Tidak Masuk Akal Jokowi Menyerah Terkait Penundaan Pemilu 2024

Smith Alhadar, Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education (IDe)

Kemarin, 6 April, dalam sidang kabinet paripurna, Presiden Joko Widodo meminta pada jajaran menterinya untuk tidak lagi membicarakan penundaan pemilu atau perpanjangan masa jabatan presiden. Isu panas ini dikatakan secara sekilas di akhir pidatonya yang membicarakan banyak masalah. Di antaranya, kenaikan harga bahan pokok dan BBM yang kian memiskinkan rakyat.

Hal itu terkait isu ekonomi global di mana banyak negara, termasuk AS, menghadapi inflasi yang tergolong tinggi. Karena telah terintegrasi ke dalam ekonomi global, krisis di banyak negara — khususnya AS — berdampak pula pada ekonomi Indonesia.

Seperti biasanya, Jokowi mengeritik para pembantunya yang menurutnya tak punya sense of crisis. Padahal, krisis minyak goreng dan isu perpanjangan masa jabatan presiden yang telah bergulir selama berbulan-bulan lebih memperlihatkan kelalaian presiden memimpin bangsa. Jokowi meminta para pembantunya terus berkomunikasi dengan rakyat untuk menjelaskan apa yang sesungguhnya terjadi. Padahal, rakyat sudah tahu bahwa semua ini berpangkal pada rendahnya kinerja presiden yang belakangan ini lebih sibuk dengan proyek pemindahan Ibu Kota Negara dan ide tiga periode.

Pidato itu mencerminkan konsistensi watak Jokowi yang selalu mencari kambing hitam untuk masalah yang mestinya ia yang paling bertanggung jawab. Ia memang berbeda dengan Soeharto yang tak pernah menyalahkan menterinya karena ia berpendapat, tak mungkin bawahannya berbuat salah kalau pemimpinnya benar.

Sekali lagi, pidato yang disiarkan di kanal Youtube Sekretariat Negara itu — yang tentunya dimaksudkan untuk diketahui publik — merupakan metode Jokowi dalam menjaga citra dan dukungan rakyat kepadanya, sekaligus berlepas diri dari tanggung jawab; bahwa krisis yang terjadi sekarang adalah ulah pembantunya yang “bodoh”. Memang pidato yang dibacakan itu dirancang untuk mengesankan Jokowi pintar dan sangat prihatin pada penderitaan rakyat. Sementara para pembantunya adalah orang-orang pasif karena tidak memahami persoalan.

Namun, sebenarnya semua masalah yang dihadapi bangsa hari ini bersumber dari Jokowi sendiri. Dialah episentrum masalah yang berkelindan dan beranak-pinak yang tidak mudah untuk diselesaikan karena berkaitan dengan kepentingan oligarki. Dengan kata lain, pemerintah tak lagi independen dalam menyusun kebijakan publik.

Para pembantunya akan jadi pintar dan produktif kalau presiden dapat memaparkan visinya kepada mereka dan mengarahkan apa yang perlu dilakukan. Kalau presiden tak punya wawasan, pikiran menteri pun tak dapat bekerja sesuai ilmu yang mereka miliki. Kebingungan mereka akan menghasilkan kekacauan berpikir dan tentunya kemandekan. Apalagi kalau pemimpin tidak berbicara berdasarkan fakta. Beberapa waktu lalu, misalnya, Jokowi marah-marah pada sejumlah menteri yang masih mengimpor barang yang dikatakan telah diproduksi di dalam negeri. Masalah ini sudah ada sejak dulu dan ekspor-impor itu biasa dilakukan oleh semua negara yang didikte kaidah ekonomi. Yang mesti disorot Jokowi ketika itu — yang tidak ia lakukan — adalah impor gula besar-besaran yang merugikan petani tebu di tanah air. Hal ini memberi isyarat ketidakberesan pada kementerian perdagangan yang mestinya Jokowi tahu.

Yang Jauh lebih penting, para pembantunya tak leluasa mengambil kebijakan karena takut menabrak kepentingan oligarki yang terkesan dilindungi Jokowi. Contoh paling mencolok terkait kekuatan oligarki yang tak dapat dilawan menteri adalah kasus krisis minyak goreng.

Ketika Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengatakan mafia — maksud dia oligarki — yang menyebabkan langkanya minyak goreng karena oligarki mengekspornya ke luar negeri dengan harga lebih mahal, Jokowi memerintahkan pelepasan harga minyak goreng kemasan ke mekanisme pasar, yang sesungguhnya merupakan ketundukan pada tuntutan oligarki. Dus, pidato Jokowi tersebut di atas sesungguhnya lebih menggambarkan rendahnya kinerja menteri yang berinduk pada payahnya kekuatan pucuk pimpinan yang dikendalikan oligarki.

Larangan tidak membicarakan penundaan pemilu dan perpanjangan masa kekuasaan presiden tidak berarti Jokowi telah buang handuk pada gagasan tiga periode. Kalau dia sungguh-sungguh melepaskan keinginan berkuasa lebih lama, seharusnya dia tampil di publik dan bicara lebih eksplisit, misalnya “Aku tidak ingin konstitusi diamandemen, tak berminat memperpanjang kekuasaan, dan bersumpah bahwa tahun 2024 adalah akhir kekuasaannya.”

Pidato itu lebih mencerminkan taktik untuk melemahkan resistensi publik. Memang akibat manuver para menteri dan beberapa ketua umum parpol — yang bisa dipastikan didorong Istana — untuk mengegolkan gagasan tiga periode atau perpanjangan masa kekuasaan Jokowi, politik nasional menjadi kisruh. Penentangan muncul di mana-mana, termasuk para pendukung fanatik Jokowi. Malah, mahasiswa mulai turun ke jalan. Ini mengagetkan Jokowi yang mengira kepemimpinannya dalam delapan tahun ini telah membawa rahmat dan anugerah bagi Indonesia sehingga pantas saja kalau pemerintahannya diperpanjang. Ia tidak tahu bahwa sebagian masyarakat telah menjadi kurus karena memikul beban lamanya ia berkuasa.

Kalau krisis politik di tengah krisis ekonomi saat ini dibiarkan, sangat mungkin nasib Jokowi berakhir tragis, dijungkalkan oleh people power. Karena itu, harus dilakukan deeskalasi atas kemarahan publik yang membuncah ini. Secara psikologis, bilamana emosi massa dapat diturunkan pada titik nol dengan “menghilangkan” untuk sementara isu yang memicu emosi itu, maka emosi itu tak akan kembali ke puncak ketika isu itu dihadirkan kembali.

Jokowi hanya meminta para pembantunya tak lagi membicarakan isu tiga periode. Dus, sangat mungkin rencana itu tetap akan dilaksanakan melalui rekayasa dari belakang layar. Diam-diam memobilisasi individu maupun organisasi dari berbagai lapisan dan corak untuk mendeklarasi Jokowi tiga periode. Ingat, hingga hari ini, ketika tahapan pemilu sudah harus dimulai pada Juni mendatang, anggaran pemilu yang diajukan KPU belum ditandatangani pemerintah.

Bukan tidak mungkin hal itu disengaja agar nanti, saat tahapan pemilu sudah harus dimulai, KPU menyatakan ketidaksanggupannya karena mepetnya waktu. Kalau demikian, skema pemilu berantakan sehingga harus ditunda. Isu lain yang patut disorot adalah kengototan Jokowi membangun Ibu Kota Negara yang sebenarnya telah kehilangan urgensi dan relevansinya terkait masalah ekonomi yang dihadapi bangsa. Isu IKN inilah yang menjadi salah satu penyebab utama Jokowi ingin terus berkuasa, setidaknya hingga infrastruktur IKN selesai dibangun yang memang memakan waktu lama.

IKN adalah proyek oligarki dan dibayangkan akan menjadi satu-satunya legacy Jokowi yang signifikan. Hampir pasti proyek yang menyita demikian besar dana APBN — karena swasta ogah masuk ke sana kalau tidak ada jaminan rezim Jokowi akan berlanjut pasca 2024 — di tengah kondisi ekonomi nasional yang tidak sehat dengan utang luar negeri yang menggunung, pengganti rezim Jokowi tidak akan meneruskannya. Pemerintah pengganti akan merealokasi anggaran pembangunan IKN untuk membantu rakyat dan menyehatkan ekonomi nasional demi menjaga legitimasinya.

Ada dua isu lagi yang layak dipertimbangkan sebagai alasan Jokowi tetap ingin berkuasa. Pertama, sudah menjadi watak Jokowi yang tidak menganggap omongan dan janjinya sebagai hal yang serius. Sering sekali apa yang dikatakannya berbalikan dengan apa yang dilakukannya. Contoh kecil, dulu dia mengeritik kebijakan pemerintahan SBY terkait bantuan langsung tunai (BLT) karena dianggap tidak produktif. Kini BLT diberikan kepada 20 juta keluarga yang daya belinya menurun akibat terimbas kenaikan harga minyak goreng.

Kebijakan ini bisa saja terkait upayanya memenangkan hati rakyat dalam rangka tiga periode. Terkait janji, tak satu pun dari puluhan janji kampanye yang dia penuhi. Dan dia tidak merasa bersalah. Maka, dapatkah kita percaya begitu saja bahwa ia tak ingin memperpanjang kekuasaannya? Jokowi sendiri menyatakan wacana tiga periode tak dapat dilarang karena Indonesia adalah negara demokrasi. Dus, asal bukan menteri, siapa pun nanti boleh melanjutkan wacana tiga periode, yang sangat mungkin didorong dan direkayasa dari Istana.

Kedua, Jokowi sudah terlanjur mabuk kekuasaan. Kekuasaan memang selalu membuat pemiliknya lupa diri. Dan karena orang-orang di sekelilingnya yang punya banyak siasat, yant juga ingin kekuasaannya berlanjut, masih akan meyakinkan Jokowi bahwa perpanjangan masa kekuasaannya tetap merupakan ide yang bisa diwujudkan, maka Jokowi akan terus mendukung rencana itu meskipun dengan berpura-pura tak tahu-menahu.

Dan perlu dicatat, kendati dalam pidato di sidang kabinet paripurna itu Jokowi memberi kesan ia tak tahu apa-apa terkait manuver sejumlah menteri, sesungguhnya Jokowi sangat tahu, bahkan mendukung ide perpanjangan masa kekuasaan. Tidak mungkin gagasan yang sudah bergulir berbulan-bulan, yang menyangkut kepentingan dirinya, tak ia ketahui.

Ketika sebagian anggota Apdesi mendukung Jokowi tiga periode dalam Siltnas Kepala Desa pada 29 Maret lalu, Jokowi menghampiri mereka dengan wajah sumringah sambil membagi-bagi kaos. Dus, dalam konteks kepentingan Jokowi dan Luhut Binsar Panjaitan, tiga periode adalah harga mati, karena kalau meninggalkan Istana pada 2024, Jokowi tidak mewariskan apa-apa pada bangsanya kecuali masalah yang berjibun. Tapi ini masih lebih baik ketimbang memperpanjang kekuasaan yang berpotensi semakin jauh menjerumuskan bangsa ini ke dalam lumpur kebinasaan.

Tangsel, 7 April 2022