Oleh: Ahmad Basri (Ketua K33PP Tubaba dan Alumni UMY)
Mereka yang tidak percaya dengan metode survei yang dilakukan oleh lembaga survei untuk mengukur tingkat keterpilihan dalam dalam pilpres 2024 secara politik sesuatu yang wajar. Apalagi calon yang dikehendaki diidamkan untuk menjadi ‘presiden’ jauh dari harapan diukur dari tingkat keterpilihan yang dilakukan oleh lembaga survei. Skeptis dari hasil lembaga survei bisa jadi merasuk dalam pikiran lalu mencari alibi berbagai macam argumen yang terkadang tidak ilmiah.
Setidaknya hasil dari apa yang dihasilkan oleh lembaga survei harus dapat dipahami sebagai ‘vitamin’ untuk terus berpacu meningkat kinerja mesin politik kepartai agar sesuai harapan. Itu yang harusnya menjadi spirit politik membangun kinerja politik. Dilihat dari rilis semua lembaga survei ( 10 lembaga survei ) mayoritas menempatkan Prabowo di atas rata – rata 43 – 45 persen dibandingkan Anies – Ganjar 23 – 27 persen.
Walaupun ada yang ‘protes’ bahwa angka rilis hasil lembaga survei untuk Prabowo tidaklah mencapai angka seperti yang diatas. Sebagaimana bantahan dari lembaga survei Polmark – Eep S Fatah bahwa angka Prabowo hanya berkisar 37 persen. Tentu argumen Eee S Fatah dapat dimengerti dipahami, sebab selama ini disatu sisi merupakan konsultan politik Anies sejak pilgub DKI. Ketidak percayaan dalam hasil lembaga survei secara politik bisa dipahami.
Dari 10 rilis lembaga survei kubu pendukung Anies tidaklah menyakini bahwa, 14 Februari 2024 dihari pencoblosan hasil penghitungan suara akan sama untuk Prabowo. Mereka mempercayai bahwa Anies akan terpilih dalam pemilu 2024. Alasannya pada Pilgub DKI 2017 semua lembaga survei selalu menempatkan Ahok nomor satu, AHY nomor dan Anies nomor 3. Namun kenyataannya Anies terpilih sebagai Gubernur DKI dalam putaran kedua. AHY tersingkir diputaran pertama. Kemenangan Anies dalam pilgub DKI 2017 menarik untuk sedikit dikupas kembali sebagai satu catatan historis.
Ada tiga faktor yang dapat menjelaskan, mengapa Anies terpilih dalam pilgub DKI 2017, di mana sejak awal tidak pernah diunggulkan oleh lembaga survei sebagai Gubernur DKI. Pertama, adanya kemarahan publik, khususnya umat islam, yang begitu keras atas sikap Ahok, yang telah menafsirkan ‘Ayat Surat Al Ma’idah l’ dengan keliru dan itu dianggap melecehkan kitab suci Al Qur’an. Demo berjilid – jilid 212 setidaknya mempertegas itu semua dan dipertegas oleh penegak hukum Ahok bersalah. Kedua, tentunya suara pendukung AHY beralih ke Aines dalam putaran ke dua. Masuknya dukungan suara AHY juga dipengaruhi oleh kasus Ahok. ‘penistaan agama’. Ketiga, jarak hasil lembaga survei antara Ahok, AHY dan Anies sesungguhnya tidaklah begitu besar.
Dapat disimpulkan sesungguhnya kemenangan Anies dalam Pilgub DKI, bukan semata – mata publik DKI tertarik pada penyampaian program, visi dan misi. Kalaupun ada tentu tidaklah bgitu besar pengaruhnya dalam pencapaian suara Anies. Andaikan tidak ada kasus Ahok misalkan ‘ penistaan agama ‘ mungkinkan Aniesn terpilih menjadi Gubernur DKI ? Bisa jadi prediksi sebagaimana lembaga survei akan menempatkan Ahok sebagai Gubernur.
Beda dengan pilkada Jawa Tengah antara Ganjar – Bibit Waluyo, Ganjar – Sudirman Said, semua lembaga survei memberikan suara Ganjar unggul dan akan terpilih sebagai Gubernur dan akhirnya terbukti. Walaupun jarak dari para lembaga survei antara, misalkan Ganjar – Sudirman Said berjarak tipis hanya terpaut beberapa persen hitungan suara ( baca : dibawah 10 persen ). Namun rilis lembaga survei tidaklah meleset.
Jika argumen pilgub DKI yang memenangkan Anies dan menggugurkan analisis lembaga survei, dijadikan sandaran, argumen, dan pemikiran untuk membaca pilpres 2024 tidaklah memiliki korelasi kuat. Tidak ada gejala atau fenomena sosial politik keagamaan pilpres 2024 seperti pilgub DKI. Berharap bahwa pilpres 2024 akan dimenangkan oleh Anies dan mereduksi hasil rilis 10 lembaga survei sepertinya sulit terwujud. Andaikan fenomena pilgub DKI sama fenomenanya dengan pilpres 2024, argumen Anies jadi presiden bisa terwujud termasuk Ganjar memiliki peluang yang sama.