Presidium Forum Negarawan: Musso Tokoh PKI yang Jenius Melawan Kolonialisme Belanda

Munawar Musso atau dikenal Musso merupakan tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI) yang Jenius melawan kolonialisme Belanda

“Dari Musso kita belajar arti kekalahan. Tapi, satu hal yang pasti bahwa usaha besar untuk melawan hegemoni kolonialisme lama maupun baru adalah membangun diskursus perlawanan. Terus melawan. Merdeka atau mati. Merdeka 100 persen,” Presidium Forum Negarawan Yudhie Haryono dalam pernyataan kepada redaksi www.suaranasional.com, Selasa (28/8/2023).

Kata Yudhie, Musso adalah tokoh besar PKI yang hanya dapat dibandingkan dengan Tan Malaka dan Bung Karno. Baik pikiran, ucapan dan jangkauan jaringannya.

“Ia memimpin PKI pada era 1920-an dan selalu melawan kolonial sampai 1948 tapi kalah dan dipenggal di akhir kekalahan yang menyakitkan. Kekalahan republik untuk tegak terbaik di antara bangsa tengik penjajah,” ungkapnya.

Musso dilahirkan di Kediri, Jawa Timur 1897. Ia putra seorang kiai besar di Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Kiai besar itu adalah KH Hasan Muhyi alias Rono Wijoyo, seorang pelarian pasukan Diponegoro.

Karena anak orang berpengaruh, tak sulit baginya menjadi pengurus Sarekat Islam pimpinan HOS Tjokroaminoto. Selain di Sarekat Islam, Musso juga aktif di ISDV (Indische Sociaal-Democratishce Vereeniging atau Persatuan Sosial Demokrat Hindia Belanda).

Saat di Surabaya, kata Yudhie, Musso kos dan jualan buku di Jl. Peneleh VII No. 29-31 rumah milik HOS Tjokroaminoto, guru sekaligus bapak kosnya. Selain Musso di rumah kos itu ada Soekarno, Alimin, Semaun, dan Kartosuwiryo. Musso, Alimin, dan Semaun dikenal sebagai tokoh kiri Indonesia yang radikal anti kompromi. Kartosuwiryo tokoh Islam yang memiliki ummat luas dan gerilyawan ulung. Sedangkan Soekarno adalah negarawan yang memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, bersama Hatta.

Kata Yudhie, membaca pikiran dan tindakan Musso adalah membaca mantra di bumi nusantara, pemberani yang sebenarnya adalah mereka yang tak lekas patah hati, tetapi bertahan dengan menghadapi setiap ujian, cobaan, cercaan dan hinaan.

“Itulah mental merdeka, mandiri, daulatif, modern, martabatif dan menzaman. Akankah kita menuju stasiun yang sama? Mari bergerak terus tak putus,” ungkapnya.

Bagi Musso, jika ada cita-cita, maka ada usaha sekuatnya. Jika ada harapan di masa depan, maka ada kekuatan untuk mencapainya. Karenanya, tragedi terbesar warganegara adalah saat tak punya cita-cita dan harapan.

“Di sinilah kita harus terus bangun politik harapan dan lanskap cita-cita. Politik harapan dan cita-cita akan solid jika ada ideologi. Maka, mendasari semua perjuangan dengan ideologi adalah keniscayaan,” pungkasnya.