Dari A.R Baswedan kepada A.R Baswedan

*Catatan: ini surat imajiner A.R. (Abdurrahman) Baswedan kepada A.R. (Anies Rasyid) Baswedan. Anies adalah cucu Abdurrahman, pahlawan nasional.

Cucunda tersayang,

Apakah kau baik-baik saja? Kakek hanya mau bilang betapa kakek bangga pada ketenanganmu menghadapi badai dahsyat yang menyapu dari utara. Rakyat terdorong ke sana ke mari, teraduk-aduk, tanpa tahu kapan badai berakhir. Dan bagaimana kehidupan nanti. Persis seperti Belanda mempermainkan kami dulu.

Tak usah menyesal! Kakek tahu bukan kau yang menghadirkan prahara ini. Para kriminal politiklah yang menghubung-hubungkannya dengan niat baikmu mengubah tatanan yang mereka ciptakan. Bukan main jahatnya mereka! Bung Karno dan Bung Hatta pun akan menangis menyaksikan realitas ini.

Sikapmu mengingatkan kakek pada Sutan Syahrir. Ketika sedang rapat di Yogya membicarakan diplomasi untuk mempertahankan kemerdekaan negeri, yang penduduknya kurus kering dihisap penjajah ratusan tahun, sekonyong-konyong suasana berubah panik. Pesawat tempur Belanda memuntahkan bom dekat istana tempat rapat.

Semua yang di dalam tiarap, kecuali Bung Syahrir. Ia bergeming di tempatnya, tak mau teror mengalahkan kehendak suci bangsa membebaskan diri dari belenggu penindas. Baginya, membicarakan kemerdekaan lebih penting ketimbang apapun juga.

Kakek tak sanggup melihat senyummu. Senyum yang menyembunyikan beban berat yang kau pikul. Sudah sangat lama kakek tak menangis, bahkan ketika ibunda tercinta meninggal. Kakek sudah berdamai dengan semua yang dihadirkan dunia, bagaimsnapun perihnya. Yang tak semua terfahami kecuali orang yang percaya pada Tuhan. Kalau tidak, hidup kehilangan makna. Dan semua menjadi tidak berguna. Kakek senang mendengar kau perbanyak shalat dan zikir akhir-akhir ini.

Cucunda tersayang,

Saat ini, ketika kenangan perjuangan generasi kakek merayap di keheningan malam yang agung, kakek menangis berkali-kali. Mengapa penguasa tega menghancurkan cita-cita luhur bangsa. Cita-cita menghadirkan keadilan sosial, menyatukan ras, etnis, dan suku dalam arus besar menuju muara yang satu.

Juga melenyapkan segala penindasan. Mestinya penguasa meresapi ini karena inilah yang menjadi roh perjuangan kami dulu. Ketika mencerna pidato-pidatomu tentang tema ini, bukan main bangga kakek padamu. Setidaknya kakek merasa tak sia-sia mentransfer roh perjuangan ini untuk kau teruskan. Terima kasih, cucuku.

Bayangkan, ratusan tahun kita dipecah-belah, diadu domba, dikuburkan sejarah kita biar selamanya kita hidup dalam gelap. Diciptakan stereotip sebagai bangsa inferior yang biadab supaya kita menerima kepemimpinan bule yang mengklaim diri superior, yang membawa nilai-nilai mulia. Jahat bukan?

Apanya yang mulia! Menindas pihak berbeda mulia? Penindasan satu kelompok atas kelompok lain adalah hukum sosial alami untuk kelangsungan hidup manusia? Jangan percaya! Ini hanya akal-akalan kriminal politik untuk melestarikan kenyamanan hidup mereka. Syukur kau menyadari ini. Bahkan kakek tak malu untuk bersaksi bahwa pemahamanmu tentang hal ini lebih komplit daripada kakek.

Herannya, pelaku kejahatan adalah orang kita sendiri, yang dipilih karena berjanji mengangkat mertabat rakyat. Kita terkecoh, tak menyangka wajah lugu yang dulu berjanji memenuhi semua yang rakyat inginkan, ternyata seluruhnya bual belaka. Musang berbulu ayam!

Kami dulu tak ada yang seperti ini, menyingkirkan cita-cita luhur yang jadi alasan dasar berdirinya republik ini. Rakyat dibenturkan satu sama lain, kitab suci tak lagi dibaca, identitas kelompok dicerca, oligarki dimuliakan, adu gagasan dicemooh, pemerasan dilanjutkan. Apakah mereka benar-benar lahir dari rahim bangsa ini, bangsa yang mengenal penderitaan lebih daripada bangsa manapun juga.

Ironisnya, niatmu menghentikan durjana ini, justru langkahmu hendak dihentikan. Jangan peduli, teruskan langkahmu, biar pun mungkin kelak air matamu akan menghapus gubahan perjuangan yang kau tulis. Dalam menangis, kakek merasa manisnya air mata yang berlinang di bibir.

Cucuku tersayang,

Kami dulu tak punya niat sedikit pun untuk menipu rakyat demi kekuasaan. Di antara pejuang memang berbeda dalam kategori sosiologis, tapi kami duduk satu meja, berdebat, adu gagasan. Semuanya murni untuk kejayaan bangsa.

Kami sepakat bahwa manusia adalah makhluk Tuhan yang diciptakan untuk memakmurkan bumi melalui adab yang Dia tawarkan. Tiba-tiba kakek terbangun dari tidur saat penguasa bilang Tuhan adalah musuh negara. Astaghafirullah! Kakek menangis atas kejahilan ini.

Pantas kedekatanmu dengan Tuhan dituduh politik identitas. Pancasila dipermainkan. Kita tak mau belajar dari sejarah. Dulu, tahun 1965, ketika pemimpin memaksakan agama berdamai dengan ateisme, lahirlah prahara bangsa, yang lukanya belum sembuh sampai sekarang. Kini Pancasila dijadikan alat untuk menindas. Jelas, penguasa sedang mengaduk-aduk negara untuk kepentingan sendiri.

Kadang kakek terpesona bagaimana kau lawan semua itu dengan diam. Baru tahu kakek bahwa diam adalah juga perlawanan. Entah dari mana kau pelajari ini. Mahatma Gandhi pun tak diam dalam melawan.

Coba lihat, perikemanusiaan yang adil dan beradab ditafsirkan seenak perut. Kelompok berbeda diposisikan sebagai kaum barbar yang korup. Siapa bilang kami dulu tak saling menyalahkan! Dan hidup aman sentosa bak malaikat di taman firdaus.

Tidak. Kami manusia biasa seperti kalian sekarang. Kami berdebat, bahkan saling menyudutkan, tapi betul-betul bertolak dari hati yang tulus untuk memajukan peradaban bangsa ini. Bukan untuk meraih, apalagi mempertahankan kekuasaan. Akibat ego kelompok, persatuan — yang sangat mahal harganya di negeri yang ditakdirkan berbeda dalam fisik, adat, dan agana — sedang menghadapi ujian berat.

Cucuku tersayang,

Kakek tak abis pikir, visi alternatif yang kau tawarkan di tengah aneka persoalan internal dan eksternal yang dihadapi bangsa dipandang sebagai musuh besar. Tak peduli sikap itu menciptakan saling hujat sesama anak bangsa. Watak macam ini! Semangat juang kami untuk menyatukan yang ‘bhineka’ ke dalam ‘eka’ dalam tujuan, sepertinya sedang dikuburkan.

Ya, para pahlawan sejak dulu kala pasti menangis menyaksikan kenyataan ini. Toh, mustahil kemajuan bisa dicapai dalam perpecahan. Terima kasih, cucuku. Kau mengulang-ulang isu ini sebagai peringatan bagi semua. Momentumnya tepat ketika para pemimpin telah durhaka terhadap Ibu Pertiwi. Dan generasi baru tak lagi hirau pada sejarah kesengsaraan bangsa. Hedonisme dipuja di depan rakyat yang sebagian belum bisa makan kenyang.

Sekali lagi, kakek bangga padamu! Telah kau beri teladan bagaimana Jakarta bisa melahirkan keharmonisan ke level yang belum ada presedennya. Memang itu yang kami perjuangkan dulu. Dengan susah payah. Bukan hanya Jakarta. Walakin, keguyuban itu sedang dibuyarkan penguasa bebal.

Maju terus, cucuku. Biarlah itu jadi amal baktimu untuk bangsa, kendati kingkong sedang mengangkangimu. Bertahanlah! Sudah benar visimu tentang demokrasi, yang sekarang kualitasnya sedang merosot. Orang-orang di parlemen makan gaji buta. Mereka tidur dan hanya bangun untuk mengetok palu.

Apa saja yang diminta penguasa korup, langsung saja disetujui. Hanya satu dua yang melek tentang bahaya parlemen mengabaikan tugas pokoknya: membuat UU untuk menjawab kebutuhan rakyat, menyusun anggaran yang memihak rakyat, dan mengawasi eksekutif yang secara alami berwatak korup.

Alas! Mereka mengabaikan semua itu. UU Sapu Jagat diloloskan tanpa banyak periksa. Proyek ambisius disokong di tengah susah sungguh kehidupan rakyat. Bukannya mengontrol perilaku liar eksekutif, malah difasilitasi biar pun merusak prinsip good governance.

Plafon utang ditinggikan, yang sebagian diniatkan untuk digelapkan beramai-ramai. Konon, demi kemajuan bangsa. Padahal, jelas-jelas untuk melayani kerakusan oligarki dan menindas rakyat.

Cucuku tersayang,

Sebenarnya sudah lama kakek ingin menjauhi televisi dan koran biar tak tahu kehancuran yang sedang berlangsung. Tapi bagaimana bisa! Tak ada tempat untuk membuta dari ironi bangsa yang datang berbondong-bondong dari semua sisi. Setiap hari! Kakek tak akan menyesal andaikan kau mati di jalan perjuangan yang kau pilih sendiri.

Manusia hanya berguna manakala ia berarti bagi banyak orang. Bahkan, meskipun hanya niat untuk itu. Kakek sadari kekuatan-kekuatan jagat sedang bersekongkol untuk membinasakanmu. Kasihan, mereka tak tahu bahwa kau, cucuku, tak akan pernah kalah. Kalaupun nanti kau terbuang, yang kalah adalah bangsa ini. Banyak bangsa punah, terluka, dan kalah lantaran kebodohan pemimpin sendiri. Kejahilan yang dilahirkan oleh nafsu serakah.

Kehendak hati sendiri dikhotbahkan sebagai kehendak rakyat. Mana mungkin penguasa yang punya logika sendiri dalam melayarkan bahtera negara diidentikkan dengan kemauan penumpang yang tak mengerti tabiat laut. Lahirnya lembaga legislatif dan yudikatif sudah dengan sendirinya mengakui watak korup eksekutif.

Itu sebabnya bila triaspolitika tidak berjalan, saat eksekutif mengkooptasi legislatif dan yudikatif, yang akan lahir adalah ketidakadilan sosial. Inilah yang kakek lihat sedang menganga di tengah kita. Kok, kakek mengajari seorang doktor ilmu politik! Sesekali, sudilah kau dengar ocehan pejuang yang telah ditinggalkan ini.

Orang-orang lalu-lalang di depan rumah nampak kurus-kurus dengan wajah cemas. Entah mereka dari mana dan mau ke mana, sepertinya tak punya tujuan. Mungkin kemauan hidup telah terampas dari jiwa mereka. Mereka miskin, tapi tak tahu akar penyebabnya. Sama sekali mereka tak bodoh atau malas. Sama sekali tidak! Penguasalah yang menelantarkan mereka. Herannya, mereka berebut air cuci kaki pemimpin untuk mendapatkan berkah. Naudzubillah min zalik!

Inilah contoh sempurna bagaimana penguasa sukses membodohi rakyatnya. Persis seperti kelakuan Fir’aun. Semua menjadi terjungkil balik. Tak jelas lagi yang benar dan salah. Keadilan sosial, seperti yang pernah kau bilang, bukan pemimpin melempar sembako dari jendela mobil untuk mustazafin. Bukan juga seperti dogma Marxisme.

Yang kau perjuangkan adalah keadilan sosial yang hakiki, yang mengangkat martabat rakyat kecil, bukan menghina mereka. Akses ekonomi, pendidikan, kesehatan yang merata adalah wujud keadilan itu. Kakek sepenuhnya setuju dengan pendapatmu. Juga penciptaan lingkungan yang sehat dan perkotaan yang nyaman, serta transportasi yang mudah dan murah. Betul, cuma ini yang diharapkan rakyat dari pemimpin.

Memang sederhana, tapi betapa pelik untuk diwujudkan. Karena, bagi penguasa keadilan adalah tontonan belas kasih, bukan kewajiban penguasa atas rakyat. Hal-hal ini juga yang dulu menggerakkan kami bertempur melawan kekuatan durjana. Sekarang kekuatan itu sedang mencari jalan untuk bertahan.

Bisa jadi perjuanganmu tak berhasil, cucuku! Mentah di tengah jalan. Tapi lebih baik gagal daripada tak pernah berusaha. Kakek menangis karena tak sepadan kekuatanmu di hadapan seribu kingkong yang mengepungmu. Nafkahkan hidupmu untuk rakyat yang sepanjang sejarah selalu dikalahkan, biar pun mungkin kau terjungkal, bahkan lenyap di tengah jalan. Siapa tahu kau berhasil.

Perjuangan kakek dulu juga tidak mudah. Tapi kakek melawan musuh di luar selimut. Kau melawan penguasa dari bangsamu sendiri. Cucuku, ketika surat ini sampai ke tanganmu, mungkin kakek sudah meninggal. Tak usah menangis. Jangan juga sesali hidup ini. Kakek justru bahagia melihat ada banyak orang mukhlis yang ikut berjuang bersamamu. Salam.

*Smith Alhadar

Tangsel, 3 Maret 2023