Dilema Golkar

Oleh : Sholihin MS (Pemerhati Sosial dan Politik)

Golkar sedang mengalami tekanan yang sangat berat.

Pemanggilan Ketum Golkar Airlangga Hartarto oleh Kejaksaan Agung merupakan bagian dari upaya rezim Jokowi “menyandera” para Ketum partai Koalisi Pemerintah. Keikutsertaan Partai-partai politik kedalam Koalisi Pemerintah justru disandera untuk kepentingan Jokowi khususnya, dan PDIP unumnya.

Keputusan tepat dan bijaksana sangat diperlukan agar bisa menyelamatkan Golkar dari jebakan pilitik rezim Jokowi bahkan bisa meningkatkan perolehan suara di Pemilu 2024. Sebaliknya, jika Golkar salah mengambil keputusan, tahun 2024 perolehan suaranya akan merosot tajam.

Sebagai bahan evaluasi, perolehan suara Golkar di tahun 2019 merosot dari urutan kedua menjadi ketiga. Sebaliknya Partai Gerindra justru naik dari urutan ketiga menjadi kedua.

Tahun 2019 ada perubahan pada urutan kedua dan ketiga. Partai Gerindra ditetapkan sebagai runner up dalam kontestasi Pileg 2019 dengan perolehan suara 17.594.839 atau 12,57 persen suara.

Peringkat Gerindra naik satu tingkat dari hasil Pileg 2014 yang menempatkannya pada urutan ketiga. Pada 2014, Gerindra mendapatkan 14.760.371 atau 11,81 persen suara.

Sementara, Partai Golkar justru turun dari urutan kedua menjadi ketiga. Perolehan suaranya pada Pileg 2019 ini sebesar 17.229.789 atau 12,31 persen suara. Pada Pileg 2014, Partai Golkar mendapatkan 18.432.312 atau 14,75 persen suara.

Salah satu alasan penurunan suara Golkar di tahun 2019 adalah terlalu terwarnai oleh pengaruh Jokowi sehingga ciri khas dan karakteristik Golkar sebagai partai besar terselubungi oleh manuver-manuver PDIP sehingga Golkar berada di bawah bayang-bayang PDIP. Golkar menjadi partai yang kurang berani dan lincah.

Jika tahun 2024 Golkar masih “berlindung” di bawah kekuatan dan kekuasaan Jokowi dipastikan perolehan suara Golkar akan makin merosot.

Mengapa ?

Pertama, Pengaruh Jokowi sudah pudar

Ketika Litbang Kompas merilis hasil survey tentang pilihan rakyat terhadap partai-partai pendukung Jokowi tinggal 15% adalah sebuah fakta di lapangan kalau rakyat sudah tidak percaya lagi kepada Jokowi. Hasil survey lain yang independen tak jauh berbeda, seperti ILC, Google Trend, CNCB, dll.

Kedua, Citra buruk partai terhadap rakyat selama menjadi koalisi pemerintah, baik sebagai anggota kabinet maupun Anggota legislatif

Baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif di era Jokowi telah mendzalimi rakyat, menjadikan rakyat marah terhadap partai-partai pendukung pemerintah.

Ketiga, Jokowi 2024 dipastikan lengser dan hampir pasti akan diproses hukum

Sekalipun rezim Jokowi terus menerus membuat skenario memperpanjang kekuasaan, tapi rakyat sudah tidak menghendakinya. Hasil survey dari lembaga independen _Utting Research, Australia_ melaporkan bahwa 81% rakyat Indonesia ingin perubahan. Sehingga dipastikan, 2024 Jokowi lengser dan partai-partai yang semula setia dukung Jokowi akan cabut dari istana karena jika bertahan akan membawa bencana bagi partai.

Keempat, Anies effect

Anies telah menjadi tumpuan baru bagi rakyat Indonesia. Dan faktanya, Anies adalah antitesa Jokowi. Siapa yang dukung Anies maka akan didukung rakyat, dam siapa yang menjauhi Anies akan ditinggalkan rakyat.

Kelima, Kader dan grassroot dari koalisi KIB telah terang-terangan dukung Anies

Bahkan untuk Partai Golkar, bukan saja kader dan Grassroot nya yang telah dukung Anies, tapi para tokoh-tokoh besar, seperti Jusuf Kalla, Akbar Tanjung, dan kader-kader HMI Golkar telah mendukung Anies.

Itulah sebabnya Airlangga Hartarto sengaja menemui Anies, yang tujuannya tidak terlepas dari rencana dukungan Golkar ke Anies Baswedan. Tapi sikap Jokowi justru marah dengan tindakan Airlangga ini.

Jika Golkar tidak berani melawan Jokowi, nasib Golkar dipastikan akan makin ambruk. Tapi jika secara terang-terangan Golkar dukung Anies, Airlangga akan dikriminalisasi.

Jadi apa yang harus dilakukan Golkar ? Bermain cantik dan “licik” karena Jokowi adalah orang yang sangat licik. Kelicikan harus dihadapi dengan kelicikan (strategi).

Bandung, 14 Muharram 1445