Oh Fir’aun, Dipuja dan Dijungkirbalikkan Pengikutnya

Oleh: Rokhmat Widodo, Kader Muhammadiyah Kudus

Terkadang dan acapkali sesuatu kekuasaan sewenang-wenang dan menuhankan dirinya, tersebutlah nama Fir’aun. Setiap zaman mengenang nama besar itu. Bukan nama yang indah, namun amat populer Al Qur’an menyebut nama Fir’aun sebanyak 74 kali. Semuanya lekat dengan kebengisan, kekejaman, tirani, kecongkakan, dan sederet kejahatan lainnya. Kalau pun dianggap “berjasa”, maka jasanya adalah membiarkan Musa as hidup serta mempertemukan Rosul Allah itu dengan tukang sihir kerajaan. Pertemuan yang mengantarkan para tukang sihir itu kepada keimanan yang benar.
Tak alang kepalang Fir’aun menebar teror. Akibatnya, ratusan bayi tewas mengenaskan dan ribuan rakyat terampas kemerdekaannya. Namun semua itu tak seberapa bila dibandingkan dengan puncak kezalimannya, ketika ia mengklaim bahwa dirinya, dan hanya dirinya, yang berhak mendapat loyalitas, kepatuhan, dan ketaatan. Tidak boleh ada sesuatu terjadi tanpa perkenan dan izinnya. Bahkan hak beraqidah yang merupakan hak asasi menusia, lenyap atas nama kepatuhan dan loyalitas kepada sang penguasa. “Adakah kalian beriman kepada Musa sebelum aku izinkan kalian untuk itu?” bentak Fir’aun kepada para tukang sihir saat mengetahui bahwa mereka beriman kepada Nabi Musa as. Sikap itu dipertegasnya dengan pernyataan, “Akulah tuhan kalian yang paling tinggi.”

Akar dari segala kejahatan Fir’aun adalah sikap melampui batas (thugyan). “Pergilah kepada Fir’aun, sesungguhnya ia melampui batas,” kata Allah SWT. (An-Nazi’at: 17). Dan sikap melampaui batas itu sebagai akibat adanya anggapan bahwa dirinya serba cukup: cukup pujian, cukup kekuatan, cukup kepatuhan dari bawahan, cukup loyalitas, dan seterusnya. “Ingatlah sesungguhnya manusia itu benar-benar melampul batas. Karena melihat dirinya berkecukupan.” (QS. Al-‘Alaq: 6-7)
Mengapa Fir’aun sampai mengganggap dirinya serba cukup, paling hebat, paling kuat dan seterusnya? Bagaimana ia berani ber tindak melampaui batas-batas kemanusiaan? Di satu sisi menjadi binatang, di sisi lain menjadi “tuhan”? Bukankah dulu ada Raja Sulaiman, yang walaupun kekuasaannya amat besar tapi tak membuatnya arogan. Begitu juga dengan Ratu Balqis. Kerajaannya yang besar tak membuatnya merasa jadi Tuhan. Mengapa?

Al-Qur’an telah memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Ternyata, orang-orang disekitarnyalah yang membuat Fir’aun merasa serba cukup, paling hebat penguasa tiada tandingan Memang Fir’aun bukanlah orang shaleh. Tetapi segala kejahatan Fir’aun mungkin tak akan jadi besar jika ada orang yang berani mengatakan “tidak”. “Maka, dia (Fir‘aun) telah memengaruhi kaumnya sehingga mereka patuh kepadanya. Sesungguhnya mereka adalah kaum yang fasik.” (QS. Az-Zukhruf ayat: 54).

Kekejian Fir’aun adalah berperilaku diktator dan berobsesi menjadi satu-satunya pihak yang dipatuhi. Sedangkan kegilalan para pendukungnya adalah tidak berani menolak segala titah Fir’aun betapa pun busuknya. Kejahatan Firaun adalah serakah dan kejahatan orang-orang di sekitarnya adalah meluluskan segala kehendak Fir’aun.

Kecongkakan Fir’aun adalah memperbudak rakyat jelata. Namun kebodohan rakyat adalah membiarkan dirinya dalam keadaan layak dijajah dan diperbudak. Maka, selain menistakan Fir’aun, Allah SWT juga mengecam para pendukungnya sebagai orang-orang fasik. “Karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang fasik.” (QS Az-Zukhruf: 54).

Para tukang sihir turut memerangi Nabi Musa as karena ia dijanjikan kedudukan dan posisi yang menggiurkan. “Dan para tukang sihir itu datang kepada Fir’aun (lalu) berkata, ‘(apakah) sesungguhnya kami akan mendapat upah jika kami yang menang?’ Fir’aun menjawab, ‘ya dan sesungguhnya kamu benar-benar akan termasuk orang yang didekatkan (kepadaku).” (QS Al-A’raf: 113-114)
Dalam rangka itu pula, para pengawal Fir’aun sering memanas-manasi Fir’aun, “Berkatalah para pembesar dari kaum Fir’aun (kepada Fir’aun). ‘Apakah engkau membiarkan Musa dan kaumnya membuat kerusakan di negeri ini dan meninggalkan engkau dengan tuhanmu?” (QS. Al-A’raf: 127).

Karena merasa mendapat dukungan itulah, Fir’aun mengatakan, “Akan kita bunuh anak laki-laki mereka dan kita biarkan hidup perempuan-perempuan mereka dan sesungguhnya kita berkuasa penuh atas mereka.” (Al- A’raf: 127).

Orang-orang semacam itu dengan segala kepentingannya menciptakan suasana kondusif bagi Fir’aun untuk merasa serba cukup. Buktinya, saat Fir’aun merasa tak punya lagi kekuatan, saat tak ada lagi orang yang memuja-mujinya, saat tak ada lagi orang yang membelanya, saat tak ada lagi orang yang berkorban untuknya, saat tak lagi merasa berkecukupan, saat nyawanya di ujung tenggorokan, ia mengakui bahwa dirinya bukanlah tuhan. Bahkan ia pun beriman kepada Allah. “Dan Kami memungkinkan Bani Israel melintasi laut, lalu mereka diikuti oleh Fir’aun dan balaten- taranya, karena hendak menganiaya dan menindas (mereka), hingga kala Fir’aun hampir tenggelam, berkatalah ia, ‘Saya percaya bahwa tiada Tuhan melainkan Tuhan yang dipercaya Bani Israil, dan saya termasuk orang-orang berserah dui (kepada Allah)” (QS. Yunus: 90) Tapi semua itu sia-sia. Tak ada lagi pintu taubat baginya.

Kualitas pemimpin sebuah negara tak bisa dipisah dari kualitas rakyatnya. Rakyat yang penjudi, perampok, pelacur, dan senang pada segala bentuk penyimpangan, tak akan mau dipimpin oleh orang yang bersih dan jujur, “Seperti apa (kualitas) kalian, maka (oleh orang berkualitas) seperti itulah kamu akan dipimpin, sabda Rosulullah SAW.

Setiap orang punya potensi untuk menjadi Fir’aun. Apalagi bila orang tersebut memperoleh jabatan, kedudukan dan kekuasaan. Karena setiap manusia berpotensi untuk melampaui batas. “Ingatlah, sesungguhnya manusia itu benar-benar melampaui batas. Pada gilirannya kemudian, ada orang yang mental thughyan-nya tumbuh dan berkembang, dan ada pula yang ternetralisir. Pujian dan kultus adalah modal yang lebih dari cukup bagi seseorang untuk merasa hebat.

Karenanya, mempersiapkan pemimpin masa depan tidak bisa dilepaskan dari proyek mempersiapkan rakyat masa depan. Dari sisi ini, jelas tugas para pengemban dakwah, baik pribadi maupun kelompok, tidaklah ringan. Karenanya, alangkah bijak jika segala potensi dan energi yang dimiliki para aktifis dakwah hari ini diarahkan untuk mencetak umat generasi baru dengan mental yang baru pula. Dan bukan untuk bertikai saling rebut lahan dan pengaruh.

Rakyat masa depan haruslah manusia yang memiliki jiwa merdeka, mental anti penjajahan, dan nurani tangguh untuk mengekspresikan. kebenaran. Adalah “syetan bisu” julukan yang diberikan Rosulullah saw kepada orang yang tidak berani mengatakan, “Hai si zalim, kepada orang yang berbuat zalim. Jika ini gagal, maka fir’aun-fir’aun tak kan henti bermunculan. Atau kalau bukan Fir’aun, bisa jadi yang muncul Fir- ‘aun baru. Waallahu a’lam.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News