Jokowi Buta Sejarah Bahaya Bisnis Tionghoa di Indonesia

Oleh: Sutoyo Abadi (Koordinator Kajian Politik Merah Putih)

Pada pertengahan abad ke-19, jumlah imigran Tionghoa masuk sudah mencapai seperempat juta orang. Jumlah ini terus meningkat hingga tahun 1930 Orang-orang Tionghoa yang jumlahnya makin banyak itu tinggal berkelompok di satu wilayah di bawah kontrol pemerintah Hindia-Belanda, biasa disebut “Pecinan”.

Saat itu di bidang sosial-budaya, mereka digabung dalam organisasi “Tiong Hoa Hwee Koan (THHK)”. Sementara, di bidang ekonomi, organisasi “Siang Hwee”, sebuah kamar dagang Tionghoa (Chineze kamer van koophandel) didirikan. Mereka selanjutnya tinggal untuk selamanya di Nusantara.

Hasrat China ingin menguasai Jawa seperti apa yang pernah dilakukan oleh Khubilai Khan tidak pernah surut dan padam.

Belanda tidak akan mampu menguasai Nusantara selama 350 tahun tanpa bantuan opsir China. China-lah sebenarnya yang melakukan dan melaksanakan order penindasan. Berabad abad Belanda mewariskan struktur ekonomi didominasi ke pedagang China.

Sejak jaman Belanda warga China sudah melakukan penyuapan kepada pegawai kompeni. Dengan minum minuman keras hingga memberikan regognitiegeld (uang uang dibayar setiap tahun yang dibayarkan sebagai pengakuan atas hak).

Penghianatan China di Nusantara, dalam sejarahnya terekam dengan terang benderang, antara lain :
– Menjadi kaki tangan Belanda dalam menjajah Nusantara.
– Menzalimi waga pribumi dengan sebutan Inlander dan digolongkan dalam kelas terbawah.
– Dalam pertempuran 10 November 1945 memberi ruang gerak sekutu. Tidak peduli dengan warga pribumi yang berlumuran darah.

Bahkan mengaktifkan prajurit kuncir yang kejam di kenal dengan Poh An Tui:
– Sebagai kaki tangan Belanda dalam pertempuran agresi pertama 21 Juli 1947.
– Mendirikan dan mendanai PKI Muso termasuk mensuplai senjata.
– Mendanai dan mendukung PKI DN Audit kemudian meletus G 30 S PKI.

Maka paska tragedi G 30 S PKI tersebut munculah Instruksi Presiden No. 14 tahun 1967 berisi antara lain pembatasan dan perayaan China. Disusul Surat Edaran No. 06/Preskab/6/67 tentang penggunaan nama Cina dan istilah Tionghoa/Tiongkok harus ditinggalkan.

Gerak gerik masyarakat China mendapatkan pengawasan ketat dari Badan Koordinasi Masalah China (BKMP) yang menjadi bagian dari Badan Koordinasi Intelijen (Bakin).

Muncullah Keputusan Presiden Kabinet No. 127/U/KEP/12/1966 tentang nama bagi masyarakat Cina. Beruntun keputusan Presiden Kabinet no. 37/U/IV/6/1967 tentang Kebijakan Pokok Penyelesaian masalah China.

Pada tahun yang sama muncul Surat Edaran Presidium Kabinet RI no. SE.06/PresKab/6/1967 tentang kebijakan pokok WNI asing dapam proses asimilasi terutama mencegah kemungkinan terjadinya kehidupan eklusif rasial. WNI yang masih menggunakan nama China diganti dengan nama Indonesia.

Sebagai pengkhianat mereka memegang teguh ajaran dan filsafat Sun Tsu, Seni Perang, dipelajari dengan tekun dan sungguh-sungguh. Politik bisnis, bisnis itu perang. Kalau pasar adalah medan perang maka diperlukan strategi dan taktik. Sun Tsu menulis :

“Serang mereka di saat mereka tak menduganya, disaat mereka lengah. Haruslah agar kau tak terlihat. Misteriuslah Agar kau tak teraba. Maka kau akan kuasai nasib lawanmu. Gunakan mata mata dan pengelabuhan dalam setiap usaha. Segenap hidup ini dilandaskan pada tipuan”

Kecelakaan sejarah terjadi, ketika kaum pribumi sedang terus terkena gempuran, keluarlah Instruksi Presiden No. 27 tahun 1998 tentang Penghentian Penggunaan Istilah Pribumi dan Non Pribumi . “Sebuah Keputusan yang menghilangkan akar sejarah terbentuknya NKRI”

Sementara PBB justru melindungi eksistensi warga Pribumi. Melalui Sidang Umum PBB 13 September 2007, mengakui bahwa setiap belahan bumi itu ada penduduk asli (Indigenous People = Pribumi) yang harus dijaga. Pada pendiri bangsa ini sudah berfikir untuk melindungi anak cucu dari kejahatan yang akan memusnahkannya. Disitulah lahir Pancasila dan UUD 45.

Di masa Presiden Gus Dur Instruksi Presiden No 14 / 1967 yang melarang etnis China merayakan pesta agama dan penggunaan huruf huruf China “dicabut”, dengan lahirnya Keputusan Presiden No. 6/2000, yang memberikan warga China kebebasan melaksanakan ritual keagamaan , tradisi, dan budaya kepadanya.

Di masa Presiden Megawati mengeluarkan Keputusan Presiden No. 19 tahun 2002, hari Imlek menjadi hari libur Nasional.

Pada Rapat Paripurna MPR RI tanggal 9 Desember 2001, amandemen ketiga UUD 45. Perjuangan bangsa dengan susah payah dijalani dan diperjuangkan tiba tiba berahir . Hak Indigenous People terkenal dengan “Trilogi Pribumisme dianggap tidak ada. Tidak lagi diakui Pribumi sebagai pendiri negara, penguasa dan pemilik negara”.

Pasal 6 ( 1 ) UUD 45 yang semula berbunyi : “Presiden ialah orang Indonesia ASLI” .. diganti menjadi : “Presiden dan Wakil Presiden harus warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagai Presiden dan Wakil Presiden”

Pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, lahir Keputusan Presiden no. 12 tahun 2014 tentang pencabutan Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera no. SE – 06/Pred.Kab/6/1967, isinya “kita tidak boleh menyebut CHINA diganti TIONGHOA atau komunitas TIONGHOA.

Sampai di sini mimpi “Khubilai Khan” sejak abad 13 terwujud dan berhasil menembus pusat kendali politik. Dipertontonkan kepada dunia warisan perjuangan bangsa di belokan, pagar negara dirobohkan, kaum pribumi akan dimusnahkan.

Peluang emas bagi warga khususnya keturunan China berlompatan mendirikan Partai Politik sudah diduga arahnya akan menguasai Nusantara

Dalam sejarah di Nusantara China terus sebagai penghianat bangsa dan negara. “Tentu tidak menafikan ada beberapa warga keturunan China tampil patriotik membela negara bahkan sebagai menteri”.

Tibalah sejarah mencatat di era Presiden Jokowi, negara sudah terbuka tanpa hambatan dengan dalih investasi masuklah TKA China tidak diwaspadai bahkan dilindungi dengan berbagai macam dalih sebagai tenaga kerja ahli dan macam dalih lainnya.

Ada keresahan masyarakat bahwa Indonesia sudah dekat bahkan sudah dikuasi RRC tidak bisa disalahkan dan tidak bisa diremehkan. Apalagi negara terperangkap hutang yang sangat besar dengan RRC dan warga China yang sering di sebut Oligarki sudah menguasai semua lembaga negara. Menguasai semua sektor ekonomi dan arah politik negara Indonesia.

Negara dalam bahaya – bahaya dan sangat bahaya, akibat dari pengendali, pengelola dan penguasa negara ini, masuk pada generasi yang buta sejarah, bahwa Cina sudah berabad-abad memang akan menguasai Indonesia, menemukan momentumnya di era Jokowi saat ini.