Sekum PP Muhammadiyah Minta Negara tak Atur Penetapan Awal Ramadan dan 1 Syawal

Berdasarkan konstitusi Bangsa Indonesia setiap warga menjalankan ibadahnya tanpa adanya intervensi dari negara termasuk dalam penetapan awal Ramadan dan 1 Syawal.

“Negara tidak usah mengatur penetapan awal Ramadan, 1 Syawal maupun hari besar agama Islam lainnya,” kata Sekretaris Umum (Sekum) PP Muhamamdiyah Abdul Mu’ti dalam acara pembukaan Musyawarah Daerah (Musyda) Muhamamdiyah Kota Bogor, Ahad (28/5/2023).

Ia menceritakan menelpon Sekjen DPP PDIP Hasto Kristiyanto ketika Wali Kota Pekalongan Afzan Arslan Djunaid yang juga kader partai berlambang Banteng Moncong Putih melarang warga Muhamamdiyah menggunakan lapangan Mataram untuk Shalat Idul Fitri.

Akhirnya Wali Kota Pekalongan meminta maaf dan memberikan izin warga Muhamamdiyah menggunakan lapangan Mataram untuk menjalankan Shalat Idul Fitri.

Kata Mu’ti, konstitusional Indonesia Negara Pancasila yang mengatur kemerdekaan warganya untuk menjalankan ibadah sesuai agama dan kepercayaannya.

Mu’ti menambahkan, paham rezimentasi agama sudah tampak jelas terjadi di Indonesia. Paham agama dari kelompok tertentu dipaksakan untuk diterima oleh kelompok lain. Jika ini dibiarkan, bisa menjadi masalah serius karena sikap negara seharusnya berdiri di atas semua kelompok dan agama. Warga harus dibebaskan menganut keyakinan sesuai dengan agama dan kepercayaan.

”Formalisasi kehidupan beragama bisa menjadi masalah serius jika ada kelompok yang memaksakan paham agama tertentu dan itu didukung oleh pemerintah atau negara,” katanya.

Indonesia, menurutnya, tidak boleh mengulangi kesalahan yang sama, memaksakan paham agama tertentu kepada kelompok lain. Sebab, di Indonesia sudah jelas kebebasan beragama dijamin konstitusi. Seluruh warga negara berhak mendapatkan kebebasan dan negara tidak boleh berpihak pada agama tertentu. Semua pihak harus mendapatkan ruang dan rasa aman sesuai dengan agama dan keagamaan.

”Gejalanya sudah ada makanya diangkat dalam isu Muktamar. Gejala yang terlihat, misalnya, paham tertentu tidak boleh di Indonesia diikuti dan kalau terjadi akan menjadi masalah soal keyakinan berdasarkan siapa dan berapa pengikutnya,” ungkapnya.

Muhammadiyah akan terus mendorong kemajemukan dan negara harus berdiri di atas semua kelompok untuk bisa beribadah sesuai dengan konstitusi UUD 1945.

Selain itu, dalam konteks aktualisasi Islam yang berkemajuan, Mu’ti menyampaikan bahwa makna aktualisasi adalah mengenalkan Islam yang sesuai dengan karakter agama Islam. Yakni Islam sebagai agama yang berkemajuan yang ajaran dan nilai-nilainya mengandung dan mendorong kemajuan.

Karakter berkemajuan itulah yang oleh Mu’ti harus dimiliki Muhammadiyah saat ini dan di masa depan. “Karakter-karakter tersebut saya kira menjadi bagian penting yang harus dimiliki Muhammadiyah di masa depan”. Mu’ti lalu merangkum 5 karakter Muhammadiyah di masa depan, yakni (a) mendunia; (b) terbuka; (c) inovatif tata kelolanya; (d) adaptif terhadap perubahan, dan; (e) responsif terhadap berbagai persoalan kontemporer.