Apakah Demokrasi Bekerja untuk Rakyat Miskin?

Oleh Abdurrahman Syebubakar
Ketua Dewan Pengurus IDe

Melalui tulisan lawas ini, saya ingin mengundang perdebatan akademis lebih lanjut tentang keunggulan dan kelemahan komparatif demokrasi versus non-demokrasi, khususnya dikaitkan dengan nasib rakyat miskin. Versi bahasa Indonesia ini, dengan pemutakhiran data, dimuat Indopress.id pada 30 November 2019, sementara versi bahasa Inggris dengan judul “Does Democracy Matter for the Poor?” dimuat Harian Malay Mail 13 April 2016.
_____________
SEJAK kemunculannya di Yunani kuno ribuan tahun silam, demokrasi telah mengalami pasang surut. Robert Dhal (1989) mencatat bahwa, dalam sejarah perkembangannya, berbagai bentuk demokrasi muncul dan tenggelam. Terlepas dari semua “cerita” baik dan buruk tentang demokrasi, laju demokratisasi di seluruh dunia mengalami percepatan terutama sejak 1970-an. Saat ini, sekitar satu-setengah dari populasi dunia hidup dalam demokrasi dengan pelbagai bentuk.

Ada satu pertanyaan menantang yang membutuhkan eksplorasi lebih lanjut: apakah demokrasi bekerja untuk rakyat miskin?

Para ilmuwan sosial-politik terbelah dalam memberi jawaban atas pertanyaan tersebut. Sebagian berpendapat bahwa rakyat miskin tidak mendapat manfaat dari demokrasi. Michael Ross dari University of California, Los Angeles (UCLA 2005), misalnya, membantah hasil penelitian-penelitian sebelumnya yang menunjukkan manfaat demokrasi bagi rakyat miskin. Sebaliknya, Ross mengonfirmasi bahwa antara tahun 1970 dan 2000, orang miskin bernasib tidak lebih baik di bawah pemerintahan demokratis daripada mereka yang hidup di negara-negara non-demokratis.

Lebih jauh, para kritikus demokrasi menuduh demokrasi bertanggung jawab atas meningkatnya kemiskinan dan ketimpangan global dalam beberapa dekade terakhir. Sebaliknya, diyakini bahwa negara membutuhkan rezim otoriter untuk mendorong pertumbuhan ekonomi tinggi, yang pada gilirannya, membantu mengurangi beban dan penderitaan rakyat miskin. Keyakinan ini banyak dipengaruhi oleh “hipotesis Lee”–dikaitkan dengan Lee Kuan Yew, pendiri dan mantan Presiden Singapura. Hipotesis Lee juga mempengaruhi pemimpin pemimpin lain di kawasan Asia termasuk mantan Presiden Soeharto dan mantan Presiden Marcos di Filipina.

Akan tetapi, semua klaim tersebut didasarkan pada bukti empiris terbatas dan sporadis. Di samping itu, demokrasi dan kemiskinan dimaknai secara sempit. Demokrasi hanya dipandang sebagai “ritus prosedural” dan diidentikkan dengan negara di mana ada kompetisi melalui pemilu untuk memilih dan mengganti pemimpin. Demikian pula, kemiskinan cenderung hanya dilihat sebagai deprivasi ekonomi, diukur menggunakan “mistar moneter”.

Untuk bisa menjawab pertanyaan di atas secara adil, kita harus berselancar melampaui batasan sempit demokrasi dan kemiskinan. Demokrasi bukan saja tentang kekuasaan mayoritas. Pemilu hanyalah serpihan kecil dari narasi besar demokrasi. Partisipasi masyarakat, penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebhinekaan, “kebebasan negatif (kebebasan dari)” berbagai bentuk deprivasi dan “kebebasan positif (kebebasan untuk)” hak-hak sosial-politik dan ekonomi, kedaulatan rakyat, arus informasi bebas, persamaan di depan hukum, transparansi dan akuntabilitas pemerintahan, seluruhnya merupakan bagian penting dari “bahan baku” demokrasi.

Pada saat yang sama, kemiskinan harus dilihat dalam kerangka multidimensi, tidak terbatas pada kemiskinan ekonomi. Mereka yang miskin secara ekonomi, belum tentu miskin secara multidimensi, demikian pula sebaliknya. Kemiskinan sangat erat kaitannya dengan hak-hak sosial-politik lainnya. Oleh sebab itu, memerangi kemiskinan harus berjalan seiring dengan upaya memberikan kesempatan kepada kelompok-kelompok miskin dan marjinal untuk berpartisipasi aktif dalam proses pembangunan, terutama yang langsung mempengaruhi kehidupan sehari-hari mereka. Dalam upaya memerangi kemiskinan, juga harus dipastikan hadirnya akuntabilitas dan inklusivitas proses pengambilan keputusan dalam ranah kebijakan publik.

Ada alasan intrinsik dan bukti meyakinkan di pelbagai negara bahwa “demokrasi bekerja” untuk rakyat miskin. Secara umum, ada tiga kanal di mana demokrasi membantu rakyat miskin, yaitu melalui pemilihan umum yang “memaksa” pemerintah untuk mengurus kebutuhan rakyat, arus informasi bebas yang memberikan pemerintah informasi lebih baik tentang kondisi dan kebutuhan rakyat miskin, dan pemerintahan demokratis memiliki dorongan politik untuk menyediakan layanan berkualitas bagi rakyat miskin.

Amartya Sen, pemenang hadiah Nobel di bidang ekonomi pada 1998 dan begawan pembangunan manusia, adalah salah satu di antara ilmuwan paling menonjol yang meyakini bahwa demokrasi bekerja untuk rakyat miskin. Dalam bukunya yang tersohor Development as Freedom (1999), Sen menegaskan bahwa tidak pernah ada kelaparan masif dalam demokrasi multipartai. Perlu dicatat bahwa kelaparan tidak hanya absen di negara-negara demokratis yang ekonominya relatif baik, tetapi juga di negara-negara demokratis yang miskin secara ekonomi seperti India, Bostwana, dan Zimbabwe. Sebaliknya, sejarah kelaparan yang sangat mengerikan pernah terjadi di rezim-rezim diktator, baik miskin maupun tidak secara ekonomi, seperti Uni Soviet pada 1930-an, dan China pada 1958-1961 dengan hampir 30 juta orang meninggal akibat kelaparan. Malapetaka kelaparan kontemporer dunia juga terjadi di Etiopia, Somalia, Sudan, dan Korea Utara, yang semuanya di bawah kendali sistem pemerintahan diktatorial dan totaliter.

Banyak penelitian lain (1970-2000-an), baik kuantitatif maupun kualitatif, yang menunjukkan secara meyakinkan bahwa demokrasi tampil jauh lebih baik daripada non-demokrasi di sejumlah indikator sosial-ekonomi, seperti standar hidup, angka kematian bayi, gizi buruk, dan lain lain. Saat demokrasi mengalami akselerasi dan penguatan, Jeffrey Sachs (2005) mencatat terjadinya pengurangan kemiskinan ekstrem, baik secara absolut maupun secara proporsional, terhadap penduduk dunia antara 1980 dan 2000.

Mengacu pada Indeks Demokrasi dan Indeks Pembangunan Manusia di tingkat global, dapat dilihat bahwa demokrasi mengungguli negara-negara non-demokratis dalam capaian pembangunan manusia. Untuk menyebutkan beberapa negara saja, di antaranya, Norwegia, Denmark, Swedia, Selandia Baru, Jepang, dan Kosta Rika. Sebagian dari negara-negara ini berada di peringkat sangat tinggi dalam Indeks Demokrasi Global sekaligus Indeks Pembangunan Manusia yang menekankan kemiskinan sebagai fenomena multidimensi. Seturut dengan itu, kelompok negara kaya ini juga memuncaki peringkat Indeks Kebahagian di antara 156 negara yang disurvei. World Happiness Report oleh UN SDSN (United Nation Sustainable Development Solutions Network) mengukur tingkat kebahagian berdasarkan PDB per kapita, angka harapan hidup, bantuan sosial, kebebasan membuat pilihan, persepsi korupsi dan, kedermawanan.

Di sisi lain, ada beberapa negara seperti Singapura, Rusia, Arab Saudi, dan negara-negara Teluk lainnya di bawah cengkeraman rezim otoriter tampil cukup baik dalam Indeks Pembangunan Manusia dan Indeks Kebahagian. Tetapi tidak ada jaminan bahwa prestasi pembangunan manusia dan tingkat kebahagian mereka akan berkelanjutan. Dan yang pasti negara-negara ini mengabaikan kebebasan politik, aspek sangat penting dan mendasar dalam pembangunan. Hilangnya kebebasan politik warga, baik secara penuh maupun sebagian, sejatinya adalah bagian dari cerita kemiskinan (political deprivation).

Sementara itu, mayoritas negara yang berada di tangga bawah dan paling bawah Indeks Pembangunan Manusia dan Indeks Kebahagian seperti Sudan, Rwanda, Suriah, Malawi, Haiti, dan Etiopia merupakan kelompok negara non-demokratis dengan pemerintahan otoriter. Tidak sedikit di antara negara-negara miskin dan non-demokratis ini dilanda konflik vertikal dan horizontal berkepanjangan yang menyebabkan mereka tetap dalam pusaran lingkaran setan keterbelakangan.

Korelasi linier antara defisit demokrasi dan lesunya pertumbuhan ekonomi serta melambannnya pengurangan kemiskinan dan pertumbuhan Indeks Pembangunan Manusia juga terlihat secara simptomatis di Indonesia.

Pada 2017, Indonesia dinobatkan sebagai “demokrasi cacat” berkinerja paling buruk, terjun bebas 20 peringkat dari rangking 48 ke 68 di antara 167 negara (The Economist Intelligence Unit, 2018). Terancamnya kebebasan sipil menjadi salah satu faktor paling menentukan dalam kemerosotan kondisi dan peringkat demokrasi Indonesia di era Presiden Joko Widodo. Lebih lanjut, berdasarkan data Freedom House (2018), Indonesia mengalami defisit kebebasan, dari status bebas (free) 2006-2013 menjadi bebas sebagian (partly free) hingga 2018.

Pada saat yang sama, ekonomi Indonesia hanya tumbuh di kisaran 5 persen per tahun, jauh di bawah angka yang dijanjikan saat kampanye Pemilu Presiden 2014. Data ini pun dipertanyakan oleh sejumlah pihak, termasuk sebuah lembaga riset asal Inggris, Capital Economics. Lembaga tersebut memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di bawah angka yang dikeluarkan BPS karena berbagai indikator menunjukkan pelemahan.

Selama lima tahun terakhir, pengurangan kemiskinan juga melamban. Dengan anggaran tahunan sekitar Rp 150 triliun untuk perlindungan sosial, pemerintahan Jokowi hanya mampu mengurangi tingkat kemiskinan sebesar 0,33 persen per tahun atau sekitar 515 ribu jiwa. Angka ini hampir setengah dari rerata penurunan tingkat kemiskinan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang mencapai 0,64 persen (960 ribu jiwa) per tahun dengan anggaran jauh lebih kecil.

Yang lebih tragis, seperti dilaporkan Bank Pembangunan Asia (ADB), pada 2016-2018, sekitar 22 juta penduduk Indonesia menderita kelaparan kronis. Kondisi ironis ini di tengah melimpahnya sumber daya alam dan glamornya kehidupan para politisi dan elite kekuasaan menjerat rakyat miskin dalam kubangan kemiskinan antar generasi (intergenerational poverty). Anak anak yang hidup dalam keluarga miskin dan menderita kelaparan saat ini berpotensi untuk tetap miskin ketika dewasa. Dan pada gilirannya, mereka sangat mungkin melahirkan generasi yang miskin.

Kemiskinan dan kelaparan kronis saling mempengaruhi secara negatif dengan kesenjangan pendapatan antara penduduk miskin dan kelompok non-miskin yang tetap tinggi. Dalam penguasaan aset, Indonesia berada di peringkat ke-4 negara paling timpang, dengan 1 persen penduduk terkaya menguasai hampir 50 persen kekayaan negara (Credit Suisse’s Global Wealth Report 2016) dan 4 orang terkaya memiliki kekayaan setara dengan gabungan kekayaan 100 juta penduduk termiskin (Oxfam & INFID, 2017).

Pada 2014-2017, pertumbuhan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia juga cenderung melamban, tertinggal dibandingkan negara negara lain. Dalam Human Development Statistical Update 2018 oleh UNDP, Indonesia berada di peringat ke-116 dari 189 negara dan teritori, turun 6 tingkat dari rangking 110 pada 2014. Kondisi ini diikuti dengan penurunan drastis tingkat kebahagian masyarakat Indonesia, anjlok 22 peringkat dari 74 pada 2015 menjadi 96 pada 2017 (World Happiness Report 2018).

Uraian di atas dengan data time-series antar negara termasuk Indonesia menunjukkan bahwa demokrasi tidak bertanggung jawab atas memburuknya kondisi kehidupan rakyat miskin. Demokrasi memang bukan obat mujarab untuk segala macam masalah, tetapi dapat membuka peluang bagi rakyat miskin untuk mengapitalisasi potensi mereka demi kehidupan yang lebih baik dan berkualitas. Yang tidak kalah pentingnya, demokrasi mendatangkan manfaat non-ekonomi bagi rakyat miskin dalam bentuk hak politik dan hak-hak dasar lainnya.