Menolak Pidato Presiden Jokowi

Presiden Joko Widodo (Jokowi) bakal menyampaikan pidato kenegaraan, pada 16 Agustus 2023, dalam Sidang Umum MPR. Pidato pada tanggal itu biasa dilakukan Presiden Soeharto. Namun, pidato kenegaraan Presiden Jokowi, kabar yang berhembus bisa ditolak.

Terkait rencana kegiatan Presiden Jokowi tersebut, Pengamat Intelijen dan Geo Politik Amir Hamzah, dalam zoom meeting Hizbullah Indonesia, menyatakan, dasar penolakan atas pidato kenegaraan Presiden Jokowi mengacu uraian alinea 3 UUD 45.

“Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.”

“Ada 2 hal yang selalu saya tekanan. Pertama, NKRI sekarang ini bukan lagi Negara Kesatuan Republik Indonesia tapi menjadi Negara Kehilangan Rahmat Ilahi,” sebut Amir, di kawasan Jakarta Selatan, Selasa (15/8/2023).

Dua, kemerdekaan yang kita tekankan berbicara soal kemerdekaan sebagai bangsa, kemerdekaan beragama. “Harus dibedakan warga dan rakyat,” tegas Amir.

Lalu, soal Hak Guna Usaha (HGU) 160 tahun untuk China, Amir menilai, sangat bertentangan dengan konstitusi. Lalu, masih menurut Amir, hal – hal yang dilakukan Presiden Jokowi ke China bertemu Xi Jinping dan memberikan konsesi serta 8 perjanjian dinilai telah mengkhianati konstitusi juga melanggar Konvensi Wina.

“Diharapkan apa yang kita lakukan bisa menjadi acuan para diplomat di Jakarta untuk mempertimbangkan tidak menghadiri pidato kenegaraan tersebut. Jika ada diplomat yang tidak hadir merupakan hal positif bagi perjuangan kembali ke UUD 45 dan makzulkan Presiden Jokowi,” kata mantan Staf Khusus Wapres Adam Malik ini.

Amir juga menilai, pelaksanaan ketatanegaraan dan pidato kenegaraan Presiden Jokowi hanya verba informa.
“Jadi wajib kita tolak,” tegas Amir.

Amir juga mengatakan, suara DPD RI yang sejalan dengan perjuangan kembali ke UUD 1945 yang murni.
Namun tersisa kabar juga, Sekjen Gerindra Ahmad Muzani, akan menolak kembali ke UUD 1945 yang murni.

“Jika La Nyala menyakan kembali ke UUD dan ditolak Sekjen Gerindra, maka akan ada instabilitas dalam parlemen,” ujar Amir.

Tak hanya itu, salah kaprah Presiden Jokowi tidak bisa menjaga persatuan sehingga ada 8 partai yang tanda tangan dengan PKC.

Masih menurut Amir, jika berhasil dimakzulkan maka harus dibentuk pemerintahan sementara. Hal tersebut merupakan langkah-langkah kenegaraan maka harus rezim bubar.

“Rezim Presiden Jokowi menolak atau menerima, rejim bakal masuk penjara dengan memanfaatkan Dekrit UUD 45 Mei 1959 yang hingga kini belum dicabut,” tegas Amir.

Sekadar informasi, hingga kini paling tidak ada dua komponen nasional yang tuntutan jelas, kembali ke UUD 1945 yang murni dan makzulkan Presiden Jokowi yakni Hisbullah Indonesia dan Petisi 100.

TNI Turun Tangan

Sementara itu, menurut Sri Edi Swasono, sejak menjadi anggota MPR 1992 – 2022, sudah menolak amandemen.

“Sudah rusak berat, bobrok dan tidak bisa diperbaiki. Kita harus kembali ke UUD 45. Saya sejak awal yang menolak IKN. Lalu, Azyumardi Azra,” terang Sri Edi.

Sri Edi mengaku, telah mengajar di Seskoad, Seskoabri dan Seskoal selama 22 tahun.

Menurut Sri Edi, UU No 7 tahun 2023 sangat memojokkan TNI dan Islam. Bagaimana sejarah bisa di balik?

“Kenegawaranan hilang. Pemakzulan Jokowi sangat tepat. Pelanggaran konstitusi berulang kali dilakukan Jokowi. Harus lengeser. Momentum 16 Agustus adalah memontum penting untuk menolak Pidato Jokowi.
Presiden Jokowi, monggo lengser. Saya yakin TNI turun tangan bersama rakyat dan menyatakan keadaan darurat,” tegas Sri Edi.

Rakyat bersama DPD Walk Out

Senada dengan dua tokoh di atas, Muslim Arbi menghimbau kepada DPD RI untuk kembali ke UUD 45 ditolak, DPD harus walk out dari ruangan sidang umum MPR

Menurut Muslim, MPR, DPR dan Presiden berdasarkan UU amandemen l memiliki posisi yang sama. Jadi tidak jelas pertanggungjawabannya.

“UUD Amandemen adalah UUD tipu – tipu. Kepada 9 fraksi jangan ada opsi lain, hanya kembali ke UUD 1945 yang murni dan pemakzulan!” tandas Aktifis senior ini.