Gabung PDIP, Demokrat Bakal Jadi Partai Gurem

Oleh : Sholihin MS (Pemerhati Sosial dan Politik)

Nampaknya Demokrat bakal bergabung dengan PDIP. Dua kubu yang sebenarnya secara ideologi berseberangan, ditambah “permusuhan” Megawati dan SBY yang sampai saat ini belum berakhir. Apakah mau tetap dipaksakan berkoalisi karena Demokrat, terutama SBY belum bisa move on dari sakit hatinya karena tetap merasa “ditelikung” soal cawapres. Harapan nyawapres seolah sudah dalam genggaman, tiba-tiba lenyap dalam waktu yang sangat singkat.

Sebenarnya jika dari awal Demokrat membuat opsi A, B, dan C atau plan A, B dan C, sebagaimana yang berlaku dalam hukum dunia, ketidakterpilihan AHY sebagai cawapres tidak akan begitu kecewa. Apalagi ada pepatah mengatakan: Manusia (hanya bisa) berusaha, tapi Allahlah yang menentukan

Sulitnya Demokrat untuk memaafkan rasa kecewa karena secara tergesa-gesa melakukan serangan dengan tuduhan pengkhianat. Tentu .menjadi sangat sulit dan malu untuk bisa menarik lagi tuduhan itu. Walaupun dalam beberapa pernyataannya AHY menyampaikan sudah move on dan memaafkan sekaligus meminta maaf. Dari sisi AHY mungkin benar sudah move on dan memaafkan segala yang telah terjadi. Tapi dari sisi SBY sepertinya tidak bisa move on karena sebagai seorang mantan Presiden akan merasa jatuh wibawanya jika harus meminta maaf apalagi harus mencabut ucapannya, dianggapnya sesuatu yang tabu. Lebih baik mencari cara dengan membenarkan tindakannya sambil mencari jalan keluar dari permasalahan yang dihadapi.

Namun bagi rakyat yang awam dan netral, langkah Demokrat bergabung dengan PDIP adalah “hara kiri”. Demi mempertahankan gengsi, rela menempuh jalan yang tidak rasional dan berbahaya .

Paling tidak ada lima resiko yang bakal ditanggung Demokrat :

Pertama, Selama ini Demokrat dan PDIP tidak pernah bersatu. Bisa diibaratkan air dan minyak. Ideologi PDIP yang condong ke komunis dan menjadi sarang antek-antek PKI atau PKI gaya baru, sedangkan SBY dan AHY yang dididik secara militer adalah anti PKI. Jadi kalau keduanya bersatu penuh dengan kepura-puraan

Kedua, AHY selama ini bilang konsisten dengan perubahan, sedangkan PDIP adalah fotokopi Jokowi. Kata Perubahan bukan sekedar sebuah program, tetapi menyangkut filosofi, arah kebijakan, pola tindak, dan bentuk program real yang bersentuhan dengan kebutuhan rakyat. Bagaimana mungkin mau dipadukan dengan program status quo yang berpihak kepada oligarki taipan dan menyengsarakan rakyat ?

Ketiga, PDIP selama ini dalam kendali oligarki taipan, sedangkan Demokrat relatif tidak bergantung kepada oligarki taipan

Jokowi selama menjadi Presiden cuma jadi boneka atau wayang yang selalu dikendalikan oleh oligarki taipan. Dan Ganjar sudah ‘teken kontrak” dengan para oligarki taipan. Apakah Demokrat mau ikutan jadi boneka oligarki taipan ?

Keempat, Para caleg Demokrat selama ini sudah nyaman dengan slogan perubahan dan perbaikan

Jika Demokrat berganti haluan bergabung dengan PDIP, betapa kacaunya para caleg harus menjelaskan kepada konstituennya. Selain itu, semua Baligo dan media publikasi harus dirubah total, artinya betapa besarnya dana yang harus dikeluarkan para caleg.

Kelima, Demokrat akan ditinggalkan pendukungnya

Pendukung Demokrat adalah pendukung Anies, bukan pendukung Ganjar atau Prabowo. Demokrat tanpa dipilih rakyat bisa jadi partai gurem, beruntung kalau masih bisa masuk ke Senayan. Ingat, Ganjar dan Prabowo itu menang hanya di survey abal-abal (menurut Anthony Budiawan survey pelacur), tapi yang real kurang dari dua digit. Menurut Litbang Kompas partai pendukung Jokowi hanya dipilih 15-18%. apalagi menurut polling ILC, CNBC, dan Google trend, Anies akan memenangkan Pilpres hanya dalam satu putaran.

Anies adalah (suara mayoritas) rakyat. Beroposisi dengan Anies artinya beroposisi dengan rakyat. Siapkah Demokrat berhadapan dengan rakyat dengan membuat narasi-narasi yang selalu negatif dan bohong seperti yang dilakukan PDIP selama ini terhadap Anies ?

Sangat diragukan Demokrat bisa piawai dalam kepura-puraan, kebohongan dan hipokritis.

Jadi, benarkah Demokrat akan gabung PDIP ?

Wallahu a’lam

Bandung 25 Shafar 1445