BUMN Pertamina Rugi, Ada Apa Sebenarnya?

Oleh: Defiyan Cori
Ekonom Konstitusi

Basuki Tjahaja Purnama (BTP) alias Ahok yang saat ini Komisaris Utama BUMN Pertamina, juga mantan Gubernur DKI dan narapidana akibat kasus penistaan Agama pernah menyampaikan, bahwa: memejamkan mata (merem istilah Ahok) saja, Pertamina untung. Apa yang terjadi setelah pernyataan Ahok ini setelah 9 (sembilan) bulan menjabat sebagai pejabat di BUMN Holding Migas kebanggan rakyat Indonesia ini? Yaitu pada Semester I Tahun 2020, Pertamina mengalami kerugian sejumlah Rp 11,13 Triliun atau setara US$ 767,92 Juta setelah pada tahun-tahun sebelumnya memperoleh laba.

Pada Tahun 2019, Pertamina memperoleh laba bersih sebesar US$2,53 Miliar atau setara Rp 35,8 Triliu, dan pada Tahun 2018, Pertamina juga membukukan laba sebesar US$ 2,53 Miliar atau setara Rp 35,99 Triliun. Sementara, laba Pertamina Tahun 2017 dibukukan sejumlah US$ 2,54 Miliar (kurs US$1 r= Rp 14.000), dan perseroan berhasil mencatatkan laba bersih pada Tahun 2016 sebesar US$3,15 Miliar atau Rp 42 Triliun (dengan kurs Rp 13.344 per dollar AS). Bahkan, saati anjloknya harga minyak dunia sepanjang Tahun 2014, PT Pertamina (Persero) masih mampu mencetak laba bersih senilai US$ 1,42 Miliar atau setara Rp 18,9 Triliun (estimasi kurs Rp 13.500 per dolar AS) pada periode 2015 serta menyetor dividen ke negara senilai Rp 6,8 Triliun.

Lalu, ditengah kondisi yang sama, yaitu fluktuatifnya harga keekonomian dunia dan serangan pandami covid 19 serta dengan kebijakan tidak menurunkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) kenapa Pertamina mengalami kerugian, justru setelah menyetorkan dividen ke negara pada Tahun 2019 sejumlah Rp 181,5 Triliun? Benarkah kerugian tersebut disebabkan oleh alasan yang disampaikan oleh Vice President Corporate Communication Pertamina Fajriyah Usman dengan menyampaikan sejumlah tiga faktor? Yaitu, Pertama, terjadinya penurunan harga minyak mentah dunia.

Kedua, penurunan konsumsi bahan bakar minyak (BBM) di dalam negeri hingga mencapai 30% saat masa pembatasan sosial berskala besar (PSBB).

Ketiga, pergerakan nilai tukar dollar yang berdampak pada rupiah sehingga terjadi kerugian selisih kurs di Pertamina. Fajriyah menyampaikan pada Hari Senin tanggal 24 Agustus 2020, bahwa sepanjang Semester I-2020 Pertamina menghadapi triple shocks.

Perlu kajian dan analisa yang cermat dan teliti atas kerugian yang dialami Pertamina pada Semester I Tahun 2020 dari berbagai aspek, dan tidak hanya membandingkan dengan perusahaan sejenis di negara lain yang mengalami kasus serupa, tetapi disaat yang sama ada juga perusahaan asing lainnya yang tidak mengalami kerugian. Menimpakan alasan kerugian karena dampak pandemi covid 19 dan penurunan penjualan BBM yang drastis memang sangat mudah, walau belum tentu masuk akal (make sense) .

Sebagai contoh misalnya, Sinopec (kependekan dari China Petroleum and Chemical Corporation) yang merupakan perusahaan minyak, dan kimia Republik Rakyat China. Sinopec juga salah satu perusahaan minyak terbesar di Republik Rakyat China, kemudian membentuk Grup Sinopec, yang bergerak dalam usaha atau bisnis sektor minyak dan kimia. Sinopec saat ini, raksasa migas nomor satu dunia, pada kuartal I 2020 membukukan pendapatan total sebesar 555,50 juta yuan China atau sekira US$ 80,3 juta. Padahal, pada periode yang sama di Tahun 2019, perseroan itu mendapat 717,57 juta yuan China.

Artinya, perseroan mengalami penurunan sebesar 22,6 persen, namun tetap meraih laba bersih. Yang lebih mengejutkan , laba bersih yang diterima perusahaan tersebut nyatanya mengalami peningkata dari 14,76 juta menjadi 19,78 juta yuan China.

Perusahaan minyak dan gas lainnya, yaitu perusahaan Inggris-Belanda, Royal Dutch Shell yang melaporkan laba bersih sebesar US$638 Juta untuk Kuartal II 2020. Sementara laba bersih perusahaan sebesar US$3,5 Miliar pada periode yang sama tahun sebelumnya (2019), sementara, pada Kuartal I di tahun yang sama, Shell membukukan laba US$2,9 Miliar.

Oleh karena itu, tidak bisa kemudian menyimpulkan bahwa kerugian massif yang dialami korporasi minyak disebagian besar negara didunia menjadi justifikasi bahwa Pertamina juga layak dan pantas rugi. Publik perlu tahu sejatinya apa yang menyebabkan kerugian yang dialami pada Semester I-2020, sangat mungkin terjadi bukan karena faktor penjualan menurun yang dominan, melainkan oleh beban Pertamina yang terlalu besar dan berat yang dipikulkan pada BUMN ini. Mungkin saja soal efisiensi yang belum terselesaikan ditambah oleh keinginan Komisaris Utama Ahok yang meminta penambahan staf dijajaran Dewan Komisaris. Atau bisa juga karena Ahok memang benar-benar memejamkan mata (merem) saja selama 9 bulan menjabat di BUMN Pertamina sehingga jajaran Direksi yang menjadi obyek kesalahan publik?