Putusan Politik DPR RI Pencopotan Hakim MK Aswanto dan Pengangkatan Guntur Hamzah Cacat Hukum

Oleh: Damai Hari Lubis, Pengamat Hukum dan Politik Mujahid 212

Terkait Hakim MK Aswanto yang dicopot oleh DPR RI, karena menganulir produk DPR RI. Dengan alasan yang disampaikan Ketua Komisi III DPR RI Bambang Wuryanto, atau Bambang Pacul kepada Publik, soal pencopotan Prof Aswanto sebagai hakim konstitusi di Mahkamah Konstitusi (MK).” merupakan keputusan politik”.

Maka pendapat Bambang Pacul ini, adalah pendapat hukum yang mesti disingkirkan atau dikesampingkan, karena sesat dan menyesatkan, dan cacat hukum, oleh sebab tidak terdapat alasan hukum apapun yang dapat menanggalkan putusan Mahkamah Konstitusi/ MK yang bersifat final dan mengikat seperti layaknya undang – undang, tanpa memiliki upaya hukum banding maupun kasasi

Dikarenakan oleh sebab hukum putusan MK. Final dan mengikat, maka pendapat anggota atau pendapat hukum atas nama DPR RI ini, justru bertolak belakang dengan prinsip daripada tupoksi Hakim MK, tentang kewenangan MK yang tertera pada Pasal 10 Undang-Undang Tentang Mahkamah Konstitusi/ MK, UU. RI. No. 7 Tahun 2020 Tentang Perubahan ketiga atas UU. No. 24 Tahun 2003 Tentang MK.( UU. MK.) Dan telah memenuhi unsur pada Pasal. 59 UU. MK. Bahwa secara hukum putusan MK jika sudah berkesesuaian dengan proses acara dan setelah MK hasilkan vonis atau putusan Judisial review/ JR. Maka sesuai Pasal 10 terkait tupoksi hak menguji UU, dan Pasal 59 telah jelas, hakim MK dimaksud telah memenuhi Tupoksi. Yakni MK.Telah menyelesaikan pengujian undang-undang terhadap UUD. NRI Tahun 1945 berdasarkan pasal 10 lalu menyerahkan putusan sesuai pasal 59 kepada lembaga DPR. RI selaku badan legislasi/ legslatif

Bahwa dengan isi statemen Bambang Pacul, seolah, dirinya sebagai anggota dan DPR RI sebagai kelembagaan ( parlemen ), Bambang Pacul ;

1. Menganggap legislatif lebih tinggi kedudukannya daripada Yudikatif
2. Dirinya sebagai Anggota DPR RI tidak mengetahui status hukum MK. sesuai sistim hukum;
3. Bambang Pacul tidak pahami fungsi dan hak dasar Para Hakim sesuai asas hukum, yang memiliki hak sebagai alat sosial kontrol dan temuan hukum ( rechtvinding )
4. Tidak mengetahui Para Hakim memiliki hak untuk menggunakan hati nurani

Secara hukum, tugas pokok dan fungsi daripada Para Hakim MK. harus mematuhi prinsip prinsip hukum yang terdapat di dalam UU. MK, diantaranya selain melaksanakan fungsi keadilan atau gerechtigheid, dan vonis juga berfungsi sebagai bentuk Kepastian Hukum atau rechtmatigheit, maka dalam praktek pelaksanaan UU. MK, MK dapat memutuskan vonis dengan beberapa macam putusan ;

1. Batalkan atau revisi UU., yakni batalkan UU. Sebagian atau keseluruhan isi pasal atau hanya revisi pasal, atau memperbaiki dan atau memperluas makna isi pasal dan lain – lain, sesuai objek JR. Maka dalam makna lebih tegas dan spesifik , MK dapat memberi putusan mengabulkan JR, atau menolak JR. Sebagian atau seluruhnya

2. Kewenangan menggunakan Asas Notore feiten, atau faktor ” adanya kesepengetahuan umum yang berkembang di masyarakat terhadap objek perkara JR, sehingga menjadikan notoire feiten sebagai alat bukti yang cukup, serta tidak perlu pembuktiannya lagi “. Dan hasilnya final dan mengikat

Hal ini, sebagai pelaksanaan asas hukum para hakim yang ada pada badan peradilan sebagai yang juga memiliki kewenangan sebagai fungsi sosial kontrol dan berhubungan erat pada putusan para hakim yang juga berfungsi sebagai temuan hukum, serta para hakim diperbolehkan oleh prinsip hukum dalam mengadili objek UU. Untuk membuat keputusan atau vonisnya dengan memakai atau mengunakan nurani mereka, hal hakim untuk menggunakan selain alat alat bukti sesuai persyaratan Proses beracara MK. dan syarat formil dan materil pengujian oleh MK, terhadap JR. Yang disampaikan oleh para penggugat atau pemohon JR. Selain, terkait persyaratan ini terdapat dalam UU. MK. Pada Pasal 28 sampai dengan Pasal 64, Bagian Umum Tentang Hukum Acara, dan terkait alat bukti atau proses hukum persidangan sejak awal sampai dengan proses putusan dan atau bunyi putusan

Selanjutnya perihal asas untuk para hakim yang berkewenangan menggunakan fungsi sosial kontrol, temuan hukum, serta hak berdasarkan hati nurani merujuk atau berdasar prinsip secara pilosofis atau filsafat moral yang sudah ada dikaji sejak abad 13 jamannya Thomas Aquino dan juga sebagai pertimbangan hukum yang selalu digunakan oleh Tokoh Hukum Indonesia Hakim Alm. Bismar Siregar dalam berbagai putusannya, oleh sebab prinsip tentang keadilan yang harus ditegakan, dan hal nurani ini adalah sebuah nilai filsafay moral yang terdapat dalam kandungan sumber hukum NRI. bahwa Para Hakim harus tunduk, dan patuh dalam pemaknaan Kebebasan Hakim dalam memutus perkara dan hakekat keadilan yang harus dicapai, sesuai Pasal 24 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 ( pasca Amandemen), yang isinya menegaskan sifat dan karakter kekuasaan kehakiman yang prinsipnya menyatakan :

“ Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”,

Dan anggota DPR RI menurut UUD. 1945, dan juga selaku badan legislatif , tidak memiliki hirarkis yang lebih tinggi kedudukannya dari Para Hakim selaku yudikatif, sehingga pemberhentian atau pencopotan oleh DPR RI kepada Hakim MK. Aswanto, tidak memiliki legalitas, dan melanggar ketentuan pada syarat formil dan materil hukum sesuai perihal pemberhentian hakim MK. Vide Pasal 22 dan Pasal 23 UU. Tentang MK. Oleh sebab hukum dan oleh karenanya, walau pemberhentiannya dengan dalil menggunakan keputusan politik sekalipun, seperti yang disampaikan oleh Bambang Pacul, namun segala keputusan yang diperoleh jika tidak berasaskan atau bertentangan dengan rujukan regulasi pada pasal 23 UU. Tentang MK. adalah cacat hukum, sehingga tidak berharga menurut hukum, maka berakibat batal demi hukum. Termasuk proses penggantian dan penggantinya Aswanto , selaku Hakim, oleh Komisi III DPR RI yaitu Guntur Hamzah adalah cacat menurut hukum atau tidah sah menurut hukum

 

Referensi – referansi Hukum :

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Pasal 24 ayat ( 1 ) “bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.”

UU.MK

Wewenang MK
Pasal 10 ayat (1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final
untuk:
a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c. memutus pembubaran partai politik; dan
d. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
(2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas
pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden
diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan,
tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela,
dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden
dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa:
a. pengkhianatan terhadap negara adalah tindak pidana
terhadap keamanan negara sebagaimana diatur dalam
undang-undang.
b. korupsi dan penyuapan adalah tindak pidana korupsi
atau penyuapan sebagaimana diatur dalam undang-
undang.
c. tindak pidana berat lainnya adalah tindak pidana yang
diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau
lebih.
d. perbuatan tercela adalah perbuatan yang dapat
merendahkan martabat Presiden dan/atau Wakil
Presiden.
e. tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau
Wakil Presiden adalah syarat sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 6 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.

Pasal 23 ayat (1) Hakim konstitusi diberhentikan dengan hormat apabila:
a. meninggal dunia;
b. mengundurkan diri atas permintaan sendiri yang
diajukan kepada Ketua Mahkamah Konstitusi;
c. telah berusia 67 (enam puluh tujuh) tahun;
d. telah berakhir masa jabatannya; atau
e. sakit jasmani atau rohani secara terus-menerus yang
dibuktikan dengan surat keterangan dokter.
(2) Hakim konstitusi diberhentikan dengan tidak hormat
apabila:
a. dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam
dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
b. melakukan perbuatan tercela;
c. tidak menghadiri persidangan yang menjadi tugas dan
kewajibannya selama 5 (lima) kali berturut-turut tanpa
alasan yang sah;
d. melanggar sumpah atau janji jabatan;
e. dengan sengaja menghambat Mahkamah Konstitusi
memberi putusan dalam waktu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7B ayat (4) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
f. melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17; atau
g. tidak lagi memenuhi syarat sebagai hakim konstitusi.
(3) Permintaan pemberhentian dengan tidak hormat
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf c,
huruf d, huruf e, huruf f, dan huruf g dilakukan setelah
yang bersangkutan diberi kesempatan untuk membela
diri di hadapan Majelis Kehormatan Mahkamah
Konstitusi.
(4) Pemberhentian hakim konstitusi ditetapkan dengan
Keputusan Presiden atas permintaan Ketua Mahkamah
Konstitusi.
(5) Ketentuan mengenai pembentukan, susunan, dan tata
kerja Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi diatur
lebih lanjut oleh Mahkamah Konstitusi.

Pasal 59

Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian undang-
undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 disampaikan kepada DPR, Dewan
Perwakilan Daerah, Presiden, dan Mahkamah Agung.