Anies tidak akan Kalah

Oleh: Smith Alhadar, Penasihat Institute for Democracy Education (IDe)

Dalam sejarah pemilu di berbagai negara, hasilnya seringkali tak terduga. Kemenangan Barack Obama dalam pilpres AS tahun 2008 cukup mengejutkan. Selain kurang populer, Obama berkulit hitam, di mana populasinya di AS hanya 10 persen. Dus, Obama adalah presiden AS berkulit hitam pertama.

Kemenangan Obama disumbangkan oleh kemampuannya mengartikulasi isu-isu penting yang dihadapi masyarakat ketika itu. Kemenangan Jokowi dalam pilgub Jakarta 2010 tak kalah mengejutkan. Ia melawan gubernur petahana Fauzi Bowo yang populer.

Sampai menjelang hari pencoblosan, elektabilitas Fauzi tetap di atas Jokowi yang tidak dikenal masyarakat Jakarta. Kemenangan Jokowi ditentukan oleh kampanye masif tentang “prestasinya” di Kota Solo.

Hasil pilgub DKI Jakarta di mana Anies-Sandi keluar sebagai pemenang merupakan fakta yang lebih mengejutkan lagi. Anies menghadapi gubernur petahana yang populeritasnya jauh melebihi Fauzi Bowo, sementara populeritas Anies jauh di bawah Jokowi dalam pilgub 2010.

Alhasil, Anies adalah kandidat underdog menghadapi Ahok yang dipuja bak dewa. Kemenangan Anies-Sandi lebih ditentukan kemampuan artikulasi Anies terkait visi dan misi yang dapat ditonton dalam debat cagub. Memang dari sisi kapasitas intelektual, Ahok tak apple to apple dengan Anies.

Situasi politik nasional hari ini mirip dengan situasi politik Jakarta menjelang pilgub 2017. Jakarta adalah miniatur Indonesia. Ada tiga pasang kandidat yang bersaing ketika itu. Pertama, Ahok-Djarot yang didukung penguasa, oligarki, dan tiga parpol (PDI-P, Golkar, Nasdem). Kedua, AHY-Silvy yang diusung Demokrat, PPP, PAN, dan PKB. Ketiga, Anies-Sandi yang hanya didukung Gerindra dan PKS. Dari konstelasi koalisi parpol ini, lagi-lagi pasangan Anies-Sandi nampak tak berpengharapan.

Kalau pilpres 2024 jadi dilaksanakan, bisa jadi tiga atau hanya dua pasangan calon saja. Kalau ada tiga pasang, koalisi yang terbentuk mirip pilgub Jakarta 2017. Pertama, koalisi yang didukung penguasa, oligarki, dan tiga partai (PDI-P, Gerindra, PKB). Prabowo-Puan adalah pasangan yang diusung. Ini mirip dengan koalisi yang mendukung Ahok-Djarot.

Kedua, Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) — untuk sementara terdiri dari Golkar, PAN, dan PPP — dengan capres Ganjar Pranowo atau Airlangga Hartarto. Kubu ini mewakili koalisi yang mengusung AHY-Silvy. Ketiga, Koalisi Perubahan (Nasdem, Demokrat, PKS) dengan Anies sebagai capresnya yang serupa dengan koalisi Gerindra-PKS dalam pilgub 2017.

Serupa dengan elektabilitas Anies di pilgub Jakarta, elektabilitas Prabowo dan Ganjar dinyatakan lebih tinggi dari Anies. Tetapi berbeda dengan Anies di pilgub 2017, hari ini Anies adalah tokoh fenomenal, melebihi sosok SBY dalam pilpres 2004 yang dimenangkannya.

Disingkirkannya Anies dari kabinet pemerintahan Jokowi periode pertama, yang diniatkan untuk mematikan karier politik Anies, justru menciptakan panggung politik yang lebih luas padanya untuk mengaktualisasikan dan pembuktian diri sebagai pemimpin-negarawan, yang mendapat apresiasi luas masyakat Indonesia dan komunitas internasional.

Kemasyhuran Anies hari ini tercermin pada tiga fenomena berikut. Pertama, upaya penguasa dengan dukungan oligarki memperpanjang masa jabatan dan menyingkirkan Anies dari arena capres.

Pasalnya, dia satu-satunya aspiran capres yang dipandang sebagai antitesa Jokowi dan berpotensi memenangkan pilpres. Ini berbahaya bagi keberlanjutan rancang-bangun pembangunan Jokowi, karier politik dan bisnis keluarganya, dan kepentingan oligarki.

Kedua, sambutan gegap-gempita rakyat di berbagai daerah yang dikunjungi Anies. Ini merefleksikan banyak hal. Di antaranya, keinginan rakyat akan perubahan di tengah impitan ekonomi dan sosial. Saat daya beli masyarakat menurun, kemiskinan dan pengangguran meluas, pemerintah memperluas wajib pajak sampai ke rakyat kecil.

Berikut, berlangsungnya kemerosotan di semua lini kehidupan berbangsa dan bernegara. Upaya membunuh karakter Anies dengan melekatkannya dengan politik identitas adalah strategi bodoh. Pasalnya, propaganda itu tidak match dengan keseluruhan capaian Anies di bidang sosial, ekonomi, dan budaya selama lima tahun memimpin Jakarta.

Ketiga, redupnya ketokohan aspiran capres lain. Memang hasil jajak pendapat beberapa lembaga survey yang dianggap kredibel menempatkan elektabilitas Ganjar dan Prabowo di atas Anies. Tapi, pada saat bersamaan, lembaga survei lain yang juga dikenal kredibel, memperlihatkan hasil yang sebaliknya.

Fenomena ini mau tidak mau membuat kita pesimistik terhadap keandalan lembaga survei. Apalagi bila kita menengok hasil jajak pendapat dan quick count lembaga survei dalam pilgub Jakarta 2017.

Menurut semua lembaga survei, perolehan suara Anies-Sandi selalu jeblok dibandingkan pasangan Ahok-Djarot. Demikian juga hasil quick count. Media Survei Nasional (Median) memprediksi Anies-Sandi meraih 49,0 persen suara, Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menghasilkan Anies-Sandi 47,9 persen, dan Charta Politika 44,8 persen.

Yang mendapat rapor biru hanya LSI Denny JA. Itu pun lembaga ini hanya mematok suara Anies-Sandi pada angka 51,4 persen. Artinya, selisih kemenangan Anies-Sandi atas Ahok-Djarot hanya 8,7 persen, berbeda jauh dengan hasil quick count KPU yang mencapai 15,9 persen. Alhasil, hasil final pilgub rasa pilpres itu Anies-Sandi unggul dengan raihan suara 57,95 persen berbanding 42,5 persen yang diperoleh Ahok-Djarot.

Menimbang hal-hal di atas, maka kalau pilpres berlangsung fair kurang masuk akal bila Anies kalah dalam pilpres mendatang. Optimisme mengenai kemenangan Anies cukup beralasan berdasarkan kenyataan berikut. Pertama, Prabowo maupun Ganjar sama-sama melambangkan kekuatan status quo.

Kedua, kalau PDI-P konsisten tak mengusung Ganjar dan bergabung dengan koalisi Gerindra-PKB mengusung Prabowo-Muhaimin atau Prabowo-Puan, peluang Anies mengalahkan pasangan ini tetap besar. Apalagi terbuka kemungkinan simpatisan Ganjar yang kecewa pada sikap PDI-P akan diberikan kepada Anies.

Kalau akhirnya terjadi head to head Anies-Ganjar — dengan catatan Ganjar diusung KIB — peluang Anies lebih besar karena ada kemungkinan PDI-P bersikap netral sebagaimana sikap Demokrat pada pilgub Jakarta setelah AHY-Silvy keok di putaran pertama. Megawati adalah pribadi yang keras. Kalau Prabowo dengan pasangannya kalah di putaran pertama — kemungkinan ini cukup besar — tidak masuk akal Megawati akan mendukung koalisi yang mengusung Ganjar. Wibawanya akan jatuh. Kendati politik itu cair dan kepentingan mendikte keputusan, logika ini tidak masuk dalam kamus Megawati. Banyak kasus yang menunjukkan keputusan politik Megawati irasional.

Kalau nanti PDI-P bergabung dengan KIB dengan mengsung Ganjar dan pasangannya (bisa jadi Airlangga Hartarto) — meskipun ini kecil kemungkinan — Anies tetap menang karena nilai jual Ganjar sudah merosot akibat keterlambatan dan keraguan koalisi mengusungnya. Ganjar juga bukan lawan sepadan bagi Anies dalam debat presiden. Terlalu banyak rekam jejak negatif Ganjar yang dapat dieksploitasi Anies.

Politik nasional masih cair. Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar adalah politisi yang sangat licin. Kalau PDI-P tidak bergabung dengan koalisi Gerindra-PKB yang belum resmi, haqul yakin PKB akan meninggalkan Prabowo. Cak Imin membawa PKB bergabung dengan Gerindra hanya merupakan taktik untuk menarik parpol lain bergabung.

Bila jumlah partai tidak bertambah, terutama bila PDI-P ogah bergabung, tak ada faedahnya PKB bertahan dengan Gerindra, koalisi yang segera masuk kotak dalam putaran pertama. Akibatnya, pilpres hanya diikuti dua pasang calon karena Gerindra sendirian tak bisa mengusung calon. Muncul pertanyaan: dengan koalisi mana Gerindra akan bergabung?

Sebagai yatim piatu, Gerindra akan berhitung kubu mana yang punya kemungkinan menang lebih besar: kubu Anies (koalisi perubahan) atau kubu Ganjar (koalisi status quo)? Hasil perhitungan pragmatis akan menentukan ke koalisi mana Gerindra akan bergabung. Mudah-mudahan kali ini Prabowo yang “lugu” tidak salah bertindak.

Taruhlah ia akan bergabung dengan KIB, yang sebenarnya hanya mengandalkan sebagian pemilih Golkar karena, kontras dengan pilihan ketua umum kedua partai, pemilih PAN dan PPP lari ke kubu Anies. Kalau demikian, kemungkinan hanya dua pasang calon yang bertarung: kubu Anies yang didukung Nasdem, Demokrat, PKS, PPP, PAN, dan Partai Ummat melawan kubu Ganjar dukungan PDIP, PKB, dan sebagian pendukung Golkar dan Gerindra.

Tiga pasangan mengingatkan kita pada pilpres 2009. Waktu itu Megawati-Prabowo didukung PDI-P, Gerindra, dan tujuh partai nonparlemen. Pasangan SBY-Boediono didukung Demokrat, PKS, PAN, PKB, dan PPP. Pasangan ketiga JK-Wiranto diusung Golkar dan Hanura.

Hasilnya, SBY-Boediono yang tak didukung PKB menang telak dalam satu putaran dengan perolehan suara 60,80 persen. Megawati-Prabowo hanya 26,79 persen. Dan JK-Wiranto 12,41 persen. Dengan demikian, PDI-P, PKB, dan Gerindra tidak menjamin kemenangan. Dus, pilpres 2024 lebih berpihak pada Anies karena ia juga dilihat sebagai mazlum sebagaimana SBY pada pilpres 2004. Artinya, upaya-upaya kentara penguasa dalan menindas Anies justru meningkatkan simpati orang padanya.

Hitungan saya, bila punya pasangan yang tepat (AHY, misalnya), maka dengan siapa pun yang jadi kompetitor Anies dan pasangannya akan memenangkan pertarungan, yang sebenarnya lebih mudah ketimbang Anies melawan Ahok 2017.

Syarat yang tak kurang penting, pasangan Anies harus secara tegas mengidentifikasi diri sebagai kubu pro-perubahan. Jangan sekali-kali mengesankan diri sebagai penerus Jokowi. Pro-prubahan-lah yang menjadi nilai jual Anies dan pasangannya. Semoga.

Tangsel, 2 Maret 2023