Oleh: Memet Hakim, Pengamat Sosial, Wanhat APIB & APP TNI
Program SIREKAP yang diandalkan KPU ternyata merupakan program PERHITUNGAN CURANG atau PENIPUAN JUMLAH SUARA, yang dirancang oleh para ahli dari ITB, kemudian direkayasa oleh KPU untuk bermain curang. Artinya telah ada niat jahat, perbuatan jahat yang telah dan sedang dilakukan.
Dalam kasus kecurangan ini, Rektor ITB terkibat sebagai pihak yang membuat program ini, tidak berani menyampaikan fakta yang sebenarnya. Kursi jabatan Rektor rupanya lebih penting dibanding nasib 270 penduduk RI.
Rektor PT terkemuka di Indonesia bahkan di dunia, tentu pintar ilmu dengan segudang prestasi, tetapi miskin akhlaknya, tepatnya “mengalami krisis moral akut”. Dia tahu persis bahwa sikap diamnya nya membahayakan masa depan bangsa dan negara adalah perbuatan salah. Bahasa terangnya adalah PENGECUT. Nah apakah seorang pengecut layak memimpin PT hebat seperti ITB ini ?
Tentu saja sikap Rektor ITB ini telah mencoreng nama besar Institusi dan membuat malu alumninya. Penulis secara pribadi ikut malu, walau hanya sempat kuliah di ITB.
Selain itu tidak tertutup kemungkinan Rektor dianggap menyembunyikan informasi yang merugikan rakyat dan negara. Artinya Rektor ITB berpeluang dianggap sebagai pengkhianat negara yang suatu waktu dapat dituntut di pengadilan.
Jika analisis para ahli IT tersebut benar, artinya KPU telah berbuat kejahatan yang akan berdampak pada nasib bangsa dan negara Indonesia 5 tahun kedepan. Kejahatan seperti ini bukan kejahatan biasa, tapi termasuk “kejahatan luar biasa”. Seharusnya diadili oleh Pengadilan luar biasa pula. Di TNI dulu kita kenal dengan nama Mahmilub.
Masalah kecurangan ini harus dibawa ke Bawaslu terus ke MK, karena yg putuskan hanya masalah angka jumlah suara terkait menang atau kalah hasilnya. Baik di Bawaslu maupun MK, unsur pidana kejahatan luar biasa yang merusak negeri tidak dibahas, artinya ini urusan pidana tidak termasuk urusan Bawaslu dan MK.
“Pelaku kecurangan dapat disamakan dengan pencurian suara, manipulasi suara, jual beli suara atau korupsi dan sama juga dengan penipuan”, semuanya itu adalah kejahatan. Saya yakin para ahli hukum lebih memahami dan menguasainya.
Kecurangan timbangan hanya merugikan 1 atau beberapa orang saja, begitu pula kecurangan dalam perdagangan. Kecurangan dalam pertandingan olah raga, kerugian hanya dialami oleh kompetitornya. Nyontek kecurangan juga, tapi hanya ybs saja yang rugi.
Kecurangan pemilu, kerugian yang dialami bukan hanya oleh pendukung paslon yang kalah, tapi oleh seluruh rakyat Indonesia. Itulah sebabnya hukuman badan perlu digunakan. Pemenang hasil oemilu curang juga rugi karena tidak dipercaya oleh rakyat.
Kecurangan pilpres menurut ahli IT dilakukan di tingkat Kabupaten kota sampai pusat. Kecurangan pileg, dilakukan sejak dari tingkat bawah. Tidak heran jika ada info jual beli suara jika ingin jadi anggota Legislatif. Bahkan tarik ulur masalah Hak Angket tidak terlepas dari urusan permainan di KPU. Aneh ya, tapi begitulah jika kejahatan dibiarkan atau bahkan dilindungi, semakin rusak negeri ini dibuatnya.
Jika Kepolisian tidak merasa berwenang mengadili para penjahat di KPU, Bawaslu dan MK juga tidak berwenang, ini isyarat kuat, rakyatlah yang harus mengadilinya. Kejahatan yang diperlihatkan didepan mata seluruh rakyat Indonesia ini sudah terbuka, tapi belum ada pihak penyidik yang berani bertindak.
Bandingkan dengan yg dituduh teroris, baru ada niat saja sudah langsung diciduk bahkan ditembak mati, walau belum tentu tuduhan itu benar. Jika saja Densus 88 diberikan tugas mencari penjahat di KPU tentu akan banyak hasilnya. “Penjahat di KPU lebih berbahaya dari pada teroris”. Selanjutnya Pemilu tentu akan tertib, sesuai harapan rakyat semuanya.