Penindasan Sang Presiden Terhadap Rakyat di Tanah Melayu

Oleh Memet Hakim Pengamat Sosial & Pertanian, Wanhat APIB & APP-TNI

Di tengah gonjang-ganjing pilpres dan kemarau Panjang, muncul persoalan baru yang sangat membuat kita semua geram, marah melihat kenyataan saudara-saudara kita di Batam, persisnya di Pulau Rimang, Kepulauan Riau ditanah keturunan para pahlawan Melayu seperti Hang Tuah, Hang Jebat, Hang Lekir, Hang Kasturi, Hang Lekiu yang diusir paksa dengan kekuatan aparat kepolisian. Konon kabarnya areal yang telah ditempati oleh Masyarakat lokal (Melayu) disana sejak tahun 1834 (jauh sebelum kemerdekaan RI), Pengusiran tersebut ditandai dengan adanya tembakan gas air mata, penduduk luka2 dan beberapa orang pemuda di tahan.

Ternyata dibelakang proyek yang bernilai Program Pengembangan Kawasan Rempang KPBPB Batam Provinsi Kepulauan Riau yang sempat tertunda agak lama itu bernilai 381 trilyun itu dilakukan PT Makmur Elok Graha (MEG), anak perusahaan Artha Graha milik Tomy Winata (Bisnis.com, 13.04,2023). Lagi-lagi salah satu dari 9 naga ini telah memperalat presiden dan polisi sebagai eksekutor pengambil alihan lahan tersebut.

Apalagi menurut presiden Jokowi, masyarakat yang diusir tersebut tidak diberikan ganti rugi, pantas saja rakyat melawan. Investor mungkin ingin medapatkan areal tersebut dengan sangat murah, cukup dengan memanfaatkan presiden dan apparat kepolisian.

Sungguh ini perbuatan yang jahat. Ini merupakan penjajahan baru lewat presiden yang dipilih oleh rakyat (mungkin termasuk rakyat yang diusir adalah pemilih Jokowi). Tomy Winata tentu tidak sendirian, dibelakangnya banyak para petinggi dan mantan petinggi yang bersedia melakukan apa saja jika diminta oleh cukongnya ini.
Bisnis.com, Batam, 10.09.2023 menulis : Sebanyak 3.000 kavling di Dapur 3, Sijantung, Pulau Galang akan menjadi rumah bagi warga Pulau Rempang, yang bersedia direlokasi imbas dari proyek pengembangan Rempang Eco-City. Satu rumah yang kena gusur akan diganti dengan satu rumah tipe 45 bernilai Rp 120 juta, begitu jga tanah pun diberikan seluas maksimal 500 meter persegi.

Tentulah itu tidak cukup, belum lagi sumber kehidupannya terganggu. Lihatkan kasus reklamasi di Pantai Utara Jakarta, wartawan saja tidak boleh lewat, apalagi penduduk lokal, pasti kehidupannya terganggu.

Pernyataan Kemenkunham, Menkopolhukam yang membela investor sungguh miris, mereka dibayar, digaji diberi fasilitas oleh rakyat tapi bekerja untuk investor. Ada kemiripan penggunaan aparat kepolisian di kasus Pulau Rempang, Dago Elos di Bandung, Wadas di Jateng, Morowali di Sulteng dan kasus perkebunan kelapa sawit di Kalimantan. Hal ini berdampak merugikan kepolisian itu sendiri. Rakyat akan melihat bahwa polisi itu adalah musuhnya rakyat, walaupun mereka tahu persis bahwa polisi itu hidupnya dari pajak yang dibayar rakyat. Kebutuhan pokok polisi dijamin oleh rakyat, pendapatan sampingan ini yang membuat polisi menjadi lupa diri. Sebenarnya polisi ini dididik untuk apa ? untuk membantu investor atau untuk melindungi rakyat ? Rasanya ada kesalahan doktrin di dalam pendidikan.

Yang lebih miris lagi adalah bahwa, Presiden Jokowi dengan pernyataan bahwa pulau Rempang milik Negara dan menegaskan tidak akan ada ganti rugi kepada rakyat di pulau Rempang, pernyataan ini hanya bisa keluar dari seorang penganut faham komunis. Apalagi dengan sisa kekuasaannya telah memerintahkan kepada Kapolri untuk mengganti Kapolda atau Kapolres yang dianggap tidak membantu investor. Ada apa pula gerangan ? Pemimpin seperti apa. Ingat Jokowi itu presiden RI, bukan presiden negara komunis yang bisa berbuat apa saja, tanpa perlu mempedomani UUD 45. Di negeri Panca Sila ini ada ‘budaya musyawarah dan mufakat”, bahkan prinsip dijadikan landasan hukum di negara ini. Jika landasan hukum tersebut dilalui tentu semuanya akan berjalan lancar. Tanpa itu presiden dapat disebut perampok tanah rakyat.

Ijin usaha dan ijin2 lainnya yang dikeluarkan oleh pemerintah tidak bisa merubah kepemilikan asset milik rakyat, sekalipun tidak ada surat2nya. Adat, kebudayaan lokal sangat paham akan hal seperti itu. Tanah adat itu tidak masuk sebagai tanah negara dalam arti negara yang memilikinya. Walau tanpa batas formal seperti patok2 agraria, masyarakat local tau persis batas kepemilikan lahan tersebut.

Pertanyaan lain mengapa Jokowi sangat getol memberikan karpet merah pada investor, tetapi dengan mengorbankan rakyat kecil ?. Apakah presiden secara pribadi mendapatkan keuntungan di dalam proyek2 seperti ini ? Kita tidak tahu, yang pasti sebentar lagi masa jabatan presiden akan berakhir (tahun 2024), tidaklah pantas mengenjot investasi yang jelas menguntungkan pengusaha dengan mengorbankan rakyat setempat.

Jika kasus Pulau Rimpang, Kasus Bandung Elos, Kasus Wadas, dll berjalan lancar, para pengusaha non pri ini akan semakin buas menguasai lahan rakyat di negeri kita. Mereka cukup membayar pejabat dan aparat dan sekedar biaya hiburan untuk penduduk setempat. Sepertinya rakyat Indonesia harus segera sadar dan menolak seperti yang dilakukan oleh rakyat Melayu di kepulauan Riau. “Memang sebaiknya Indonesia dibangun dengan memperhatikan kearifan & budaya local, buka dengan membawa budaya luar ke dalam negeri. Apa yang dipikirkan oleh para petinggi belum tentu sama dengan keinginan rakyat setempat”

Bandung, 11.09.2023