Oleh: KH Luthfi Bashori
Sayyidina Abdullah bin Amr RA mengungkapkan, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Kutukan Allah menimpa atas orang yang menyuap dan yang menerima suap.” (HR. Bukhari, Muslim, Attirmidzi, Abu Dawud & Ibnu Majah).
Suap menyuap di bidang apa saja, baik dalam hal mencari kerja maupun dalam berperkara di pengadilan, hukumnya haram. Sebab, ada pihak yang dirugikan. Terlebih lagi di bidang hukum, akibat suap-menyuap ini tidak sekedar merugikan, namun bisa juga menganiaya orang lain, sekaligus mencemarkan nama baik-nya.
Orang yang seharusnya dinyatakan tidak bersalah, akhirnya divonis bersalah dan harus meringkuk dalam penjara. Atau, jika dalam hukum perdata, orang yang semestinya menang menjadi kalah dan wajib membayar ganti rugi. Itulah sebabnya, orang yang menyuap dan yang menerima suap dikutuk oleh Allah SWT.
Sedangkan menurut kamus Wikipedia, Korupsi atau rasuah (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) adalah tindakan pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak.
Korupsi, suap dan pencurian itu hakikatnya setali tiga uang, tidak ada bedanya dalam masalah penggelapan harta serta penyalahgunaan wewenang atau sifat kerakusan, yang sama-sama ada pihak yang dirugikan, termasuk kerugian uang rakyat pembayar pajak yang diembat oleh pejabat.
Dari sudut pandang hukum positif, tindak pidana korupsi secara garis besar memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
• perbuatan melawan hukum,
• penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana,
• memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi, dan
• merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Jenis tindak pidana korupsi di antaranya,
• memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan),
• penggelapan dalam jabatan,
• pemerasan dalam jabatan,
• ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara), dan
• menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara).
Karena itu para koruptor yang merusak negara itu, minimal perlu dipotong tangannya, tanpa perlu dimaafkan.
Karena negara yang paling rusak di dunia ini adalah negara yang dipenuhi oleh para pejabat korup, baik di tingkat daerah hingga tingkat pusat.
Padahal negara yang diurus oleh para pejabat korup, maka tinggal menunggu kehancuran dan kepunahannya.