Upaya menyuarakan aspirasi dan memperjuangkan keadilan bagi siswa mendapat ganjalan. Aksi damai yang digelar oleh organisasi masyarakat sipil Rekan Indonesia Jawa Timur di depan SMAN 1 Mojo, Kabupaten Kediri, Kamis (7/8/2025), mendapat penghalangan dari aparat kepolisian. Kapolsek Mojo disebut sebagai pihak yang paling aktif membatasi ruang gerak peserta aksi.
Aksi yang dimulai sejak pagi hari itu dilakukan secara tertib. Massa aksi, yang terdiri dari aktivis, mahasiswa, serta sejumlah wali murid, membawa spanduk berisi tuntutan transparansi anggaran sekolah dan penghapusan pungutan liar (pungli), khususnya terkait kewajiban pembayaran uang komite.
“Kami datang dengan damai, tidak anarkis, tidak mengganggu kegiatan belajar mengajar. Kami ingin menyuarakan keresahan siswa dan wali murid soal pungli dan kewajiban pembayaran komite yang dirasa sangat memberatkan,” tegas Bagus Romadon, Ketua Rekan Indonesia Jatim.
Bagus menyebut bahwa aksi ini sah secara hukum dan dilindungi oleh konstitusi.
“Dasarnya jelas. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum memberikan jaminan atas aksi ini. Selama dilakukan tertib dan damai, tidak ada alasan untuk melarang atau membubarkan kami,” ujarnya.
Namun yang terjadi di lapangan berkata lain. Aparat kepolisian, yang dikoordinasi langsung oleh Kapolsek Mojo, disebut menekan massa aksi untuk membubarkan diri, bahkan sempat mengadang massa yang baru tiba. Hal ini memicu kemarahan sejumlah peserta aksi yang menilai polisi tidak netral dan justru menghalangi perjuangan terhadap ketidakadilan di dunia pendidikan.
“Kami tidak sedang mencari keributan. Justru tindakan aparat yang menghalangi dan menekan ini yang kontraproduktif. Di saat kami memperjuangkan hak siswa, malah dihambat oleh mereka yang seharusnya melindungi rakyat,” kata Bagus.
Rekan Indonesia Jatim menyatakan akan melaporkan tindakan Kapolsek Mojo ke Divisi Propam Polda Jawa Timur. Mereka menilai tindakan itu mencederai demokrasi dan menunjukkan sikap antikritik dari pihak kepolisian.
Aksi ini mendapat simpati dari sejumlah orang tua siswa dan warga sekitar. Beberapa orang tua murid bahkan ikut menyuarakan keresahan mereka soal pungutan yang tak jelas dasar hukumnya.
“Setiap tahun selalu ada pembayaran komite. Katanya sukarela, tapi kalau nggak bayar anak kami takut diperlakukan beda. Ini tekanan,” ujar seorang wali murid yang tak ingin disebut namanya.
Rekan Indonesia Jatim menegaskan tidak akan mundur. Mereka berkomitmen terus mengawal persoalan ini hingga mendapat respon dari pihak sekolah, Dinas Pendidikan, maupun instansi pengawas lainnya.
“Kami ingin sekolah jadi tempat yang nyaman dan adil bagi semua siswa, bukan tempat yang membebani orang tua dengan pungutan yang tidak jelas,” pungkas Bagus. Pewarta: Hadi Hoy