Mewaspadai Dominasi Kekuasaan Jokowi dan PDIP

Oleh: Agusto Sulistio – Pendiri The Activist Cyber, Pegiat Sosmed.

Dominasi kekuasaan dapat terjadi dalam berbagai bentuk, tidak hanya melalui kekuasaan presiden yang berkepanjangan, tetapi juga melalui dominasi partai politik.

Seperti yang terjadi pada masa Orde Baru dibawah rezim pemerintahan Presiden Soeharto, sejak tahun 1966 hingga 1998, bahwa trlah terjadi kekuasaan absolut yang berkembang saat itu melalui beberapa mekanisme dan tindakan yang kompleks.

Kekuasaan absolut tersebut akibat adanya “pemberian mandat yang luas”, setelah mengambilan alih kekuasaan dalam sebuah kudeta militer pada tahun 1966. Fakta sejarah saat itu Soeharto telah mendapatkan mandat luas untuk mengendalikan negara, oleh karena adanya situasi politik yang tidak stabil, dan saat itu masyarakat Indonesia menginginkan stabilitas.

Selanjutnya Presiden Soeharto mengembangkan konsep “dwifungsi” Tentara Nasional Indonesia (TNI) dengab memberikan peran politik TNI dalam pemerintahan selain tugas-tugas militer. Akibatnya menjadikan TNI mengawasi dan mengintervensi politik dalam skala yang besar.

Dalam hal kepartaian, Partai Golongan Karya (Golkar) yang merupakan kendaraan politik utama Soeharto diciptakan mendominasi dalam setiap pemilihan elektoral, serta memaksa partai-partai politik lain untuk beroperasi dalam kerangka yang ditentukan oleh pemerintah, yang membatasi persaingan politik yang sehat.

Pemerintah Orde Baru pun secara ketat mengendalikan media massa, dan hanya media yang mendukung pemerintah yang diizinkan beroperasi, sementara media yang kritis dibatasi, ditutup atau dibredel.

Presiden saat itu memegang kendali atas aparat keamanan yang kuat, TNI termasuk polisi dan badan intelijen. Hal ini memungkinkannya untuk memantau dan mengendalikan potensi oposisi politik.
Praktek klienelisme dan nepotisme merupakan bagian dari upaya penguasa Orba dengan mempromosikan orang-orang yang setia kepadanya ke posisi-posisi kunci dalam pemerintahan, TNI dan Polri.

Pembungkaman oleh kekuasaan Orba terhadap posisi politik, aktivis hak asasi manusia, dan organisasi masyarakat sipil yang mengkritik rezim Orde Baru seringkali ditekan, dipenjara, atau diasingkan.

Dalam penyelenggaraan Pemilihan Presiden, Soeharto terpilih sebagai presiden secara berulang-ulang dalam pemilihan yang dikontrol oleh rezimnya sendiri, sehingga memastikan dominasinya atas kekuasaan eksekutif.

Semua faktor tersebut berkontribusi untuk menciptakan sistem kekuasaan absolut di mana Soeharto dan Partai Golkar saat itu mengendalikan pemerintahan Indonesia selama lebih dari tiga dekade, dan berakhir pada tahun 1998 atas tekanan demonstrasi massa dan tekanan internasional memaksa Soeharto mengundurkan diri.

Dari perjalanan perpolitikan Orde Baru tersebut, ternyara dominasi kekuasaan pun berpotensi di era reformasi yang saat ini tengah kita lalui.

Setelah peralihan kekuasaan Orba ke era Reformasi, dan belajar dari pengalaman Orba konstitusi negara kita mengalami perubahan, dimana presiden hanya dapat menjabat selama dua periode berturut-turut, yang membatasi masa jabatan presiden menjadi maksimal 10 tahun.

Dalam konteks ini dominasi kekuasaan presiden dapat diatasi oleh masa jabatan hanya 2 periode (10 tahun). Akan tetapi masih terdapat celah terjadinya dominasi kekuasaan, yang mana Partai Politik bisa terus berkuasa. Presiden berganti namun Parpol masih bisa melanjutkan kekuasaannya dengan mengusung kandidat Capres kembali dalam pilpres selanjutnya. Dengan demikian tidak ada batasan waktu untuk berapa lama sebuah partai politik bisa berkuasa. Partai yang memenangkan pemilihan umum dapat terus berkuasa selama mereka mempertahankan dukungan elektoral.

Oleh karena itu, partai penguasa dapat mempertahankan kekuasaan selama mereka terus memenangkan pemilu.

Dengan kata lain, Reformasi politik di Indonesia mengenai masa jabatan presiden bertujuan untuk mencegah dominasi seorang pemimpin tunggal untuk waktu yang lama, sementara partai politik masih memiliki kesempatan untuk terus berkuasa selama mereka mendapatkan dukungan rakyat melalui pemilihan umum. Meskipun batasan masa jabatan presiden diterapkan, partai politik tetap memiliki peluang untuk mempertahankan kekuasaan dalam pemerintahan.

PDIP dan Koalisi Berpotensi Mendominasi Kekuasaan

PDIP bersama partai koalisinya ditahun 2014 berhasil mengantarkan Ir. Joko Widodo sebagai Presiden RI terpilih dan Jusuf Kalla sebagai wakilnya. Atas kemenangannya di pilpres 2014 ini membawa PDIP sebagai parpol penguasa akibat kandidat pasangan capres cawapres yang diusungnya menjadi bagian utama kekuasaan yang sekaligus mengendalikan pemerintahan negara RI hingga akhir masa jabatannya di tahun 2019.

Kekuasaan PDIP dan koalisinya terus berlanjut hingga tahun 2024 mendatang, setelah sebelumnya Partai besutan Megawati Soekarnoputri berhasil membawa kembali Jokowi sebagai Presiden RI dengan didampingi wakilnya KH. Maruf Amin dalam pilpres 2019.
Dalam sistem demokrasi Indonesia saat ini, seorang presiden hanya dapat menjabat maksimal dua periode berturut-turut, seperti yang diatur dalam konstitusi. Namun, partai politik seperti PDIP masih memiliki peluang untuk mempertahankan kekuasaan dalam pemerintahan jika mereka mampu mengusung calon yang memenangkan pemilihan presiden. Ini adalah aspek penting dalam dinamika politik Indonesia yang perlu diperhatikan dalam konteks potensi dominasi kekuasaan partai.

Partai politik seperti PDIP dapat mempertahankan kekuasaan dalam kerangka demokrasi meskipun ada batasan masa jabatan presiden.

Mempertahankan kekuasaan dapat dilakukan dengan cara merotasi kepemimpinan. Meskipun presiden hanya dapat menjabat dua periode berturut-turut, partai politik dapat melakukan rotasi kepemimpinan dengan mengusung calon presiden baru yang dipilih untuk memenangkan pemilihan umum. Ini memungkinkan partai untuk terus memegang kendali atas pemerintahan selama mereka memiliki popularitas yang cukup untuk memenangkan pemilihan.

Partai politik yang mendukung presiden yang sedang berkuasa dapat memanfaatkan masa jabatannya untuk memperkuat kekuasaan dan membangun dukungan politik. Ini dapat mencakup mengisi jabatan penting di pemerintahan dengan kader-kader partai dan memastikan bahwa kebijakan pemerintah sejalan dengan visi partai.

Dalam pemilihan umum legislatif, partai politik juga memiliki kesempatan untuk mempertahankan atau meningkatkan kekuasaan mereka. Jika partai-partai yang mendukung presiden memenangkan mayoritas di parlemen, mereka dapat memfasilitasi kebijakan dan agenda pemerintah yang sesuai dengan visi mereka.

Pemilihan kepala daerah, seperti gubernur dan bupati, juga penting dalam dinamika politik. Partai politik dapat menggunakan kendali mereka atas daerah-daerah tertentu untuk membangun basis dukungan yang kuat.

Akhirnya, popularitas dan kinerja pemerintah juga memainkan peran kunci dalam apakah partai politik akan memenangkan pemilihan berikutnya. Kepuasan publik terhadap kinerja pemerintah dan pencapaian dalam berbagai bidang akan mempengaruhi hasil pemilihan.

Penting untuk memastikan bahwa proses pemilihan berlangsung secara adil dan transparan, dan bahwa partai-partai politik yang berkompetisi memiliki akses yang sama ke media dan sumber daya untuk memastikan demokrasi yang sehat. Dalam hal ini, peran masyarakat sipil, media independen, dan lembaga pengawas pemilihan yang kuat sangat penting untuk menjaga keseimbangan kekuasaan dan mencegah dominasi yang merugikan dalam politik.

Arah Politik Kekuasaan Keluarga Jokowi

Terlepas dari kepekaan dan kemampuan Jokowi dalam melihat peluang politik jelang Pilpres 2024, langkah Presiden ini sangat penting penting dijadikan isu dalam politik yang sangat menarik dan perlu dicermati.

Perlu dilihat motivasi di balik tindakan politik individu atau kelompok. Masuknya putra bungsu Presiden Jokowi, Kaesang Pangarep ke Partai PSI (Partai Solidaritas Indonesia) beberapa hari lalu yang dapat diinterpretasikan beragam, dan akhirnya semua tergantung pada niat dan tujuannya.

Dalam perspektif demokrasi tentu pilihan politik Kaesang bergabung ke PSI bukan hal yang tabu. Namun jika dikaitkan dengan semangat reformasi yang membatasi kekuasaan absolut, maka bisa saja langkah Kaesang dapat diinterpretasikan bertentangan dengan semangat reformasi yang berkomitmen memberantas KKN dan kekuasaan absolut. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari hubungan Kaesang dengan Ayahnya yakni Joko Widodo yang kini masih menjabat sebagai Presiden RI. Sebab pandangan publik secara umum akan melihat Kaesang sebagai bagian dari hubungan keluarga dalam hal ini putra dari anak nomer satu Indonesia.

Namun hal tersebut dapat menjadi nilai positif jika niat Kaesang bergabung dan menjadi Kertua Umum PSI adalah untuk mendukung demokrasi yang sehat dan berkontribusi pada persaingan politik yang lebih seimbang, maka ini dapat dianggap sebagai langkah positif. Ini menunjukkan keinginan untuk memperkaya spektrum politik dengan ide-ide baru dan alternatif.

Sebaliknya akan dinilai negatif jika ada indikasi bahwa tujuannya adalah melanggengkan dominasi kekuasaan PDIP dan koalisinya, atau untuk kepentingan politik tertentu yang merugikan prinsip-prinsip demokrasi, maka ini dapat dianggap sebagai langkah yang meragukan.

Karena itu diperlukan upaya menjaga transparansi dan akuntabilitas dalam politik, sehingga tindakan politik dapat dinilai berdasarkan fakta dan tujuan yang jelas. Selain itu, partai politik dan pemimpin politik harus tetap terhubung dengan aspirasi rakyat dan mampu menjawab kebutuhan masyarakat secara luas, tanpa membatasi dominasi berkepanjangan dari satu kelompok atau partai tertentu.

Demokrasi yang sehat memerlukan sistem dengan persaingan politik yang seimbang di antara partai-partai politik, karenanya peran dan langkah politik keluarga Jokowi sangat diperlukan dengan mengedepankan tujuan reformasi, membentuk pemerintahan yang terbebas dari KKN dan menghilangkan dominasi kekuasaan presiden dan partai yang berkepanjangan.