Megawati, Jokowi dan Anies

Oleh: *Yusuf Blegur

Megawati dan Jokowi telah berhasil menjadikan Indonesia sebagai episentrum corak produksi kapitalisme global. Sebuah industri yang melahirkan korporasi dan birokrasi borjuasi yang ditopang oligarki. Negara sekedar menjadi etalase distribusi modal dan pasar, sementara para pejabat dan politisi ereksi libido menjadi agen-agen kapitalis para cukong pengusaha.

Suka atau tidak suka terhadap Megawati, Jokowi dan Anies, ketiganya harus diakui sebagai figur yang tak pernah surut dari sorotan publik, setidaknya selama hampir delapan tahun ini. Pro dan kontra menyelimuti eksistensi ketiga tokoh berpengaruh yang berkelindan dengan keberadaan dan masa depan NKRI. Jejak rekam mereka terutama dari bagaimana kemunculan dan membangun proses politik dalam meraih panggung kekuasaan meski sekilas, menjadi sisi yang menarik diantara begitu banyak torehan sejarah pribadi yang dimiliki masing-masing.

Pilpres 2024 yang disinyalir menjadi ajang pertaruhan negara bangsa, sudah begitu menguras emosi dan energi rakyat. Belum juga dihelat, ajang pemilihan presiden lima tahunan itu, kali ini akan menjadi momentum strategis sekaligus titik balik keberlangsungan NKRI. Selain mencekam dan harap-harap cemas dari proses suksesi kepemimpinan nasional yang rentan rekayasa dan kecurangan itu. Mengapa demikian?. Banyak yang beranggapan, pilpres 2024 nanti, menjadi semacam pertarungaan “to be or not tobe” bagi seluruh rakyat, apakah masih bisa melihat dan merasakan, atau tidak sama sekali adanya harmoni dan kelestarian konsensus nasional yang mewujud negara dalam bingkai Panca Sila, UUD 1945 dan NKRI.

Sebelum menuju pilpres 2024, Indonesia seperti berada dalam siklus sejarah mengulangi keadaan seperti menjelang peristiwa G 30 S/PKI atau disebut-sebut sebagai Gestok 1965. Peristiwa bersejarah yang tak terlupakan itu, begitu membekas dalam memori kolektif bangsa karena bukan hanya peristiwa politik dan transisi kekuasaan semata. Lebih dari itu menjadi polarisasi dari pertarungan ideologi besar dunia, dan salah satu tragedi kemanusiaan terbesar dalam peradaban manusia setelah perang dunia ke dua. Lepas dari polemik latarbelakang dan politik subversif yang menyelimutinya, lengsernya Soekarno dan naiknya Soeharto sebagai presiden RI, menyisakan kengerian politik dan babak baru politik Indonesia yang efek dominonya begitu dinamis dan terus berlanjut hingga saat ini. Termasuk setelah reformasi bergulir pun, anasir-anasir aliran politik dan ideologi masa lalu itu masih terus bergentayangan.

Indonesia yang tidak pernah lepas dari konflik internal baik secara horisontal dan vertikal bahkan sebelum mencapai kemerdekaannya. Setelah 76 tahun tak kunjung mencapai tujuan nasional, konflik seperti menjadi warisan abadi yang tetap terjaga, walaupun dipermukaan seolah-olah tidak ada masalah dengan kebhinnekaan dan kemajemukan bangsa serta seakan-akan hidup dalam kerukunan dan kedamaian. Terutama tatkala tidak adanya kesadaran dan keengganan untuk mengakui, bahwasanya dalam wilayah dari sabang sampai merauke, telah terjadi pembelahan sosial, pertentangan kelas dan maraknya politik identitas, kalau tidak mau disebut nihilnya kemakmuran dan keadilan dalam negeri yang diibaratkan laksana surga dunia. Kenyataan situasi dan kondisi negara yang sangat mengenaskan dibawah kepemimpinan Jokowi. Kelahiran rezim kekuasaan dari seorang presiden yang saat kampanyenya begitu sederhana dan bersahaja, humanis dan terkesan membela orang kecil. Menjadi terbalik seribu persen pada kenyataan-kenyataan tindakan dan kebijakannya.

Pergerakan, Rekayasa dan Takdir Pemimpin

Baik Megawati, Jokowi maupun Anies, dengan struktur pengalaman dan behavior yang berbeda. Mereka merupakan Tokoh sekaligus pemimpin politik yang mampu memberi warna terhadap konstelasi dan konfigurasi politik kontemporer. Bukan sekedar membuat sejarah, mereka juga signifikan menentukan arah dan baik buruknya perjalanan negara bangsa. Menjadi menarik dan ada baiknya, rakyat kebanyakan penting memahami dan memaknai komparasi figur ketiganya terkait awal mula terjun ke politik, proses dan sampai mereka pada posisi puncak kepemimpinan nasional. Tentunya dengan karakteristik, motivasi dan orientasi yang berbeda-beda pula dari ketiganya.

Diah Permata Megawati Setiawati Soekarno Putri yang akrab disapa Megawati atau Mba Ega. Perjalanan karirnya berangkat dari panggilan sejarah dan trah Soekarno yang menyeretnya ke panggung politik kekuasaan. Jelas dan tak terbantahkan Megawati lahir sebagai sosok yang pernah menjadi simbol perlawanan rakyat. Meski mendapat intimidasi dan tekanan hebat dari rezim Soeharto, Megawati saat itu menjadi satu-satunya pemimpin pengerak massa yang mampu melakukan konsolidasi perlawanan secara terorganisir dan sistematik melalui partai politik. Setelah peristiwa 27 Juli 1996 dan semua dinamika politik PDI yang berubah menjadi PDIP Megawati yang mampu menggerakan people power pada masanya, tak terbendung memasuki panggung kekuasaan, mulai dari sebagai anggota DPR, wapres, presiden hingga memimpin “the rolling party” hingga sekarang ini dalam pemerintahan Jokowi.

Sayangnya dan menjadi miris pula, di usia senja dan ujung karir politiknya baik sebagai ketua umum partai politik besar maupun menjadi orang berpengaruh di republik. Megawati dengan pertarungan ideologi dan kekuasaan politik yang digenggamnya menjadi semakin tidak populer dan dilingkupi resistensi yang luas. Megawati terlanjur dicap publik sebagai orang dibalik skenario dan yang bertanggungjawab terhadap pemerintahan dan penyelenggaraan negara yang penuh distorsi. Dominannya PDIP dalam kebijakan strategis dan menempatkan Jokowi yang seorang presiden sebagai kader partainya. Melengkapi performens putri sulung proklamator dan presiden pertama RI itu menemui anti klimaks dari personal historis politik dan kepemimpinannya.

Megawati yang dulu dianggap revolusioner, kini menjadi kontra revolusioner. Bagaikan membelokan jalan pergerakan dan tujuan cita-cita proklamasi kemerdekaan Indonesia. Betapapun memulai kiprah perjuangan politiknya dengan komitmen dan konsistensi pada wong cilik serta mendapatkan dukungan rakyat jauh sebelumnya. Dulu membela wong cilik, sekarang mbela wong licik, begitu kesan rakyat. Faktanya, Megawati dianggap publik sebagai sumber masalah dan menjadi biang keladi dari semua kekisruhan dan kekacauan negara. Seperti yang diungkapkan oleh Rachmawati Soekarno Putri yang notabene adik kandungnya sendiri.

Sementara seorang Joko Widodo yang sebutan populernya Jokowi, dengan latarbelakang politik yang tidak jelas dan kering dunia aktifis pergerakan. Sekonyong-konyong dan seketika muncul sebagai pemimpin nasional. Berangkat dari tugas walikota Solo, kemudian menjabat gubernur DKI hingga menjadi presiden, Jokowi dianggap melewati proses yang instan dan cenderung sebagai instrumen politik kekuasaan yang lebih besar di belakangnya. Dengan pekerjaan tukang meubel, Jokowi yang bermodal kebijakan menolak pembangunan mal dan membela pedagang pasar tradisional saat menjadi walikota, begitu drastis dan bombastis menjadi media darling hingga disokong para cukong bermodal besar menduduki orang nomor satu di Indonesia. Dengan taburan uang berlimpah yang mampu membeli semua instrumen politik, jadilah Jokowi sebagai sihir massal yang menghipnotis, menghilangkan kesadaran dan menghancurkan akal sehat rakyat. Akibat seoranng pemimpin yang gigih memoles citra baik namun berujung buruk dan nestapa.

Seperti yang rakyat rasakan saat ini, Jokowi tidak lebih dari sekedar boneka oligarki yang menggunakan sistem politik yang tidak hanya memisah negara dari agama. Jokowi sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan juga memisah Panca Sila dan UUD 1945 dari praktek-praktek penyelenggaraan negara, alias menggunakan kapitalisme yang mengusung liberalisasi dan sekulerisasi dalam kekuasaan pemerintahannya. Kekuasaan pemerintahan Jokowi yang salah satunya ditopang Megawati dengan kekuatan struktur dan sistem partainya. Membuat rezim Jokowi sebagai sub koordinat dari kejayaan kapitalisme global di Indonesia.

Pemerintahan yang telah menjadi korporatisme negara, menyuburkan oligarki dengan cara produksi yang terus beraksi dan ekspansi mengembangkan industrialisasi kapitalistik yang menghisab negara dan rakyat. Fenomena IKN, masalah Wadas dan sejenisnya, JHT hingga kelangkaan minyak goreng dinegeri penghasil sawit terbesar dunia dan begitu banyak kasus-kasus eksploitasi manusia atas manusia dan eksploitasi bangsa atas bangsa, telah menjadi ciri dan watak kapitalisme di tubuh rezim Jokowi. Negara tak ubahnya hanya sebagai etalase atas semua produk-produk industri kapitalistik. Pejabatnya hanya berfungsi sebagai agen-agen kapitalis dan borjuasi korporasi.

Dalam dominasi dan hegemoni kapitalisme yang begitu masif menjalar ke seluruh sendi kehidupan manusia secara global. Indonesia yang potensial menyimpan kekayaan sumber daya alam sekaligus pasar potensial, nyaris tak pernah menguasai dan menikmati faktor penting aspek geografis, geopolitis dan geostrategis itu. Selain dirampok, diperkosa dan dianiaya oleh asing dan aseng, tak sedikit ternak-ternak oligarki dalam negeri yang ikut terlibat dan enjoy merasakan peran-peran kejahatan kemanusiaan kepada bangsanya sendiri. Rakyat kini semakin terpuruk merasakan kekecewaan dan frustasi, seperti tanpa pemerintahan, tanpa negara dan tanpa kehadiran seorang pemimpin sejati yang mampu mengemban amanat penderitaan rakyat negeri ini.

Pseudo Demokrasi dan Manipulasi politik

Kehadiran seorang Anies Baswedan dari geliat dan dinamika Jakarta yang menjadi Ibu kota negara. Tidak hanya membuat gubernur DKI itu tuntas memenuhi harapan dan keinginan warganya yang plural. Anies gigih memperjuangkan kesejahteraan itu mutlak bagi masyarakat banyak, berbasis komunal bukan individual. Bukan hanya untuk segelintir orang atau kelompok tertentu. Anies secara sederhanana dan lugas sukses menerjemahkan, bagaimana distribusi hasil pembangunan oleh kekuasaan itu, mutlak untuk rakyat banyak, bukan terakumulasi pada korporasi kapital dan borjuasi-borjuasi birokrat dan politisi. Bukan juga semakin memiskinkan orang miskin, dan semakin memperkaya orang kaya. Keberhasilan membangun mental fisik warga kota metropolitan terbesar di Indonesia, seolah mengokohkan Anies sebagai figur yang paling siap lahir batin menahkodai Indonesia yang sedang mengalami krisis dan darurat kepemimpinan nasional. Anies perlahan dan sedikit demi sedikit memenuhi dahaga kalangan marginal untuk dapat merasakan makna dan kue-kue pembangunan.

Karakteristik dan sifat-sifat pada diri Anies dalam memimpin, layaknya bisa menjadi sintesa juga problem solving dari pseudo demokrasi dan manipulasi politik yang diperankan oleh Megawati dan Jokowi. Meski sebagai gubernur Jakarta, Anies terbatas dan terbentur mainstream kekuasaan pemerintahan pusat. Sejauh ini sosok yang penyabar dan santun, berhasil mengukir idealisme dalam kewenangan memimpin birokrasi pemerintahan Jakarta di tengah turbulensi dan berkecamuknya gejolak politik nasional.

Anies yang tumbuh besar mengakrabi dunia pergerakan dan pendidikan, menjadi energi yang mengisi ruang-ruang kosong intelektual dan ilmiah dari pemerintahan, yang selama ini terabaikan dalam proses penyelenggaraan negara. Anies seperti ingin mengembalikan hakekat betapa integrasi antara ilmu pengetahuan dan akhlak menjadi faktor radikal dan fundamental dalam membangun sebuah negara bangsa. Betapa moralitas menjadi dasar yang menuntun langkah-langkah dan kebijakan publik.

Tak mungkin ada jiwa yang memiliki karakter yang amanah, jika masih menganga lebar jarak antara nilai-nilai dan tindakan dari seorang pemimpin.

Pada akhirnya, rakyat punya refleksi dan evaluasi sendiri, seperti apa situasi dan kondisi negeri saat ini. Dimana negara yang seharusnya mulia menjadi hina dihadapan rakyat. Termasuk menyeret rakyat dalam suasana merana dan sengsara.

Setelah kegagalan Megawati dan Jokowi membawa negara meraih cita-cita proklamasi kemerdekaan Indonesia. Anies dituntut untuk mampu merubah keadaan dan menyelamatkan rakyat, negara dan bangsa menjadi lebih baik. Itupun hanya bisa dilakukan dengan dukungan rakyat, yang bisa memilih menentukan masa depannya sendiri.

Memilih dan memenangkan Anies atau menangis di pilpres 2024 dan untuk jangka waktu yang tak terkira. Dalam arus dan gelombang panjang produk industri peradaban bangsa, yang bercorak kapitalisme mewujud oligarki. Tak sabar rakyat menyaksikan Anies menduduki kursi presiden Indonesia, demi melihat masa depan yang lebih baik dan beradab.

Wallahualam bishawab.

*Pegiat Sosial dan Aktifis Yayasan Human Lujur Berdikari