianatan. Sulit membangun kepercayaan bahwa apapun investasi China di Indonesia memiliki sifat prilaku yang negatif berbeda dengan Jepang.

Di tambah oleh sikap arogansi kesombongan kekuasaan yang ditunjukan oleh elit pemimpin hari ini. Pernyataan Jokowi – Luhut akan menggusur ” buldozer ” siapan yang mengganggu investasi China serta pernyataan Panglima TNI akan memiting ” piting ” siapun yang melawan, menunjukan sebuah sikap rendahnya ” sense of crisis ” dari mereka. Walaupun akhirnya pernyataan ” piting ” telah diralat dan Panglima TNI telah meminta maaf.

Namun sikap para pemimpin yang tidak mencerminkan rasa keadilan tersebut, dampaknya satu semangat anti China akan lahir dimana – mana. Tidak menutup kemungkinan akan terulang kembali sejarah hitam 98. Mereka yang tidak berdosa dari saudara kita etnis China pada akhirnya menjadi sasaran kemarahan sosial. Jangan salahkan jika rakyat pada akhirnya tidak memiliki rasa tentang NKRI.

Dan patut dicurigai kemesraan hubungan dengan China, atas nama investasi tidak serta merta hanya faktor ekonomi, bisa jadi China sedang membangu poros ideologi baru yang tersembunyi. Dan di mata China, Indonesia merupakan negara yang sangat lemah dan tak memiliki kekuatan kedaulatan sehingga mudah dikendalikan. Para pemimpinnya tak memiliki integritas Nasionalisme. Hanya Nasionalisme semu yang dalam slogan tanpa makna. Persepsi itu yang sesungguhnya terbangun selama ini. Apa yang kita dapatkan dari investasi China di Indonesia kecuali kehinaan sebagai sebuah bangsa.