LPEKN Desak DPD Selesaikan Skandal BLBI

JAKARTA – Ketua Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Keuangan Negara (LPEKN), Sasmito Hadinegoro mendesak Panitia Khusus (Pansus) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) DPD RI serius menuntaskan mega skandal korupsi keuangan negara BLBI sebagai kasus korupsi terbesar sejak RI merdeka.

“Karenanya, dibutuhkan keseriusan Pansus BLBI DPD RI dengan memprioritaskas kasus-kasus BLBI terbesar terkait BCA-BDNI yang patut diduga menyeret para konglomerat-konglomerat hitam seperti Anthony Salim, Budi Hartono, Syamsul Nursalim, dan istrinya, Itjih Nurssalim,” kata Sasmito dalam rilis pers yang diterima, Jumat (23/6).

Sasmito mengatakan, masalah BLBI perlu segera diselesaikan mengingat daya rusak ekonominya yang sangat besar. Sampai detik ini, menurutnya, potensi kerugian keuangan negara dari kedua bank swasta terbesar itu mencapai ratusan triliun.

Di samping itu, Sasmito juga meminta Pansus BLBI untuk menyelidiki penjualan Bank Danamon kepada Temasek-Singapura yang terjadi di periode Kabinet Presiden Megawati Soekarnoputri berkuasa sampai tahun 2004.

Kasus ini harus dibongkar kembali sebab, menurut Sasmito, diduga kuat ada rekayasa yang dibuat oleh para menteri ekonomi Presiden Megawati.

“Saya minta, Pansus BLBI DPD RI ini serius dalam bekerja. Tuntaskan skandal mega skandal ini. Jangan sampai mereka masuk angin sebab godaan dari BLBI ini sangat besar,” ujar Sasmito.

Karena itu, Sasmito meminta Pansus BLBI DPD RI ini istiqomah dalam bekerja dan tidak terpengaruh dengan godaan uang yang menjadi senjata pamungkas para obligor BLBI ini.

“Pansus BLBI ini berhadapan dengan para pengusaha kakap. Godaannya sangat besar sekali. Mereka akan berusaha dengan segala macam cara agar tidak diusik oleh Pansus BLBI ini,” tegasnya.

Selain itu, Sasmito juga mendesak Pansus BLBI DPD RI agar meminta PT Bank Central Asia (BCA) Tbk mengembalikan-saham BCA 51 % dan pembayaran kembali obligasi rekapitalisasi Pemerintah Rp 48 trilyunan yang dipegangnya – telah dijual Pasar Sekunder sampai tahun 2009 yang lalu plus nilai Bunga Obligasinya Rekapitslisasi Pemerintah- yang dipakai sebagai “GANJAL BUKU” agar BCA memenuhi Peraturan BI itu dengan membayar kembali kepada pemerintah senilai Rp 90 triliunan
Pasalnya, menurut Sasmito, BCA saat ini telah mencetak untung dan tercatat sebagai bank terbesar di Indonesia.

“Jadi, sekarang ini, BCA yang sudah pernah akan bangkrut itu kan sudah selamat. Bahkan berjaya berkat bantuan Pemerintah. Maka sekarang sungguh layak dan sudah semestinya pemilik baru – pemegang saham mayoritas BCA baru- membalas budi kepada Pemerintah dengan mengembalikan Obligasi Rekap itu,” ujarnya.

Sasmito menerangkan, ikhwal BCA menerima BLBI terjadi saat BCA terkena rush pada saat terjadinya krisis Moneter .Saat itu, BCA menerima bantuan BLBI yang jumlahnya Rp 32 triliun.

Mekanisme pemberian diberikan secara bertahap yakni Rp 8 triliun, Rp 13,28 triliun, dan Rp 10,71 triliun
Ketika masih dimiliki sepenuhnya oleh Salim Group, sebagai pemilik BCA Salim Group mengambil kredit dari BCA senilai Rp 52,7 triliun. Maka ketika 93 % BCA dimiliki oleh Pemerintah, hutang Salim Group tersebut beralih menjadi utang kepada pemerintah.

“Jadi Pemerintah menagihnya kepada Salim Group,” terangnya.

Karena Salim Group tidak memiliki uang tunai, lanjut Sasmito, maka dibayarlah dalam skema Pelunasan Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) yang wujudnya Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) dengan uang tunai sebesar Rp 100 Miliar dan 108 perusahaan.

Menurutnya, yang menerima Obligasi Rekap itu adalah BCA. Karena itu, sampai sekarang yang punya Obligasi Rekap itu adalah BCA. Artinya Pemerintah berhutang kepada BCA dan membayar bunga atas Obligasi Rekap itu.

Padahal semula terjadinya Obligasi Rekap itu untuk mengembalikan kepercayaan publik pada BCA.

“Yang menerima BLBI itu BCA. Apakah Salim Group pinjamannya kepada BCA itu melampaui BMPK atau tidak, saya lupa. Tapi kalau BDNI dan Bank Danamon saya ingat betul melampaui BMPK,” jelasnya.

Dia menjelaskan karena terjadi rush maka BI mengucurkan dananya utk mengatasi rush itu. Pada saat itu, dana yang di kucurkan BI itu masih berstatus utang karena dana talangan.

“Jadi pemiliknya yang masih Salim Group,” urainya.

Kepemilikan itu menyangkut Saham dan saham baru beralih melalui RUPS yang kemudian di Akte notaris kan dan di laporkan ke Kemenkumham.

“Nah itu tentu memerlukan waktu sehingga rasanya tidak mungkin sempat di lakukan pada saat saat rush tadi (saat dana dikucurkan),” pungkasnya.