Oleh: Ahmad Basri, Ketua K3PP – Tubaba
Setiap tanggal 20 Mei adalah hari yang bersejarah bagi Bangsa Indonesia. Diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Kata bangkit menunjukan satu identitas kesadaran berpikir kritis, guna membangun semangat perubahan, semangat perlawanan. Perlawanan terhadap kolonialisme imperialisme.
Berbicara hari Kebangkitan Nasional tentu tidak terlepas dengan satu sosok motivator ideologis kesadaran berpikir. Siapa lagi kalau bukan menyebut nama Dr. Soetomo.
Dr. Soetomo nama yang tidak asing dalam kilas balik sejarah awal perjalanan pergerakan Indonesia merdeka di awal abad 20 an. Kini namanya tercatat dalam perjalanan Bangsa Indonesia sebagai Pahlawanan Nasional dan namanya diabadikan sebagai “ nama jalan “ di berbagai tempat di indonesia.
Sebagai pendiri organisasi “ Boedi Oetomo “ Dr. Soetomo tidak berdiri sendiri. Dibelakangnya ada Wahidin Soedirohoesodo, Gondowinoto, Gunawan Mangoenkoesoemo, RT. Ario Tirtokusumo. Mereka semua adalah para pelajar, kaum priyayi “ bangsawan jawa “ kaum terdidik terpelajar yang bersekolah di “ STOVIA “. STOVIA ( School tot Opleiding van Inlandsche Artsen ) adalah sekolah kedokteran yang didirikan oleh Pemerintah Belanda pada tahun 1902.
Organisasi Boedi Oetomo memiliki konsep perjuangan kesadaran berpikir masyarakat dalam dunia pendidikan. Para konseptor organisasi menyadari bahwa tidak mungkin melawan kolonialisme imperialisme ( Baca : Belanda ) melalui jalur fisik peperangan ala militer.
Pendidikan adalah jalur “ intelektualisme “ untuk membangkitkan tentang nilai – nilai kesadaran berpikir nasionalisme bahwa perjuangan kemerdekaan indonesia tidak harus bergerak ala ninja “ militer “. Semangat itu yang terus disuarakan oleh gerakan Boedi Oetomo. Non kekerasan.
Lahirlah di kemudian hari berbagai macam organisasi gerakan perjuangan nasionalisme indonesia merdeka. Kita lihat lahirnya Sarekat Islam (SI) di kemudian hari menjadi Sarekat Dagang Islam (SDI ), Indische Partij (IP), Perhimpunan Indonesia (PI), Partai Komunisme Indonesia (PKI) dan Partai Nasionalisme Indonesia (PNI).
Mereka semua satu tujuan walaupun metodologis ideologis perjuangan berbeda – beda tetap menginginkan satu kata tentang “ Indonesia Merdeka “ lepas dari belenggu kolonialisme imperialisme. Puncaknya “ Indonesia Merdeka “ 17 Agustus 1945 Soekarno – Hatta.
Pesan apa yang kita tarik setiap tanggal 20 Mei kita peringati sebagai “ Hari Kebangkitan Nasional “.
Tidak lain pembangunan politik kesadaran nasionalisme tentang cinta tanah air bahwa perjuangan melawan segala bentuk penindasan politik ekonomi rakyat harus dilawan tidak bisa didiamkan. Itu wajib. Hari ini kondisi kebangsaan kita sebagai sebuah bangsa mengalami krisis yang begitu dalam. Seperti kehilangan cara untuk menyelesaikan. Hukum tidak lagi berpihak pada kebenaran. Tapi pada kekuasaan dan uang.
Politik ekonomi keserakahan merajalela dimana – mana. Pemimpin tidak lagi berpikir tentang rakyat tapi bagaimana mengakumulasi kekuasaan untuk tetap mempertahankan kekuasaan. Lebido kekuasaan keserakahan itu yang dipertontonkan dalam segala aspek kehidupan. Wajah kemiskinan dan pengangguran adalah orkestra klasik yang kian menggema sebagai tanda mati sebuah bangsa. Rakyat bingung “ gelap “ menatap masa depan. Bukan mimpi tentang Indonesia Emas.
Musuh kita hari ini sesungguhnya adalah kolonialisme imperialisme baru – londo ireng ( sesama anak bangsa ). Mereka lebih kejam lebih sadis lebih serakah daripada kolonialisme imperialisme asing yang sesungguhnya. Andaikan para pendiri kebangsaan itu masih hidup mungkin mereka akan menangis bukan tertawa.Perjuangan mereka seperti sia – sia.
Kolonialisme imperialisme londo ireng memang mengerikan. Mereka anak bangsa yang kejam. Kadang suara mereka sangat lantang dengan slogan musik dan lagu cinta “ Nasionalisme – NKRI “ tapi dibalik itu mereka bersengkongkol dengan semua kejahatan. Kita hidup dalam slogan nasionalisme semu. Kondisi saat ini meminjam istilah jawa “ wes asu kabeh “.