Rempang dan Potensi Gerakan Anti-China

by M Rizal Fadillah

Begitu nampak kekuasaan Jokowi dan oligarki dalam peristiwa Rempang yang mencoba untuk memaksakan pengosongan atau penggusuran penduduk asli Melayu demi memenuhi syarat yang ditetapkan pihak China. Perlawanan ternyata di luar dugaan di samping masif juga meluas. Melewati batas 16 kampung Melayu Rempang Batam. Rakyat pribumi se Indonesia ikut meradang dan siap membela.

Sebutan perlawanan pribumi karena semua faham bahwa di samping penggusuran ini dilakukan demi kepentingan rezim juga keuntungan besar yang mungkin didapat oleh negara atau investor China, baik keuntungan ekonomi maupun politik. Jadilah narasi publik bahwa yang terjadi di Rempang adalah pribumi lawan China. Pemerintah seolah hanya “broker” atau alat.

Borok di samping sebagai “broker” juga ternyata terbuka sinyal kepentingan pendompleng proyek di dalamnya. Penguasa yang merangkap pengusaha sering bermain dan berkedok pada kebijakan politik. Pencanangan proyek strategis nasional dengan Keputusan Menteri adalah manipulasi aturan untuk kepentingan bisnis dan politik pragmatik. Bukan kepentingan rakyat karena rakyat lah yang justru menjadi korban.

Sulit untuk menepis anggapan bahwa setiap bisnis orang Istana itu tidak terkait dengan Presiden apakah sepengetahuan, restu, saham atau upeti. Oligarki biasa saling berbagi. Kesepakan dengan China dapat menggendutkan China, pejabat dan pengusaha Indonesia yang terlibat. Rakyat tetap kurus bahkan tergerus. Wakil rakyat yang semestinya teriak ternyata bisu dan tuli. Pengawasan tumpul, mandul dan semprul.

Jika terus penggusuran etnis melayu Rempang dilakukan maka sentimen akan menajam yaitu pribumi melawan China. Jokowi yang menjadi pelindung dihadapkan pada posisi dilematik. Sikap panglima TNI Yudo Margono yang juga semprul itu menandakan kesiapan untuk memaksakan. Sentimen etnik potensial menjadi konsekuensi. Pribumi anti China.

Semua itu api dalam sekam yang memungkinkan membara. Konflik 7 September menjadi awal buruk bagi Jokowi. Jika nekad maka meledak. Pilihan menjadi sempit antara nekad menggusur, Jokowi kalah atau China yang mundur teratur. Kalkulasi terlalu buruk. Sebagaimana 2004 dahulu Rempang menjadi proyek gagal.

Ada hal menarik yang dapat ditarik yaitu konflik akibat pemenuhan agenda China itu terjadi di bulan September. Ada peristiwa pahit dahulu 30 September 1965. DN Aidit diundang Mao Zedong bulan Agustus 1965 Jokowi memenuhi undangan Xi Jinping Juli akhir 2023. Sama-sama “memperingati” 10 tahun kerjasama Indonesia-China. Membahas masa depan Indonesia. Dulu ada China pula di bulan September.

Perzinan PT MEG milik Tomy Winata untuk mengelola proyek perlu dipertanyakan karena tanpa Feasibility Study, Amdal dan lainnya. Akibatnya terjadi konflik yang meluas. Rekomendasi DPRD Batam 2023 masih merujuk pada Rekomendasi DPRD Batam 2004 sesuatu hal yang tidak berdasar hukum karena antara keduanya itu berbeda proyek. Kekacauan ini menyebabkan proyek yang “dipaksakan” masuk dalam “Proyek Strategis Nasional” oleh Kepmen 7 tahun 2023 tersebut jelas-jelas cacat hukum.

Rezim Jokowi harus mempertahankan keberadaan 16 kampung adat Melayu di Pulau Rempang atau segera membatalkan proyek “strategis nasional” investasi China atau China sendiri yang menarik kembali proyek Xinyi Group tersebut. Bila semua terlambat maka bukan mustahil rakyat pribumi akan lebih hebat melakukan perlawanan. Apa yang terjadi jika dari kasus Rempang merembet kepada gerakan anti China.

Semua ini adalah akibat dari Jokowi yang terlalu dalam berakrab-akrab dengan China. Semua adalah gara-gara Jokowi.

*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan