Menjelang Proklamasi Disintegrasi Bangsa

Oleh: *Yusuf Blegur

Tidak ada negara yang memiliki kekayaan sumber daya alam berlimpah, namun rakyatnya hidup begitu miskin. Tidak ada bangsa yang memiliki kekayaan kebhinnekaan dan kemajemukan, namun rakyatnya dipenuhi konflik SARA. Tidak ada negara bangsa yang memiliki kekayaan ideologi sekaligus nilai-nilai adiluhung mewujud Panca Sila, namun ditopang dan dituntun oleh neo kolonialisme dan imperialisme. Sulit menemukan kondisi geografis, geopolitis dan geostrategis wilayah seperti itu dalam peta dunia, kecuali yang bernama Indonesia.

Betapa banyaknya badut-badut di negeri ini. Bertingkah ekspresif dan eksplosif melakukan akrobatik dalam sirkus politik, ekonomi, dan budaya. Begitu luar biasanya amarah dan sikap reaksioner terhadap Sekedar ungkapan “Jin Buang Anak”. Sementara pada kejahatan kemanusiaan yang sesungguhnya dari korupsi, pelanggaran HAM dan belenggu demokrasi, menyeruak sikap masa bodoh dan serba permissif. Bahkan penguasaan berjuta-juta lahan oleh segelintir orang dan borjuasi korporasi yang berujung deteriorasi melalui pembakaran hutan, perubahan fungsi lahan, eksploitasi sumber daya alam tanpa batas berkedok bisnis dan investasi. Dibiarkan melenggang dengan angkuh sambil mempertontonkan kebengisa konspirasinya. Tampaknya ambigu dan paradoks telah menjadi habit sekaligus penyakit bangsa ini.

Bangsa ini seperti mengalami gejala bipolar, disatu sisi menuntut hal sepele yang dianggap baik, di lain sisi secara telanjang membiarkan banyak hal yang esensi dan substansi mengalami distorsi. Genderang perang terhadap KKN yang digaungkan gerakan aktifis 98, surut dan kian kemari nyaris tak terdengar. Begitupun perlawanan terhadap omnibus law dan UU IKN, meredup terdengar sayup-sayup ditengah hiruk-pikuk pengalihan isu dan kelicikan rezim kekuasaan. Termasuk stereotif pesantren dan masjid yang menjadi pusat pembelajaran dan peribadatan agama, dituduh sebagai sarang teroris.

Kehilangan kesadaran makna dan kesadaran krisis pada bangsa ini, semakin membuat negara ini meluncur deras ke jurang degradasi sosial dan disintegrasi nasional. Rayat terus sibuk berpolarisasi membangun eksistensi SARA. Menebar kecurigaan, hasad dan dengki pada sesama anak bangsa. Sikap permusuhan dan kebencian semakin tumbuh sumbur ditengah kemerosotan ekonomi dan politik. Kehilangan semangat kolektif kebangsaan dan kemunduran peradaban, seakan mengiringi krisis multi dimensi pada pelbagai sendi kehidupan rakyat. Realitas politik terus sibuk menyalakan api konflik horisontal sembari abai meninggalkan sejatinya nasionalisme.

Kehilangan Kepemimpinan Nasional

Bukan hanya gagalnya agama merasuki kejiwaan hati dan pikiran bangsa ini. Terlalu banyak pranata sosial yang tergerus oleh sihir massal mengejar materi.

Kebudayaan yang kaya kemanusiaan dan orientasi nilai-nilai spiritual bangsa, secara perlahan dan massif mulai mengalami kehancuran. Warisan tradisi, mitos dan etos sebagai kearifan lokal sekaligus entitas nasional, mulai tergulung modernitas yang membonceng penghambaan kepada kebendaan. Rakyat hanya bisa pasrah, menangis dan terunduk lesu menyaksikan kekayaan adat dan budaya leluhur dihancurkan oleh keserakahan pembangunan.

Saat agama tak lagi mampu menghadirkan inti dari kemanusiaan dan ketuhanan. Boleh jadi premis agama sebagai candu masyarakat yang pernah didengungkan penganut Marxis, kini semakin menggejala. Melalui perselingkuhan dan hubungan intim penuh syahwat dan gejolak. Kapitalisme dan komunisme begitu mesra melebur, giat mencabik-cabik UUD 1945, Panca Sila dan UUD 1945. Indonesia larut memasuki episode penjajahan berwajah liberalisasi dan sekulerisasi.

Saat watak kolonialisme dan imperialisme hadir mewujud oligarki. Maka kekuasaan yang korup akan menjadi ternak-ternak yang terpelihara. Kepemimpinan nasional beserta kekuasaan institusional dan konstitusionalnya, terus menjadi boneka sekaligus budak kepentingan global, korporasi dan kelompok non state. Jadilah rezim atau penguasa yang perilakunya membenarkan celoteh seorang Lord Acton, “power tend to corupt, absolute power corrupts absolutely”. Dibumbui rasa manis untuk asing dan aseng, namun membuncah represi dan keji pada bangsanya sendiri.

Apa mau dikata, sistem pemilu yang menganut demokrasi transaksional yang sudah mengakar dan mendarah daging. Hanya melahirkan wakil-wakil rakyat dan para pejabat yang menjadi ternak-ternak oligarki. Birokrat dan politisi secara berjamaah cenderung menggerogoti negara. Berfungsi dan bertugas sebagai pelayan dari dominasi dan hegemoni pemilik modal. Bagai sunami politik, mesumnya hubungan penyelenggara negara dengan pengusaha, menyebabkan kedaulatan rakyat terhempas. Tak cukup sampai disitu, KKN yang telah memiskinkan bangsa dan menimbulkan kesengsaraan rakyat. Kini mulai mengusik persatuan dan kesatuan bangsa. NKRI menjelang disintegrasi, hanya tinggal menunggu proklamasinya. Seiring sulitnya menemukan pemimpin nasional yang sebenarnya, tak ubahnya bagai keinginan yang uthopi.

Penulis, *Pegiat Sosial dan Aktifis Yayasan Human Luhur Berdikari.*