Oleh : Ahmad Khozinudin, S.H, Advokat
Malam ini (Ahad, 7/1), akan diselenggarakan Debat Pilpres ketiga. Tema debat ketiga kali ini adalah terkait isu pertahanan, keamanan, geopolitik, dan hubungan internasional.
Menhan sekaligus Capres Prabowo Subianto, dianggap menguasai isu ini. Alasannya, dia adalah satu-satunya capres yang memiliki latar belakang militer. Namun, apakah asumsi ini benar?
Mari kita periksa,
Kita fokuskan membahas isu pertahahan. Agar lebih mudah untuk mengukur dan menilai kemampuan Prabowo mengelola isu pertahanan, kita kaitkan isu ini dengan kebijakan Menhan yang belum lama ini melakukan pembelian satu skuadron atau 12 unit jet tempur Mirage 2000-5 dari Qatar dengan biaya USD792 juta atau setara hampir Rp12 triliun (asumsi kurs Rp 14.800 per USD).
Kita awali, dari alasan Prabowo import pesawat bekas (rongsok) ini. Penulis merangkumnya, dari berbagai sumber dan didapati alasan import pesawat bekas ini sebagai berikut:
Pertama, Prabowo menyebut pembelian 12 unit pesawat tempur Mirage 2000-5 bekas dari Qatar sebagai solusi sementara lantaran pesawat dimiliki TNI banyak yang sudah tua.
Prabowo menegaskan tak mungkin negara seluas Indonesia tak memiliki pesawat untuk operasional sehari-hari. Karenanya, ia mengatakan pesawat tempur Mirage dapat didatangkan secepatnya untuk kebutuhan operasional TNI.
Alasan ini jelas tak masuk akal. Karena kebutuhan pesawat TNI, apalagi dengan alasan pesawat sudah tua tidak bisa diselesaikan dengan solusi Short Cut atau solusi Instan dengan mengimpor pesawat bekas. Justru, sebagai Menhan Prabowo semestinya telah membuat kalkulasi secara utuh dan menyeluruh tentang kebutuhan pesawat nasional, ketersediaan pesawat, jadwal pengadaan pesawat baru untuk penggantian unit lama, dan rencana pembelian pesawat baru untuk menambah armada karena meningkatnya beban kerja, dikaitkan dengan ketersediaan anggaran dan solusi atas pemenuhan kebutuhan tersebut.
Pesawat sudah tua, itu adalah masalah yang terkendali. Bisa diantisipasi jadwal penggantiannya.
Beda kasusnya, jika Indonesia mengalami perang. Secara mendadak, ada sejumlah unit pesawat yang tertembak musuh dengan jumlah yang sangat signifikan. Dibutuhkan pesawat baru untuk operasional perang, dengan harga yang terjangkau agar ancaman pertanahan negara bisa segera diatasi.
Solusi pesawat bekas dalam kasus seperti ini, dapat dijadikan argumentasi dan dapat dibenarkan. Usia pesawat bekas yang tak lama, juga tak menjadi soal, karena kebutuhan yang bersifat mendesak dan dalam keadaan damai, pesawat ini akan diganti dengan yang lebih layak.
Import pesawat bekas yang dilakukan Prabowo, terbukti tidak memiliki perencanaan yang utuh dan menyeluruh. Penulis malah curiga, jangan-jangan ada unsur korupsi dalam pengadaan pesawat bekas ini, karena sebelumya diketahui kebijakan import ini tanpa seizin Presiden selaku penanggungjawab utama pertahanan dan kedaulatan Negara.
Kedua, Prabowo berdalih banyak negara yang mengantri untuk membeli pesawat bekas dari Qatar ini. Jadi, Prabowo ingin membawa alam pikir rakyat bahwa Indonesia beruntung bisa membeli pesawat bekas Qatar, ditengah banyak negara mengantri dan tidak mendapatkan pesawat tersebut.
Logika yang dibangun Menhan ini bukan logika pertanahan. Tapi, logika emak-emak yang belanja di mal karena ada discount, bukan karena adanya kebutuhan.
Asas untuk menentukan kebijakan pembelian alutsita, termasuk pesawat terbang adalah untuk memenuhi kebutuhan sistem pertahanan Negara. Jadi, bukan karena ada obral diskoun pesawat murah, dll.
Jika strategi pertahanan mewajibkan Negara memiliki pesawat super canggih, karena ancaman pertanahan dinilai sangat serius, maka berapapun harganya meskipun mahal, negara harus segera mengadakannya. Bukan menunggu ada discount pesawat bekas baru melakukan belanja. Bisa selesai negara ini dikuasai musuh, jika pola pertahanannya demikian.
Ketiga, Prabowo tidak mengaitkan strategi pertahanan dengan strategi industri. Seharusnya, asas pertahanan dan perang itu mewajibkan negara membangun industri militer untuk tujuan perang. Bukan cuma jadi importir senjata.
Dalam konteks strategi ini, tidak jelas apa langkah yang telah ditempuh Prabowo selain belanja pesawat bekas dari Qatar. Jika pola kebijakan pertahanan Prabowo ini diadopsi Negara, bisa bahaya Indonesia.
Karena itu, dalam isu pertahanan itu harus ditegaskan bahwa ini isu sangat strategis dan sensitif. Isu yang berkaitan dengan eksistensi sebuah negara dan kesinambungannya.
Dalam kasus import pesawat bekas dari Qatar ini, terlihat jelas tak ada design besar terkait strategi pertanahan negara yang diadopsi Prabowo. Logika yang dibangun, boleh jadi logika pasar Glodok yang membeli barang dengan orientasi murah, kualitas tak jadi soal, bahkan meskipun hanya barang bekas.
Belum lagi, jika dikaji secara teknis. Menurut TB Hasanudin, pesawat Mirage 2000-5 tersebut dibeli oleh AU Qatar dari Perancis pada akhir tahun 1980-an. Sehingga, sisa efektif usia operasional hanya 10 tahun.
Hasanudin berpendapat semestinya Prabowo membeli jet tempur baru ketimbang membeli pesawat bekas. Harga per unit jet tempur Mirage 2000-5 bekas adalah sekitar USD66 juta/unit.
Banyak pilihan jet tempur baru mendekati angka USD66 juta. Di antaranya Super Hornet (USD67 juta/unit), F-35A (USD77 juta/unit), Gripen (USD85 juta/unit), atau F-15 EX (USD87 juta/unit). [].