Guru Besar ITS: Jokowi Lebih Cerdik daripada Anies dan Ganjar, Apalagi Prabowo

Presiden Joko Widodo (Jokowi) lebih cerdik dalam berpolitik termasuk dalam menghadapi dunia internasional khususnya Barat yang menolak hilirisasi.

“Jokowi jauh lebih cerdik daripada Anies dan Ganjar, apalagi Prabowo. Prabowo ternyata belajar dari Jokowi dan kemudian menyetujui pandangan dan sikapnya,” kata Guru Besar ITS Prof Dr Daniel Mohammad Rosyid kepada redaksi www.suaranasional.com, Ahad (18/2/2024).

Kata Daniel, hilirisasi adalah kebijakan yang banyak ditentang oleh Barat dan akan diteruskan Prabowo.

Jokowi dan Prabowo tidak senang dengan UUD2002, namun demi cita-cita politiknya, Prabowo membangun Gerindra dan masuk ke dalam sistem kemudian malah masuk dalam kabinet Jokowi.

“Namun hanya AD/ART Gerindra yang memiliki platform resmi kembali ke UUD45. Baik PKS, PKB maupun Nasdem sangat pro UUD2002 ini,” jelasnya.

Sejak reformasi yang diusung oleh kaum liberal yang bersembunyi di FE UI dan FH UGM, Bangsa Indonesia justru masuk ke dalam jebakan middle income trap yang dipasang kekuatan-kekuatan nekolimik Barat. Sementara SBY takluk menghadapi Barat, Jokowi cerdik menyikapi hal ini secara strategis sekaligus taktis.

“Hubungannya yang makin dekat dengan China sebagai raksasa ekonomi dan militer punya alasan yang kuat. China tidak intervensionis seperti penilaian Yanis Varoufakis dan syech Imron Husein. Di titik ini, baik Jokowi dan Prabowo memiliki sikap politik yang sama : sosio-nasionalis, bukan komunis,” paparnya

Para tokoh yang belakangan kecewa itu sangat berpikiran Barat, sementara ummat Islam juga sudah masuk dalam jebakan demokrasi yang ilusif seolah Islam itu compatible dengan demokrasi.

“Islam tidak pernah menang melalui plebisit,” paparnya.

Islam selalu diperalat oleh kekuatan nekolimik Barat melalui radikalisasi dan membenturkannya dengan Pancasila. Islam dijadikan alat untuk memecah belah bangsa ini. Padahal seperti kata Wiliiam Blum demokrasi adalah ekspor AS yang paling mematikan.

Juga seperti dikatakan Fahri Hamzah bahwa rancangan Pilpres ini bermasalah karena yang terpilih bukan yang terbaik, tapi yang terpopuler. Menyerahkan pilpres sebagai collective action pada 150 juta pemilih yg kebanyakan rationally ignorant merupakan resep yang buruk bagi rekrutmen presiden, jika sulit disebut dagelan demokrasi. Untuk memilih presiden terbaik lebih baik dilakukan oleh wakil-wakil terpilih berjumlah sedikit di MPR melalui musyawarah bil hikmah sesuai UUD45,” pungkasnya.