Presiden di Alam Halusinasi

Oleh: Sutoyo Abadi (Koordinator Kajian Politik Merah Putih)

Ketika matahari terbenam dibawah cakrawala, ia meninggalkan berkas cahaya cemerlang yang layak di kenang. Kembalinya matahari selalu di inginkan

Goyang lidah politisi selalu terjadi : “Solitudinem faciunt pacem appellant ( mereka menciptakan kehancuran dan menyebutnya perdamaian”

Berhalusinasi sukses dan kemenangan yang semu adalah berbahaya. Jabatan sebagai presiden sering di akuinya sebagai kemenangan besar, lupa jabatan itu sesungguhnya kemenangan kecil , dan ketika lengah ditengah jalan akan mendatangkan kemalangan dan petaka bagi dirinya sebab ia menyimpang dari tatanan yang harus dilalui.

Presiden ditengarai akan mengakhiri jabatannya dengan buruk, bagian ahir yang kacau, tidak tuntas mungkin akan mengena dirinya hingga tahun tahun mendatang.

Semestinya menyadari untuk memperbaiki agar bisa mengakhiri dalam kondisi yang positif , berenergi dan penuh kasih karunia. Justru keadaan terus memburuk, beruntun melahirkan kebijakan yang menambah parah keadaan, terbaca dengan jelas tidak ada jalan keluar yang realistis .

Terjebak permainan Taipan oligarki terlalu dalam sampai kehilangan keyakinan diri larut dengan alam mereka yang akan berahir dengan kekacauan.

Melangkah terlalu jauh, membangun  infrastruktur jalan, IKN dll. Terobsesi mimpi besar pasak dari pada tiang, hanya dengan modal hutang sama buruknya dengan belum apa apa sudah jatuh.

Perkataannya sering terdengar indah menyenangkan, namun yang terjadi rakyat mencurigainya sebagai tidak tulus bahkan menilai itu hanya kebohongan, rakyat akan menutup diri terhadapnya.

Pikiran  presiden semata hanya berpikir kalah atau menang untuk terus berkuasa itu sangat berbahaya , pikirannya menjadi berhenti memandang jauh kedepan. Yang akan terjadi hanya bangga ketika menang dan pahit ketika kalah dengan segala resikonya yang menakutkan

Konflik pikiran yang sedang terjadi pada presiden adalah : “mimpi semua proyek ambisinya segera berahir dengan sukses, ketika impiannya meredup berbeda dengan  kenyataan , muncul emosi dan rekayasa ucapan seolah semuanya sudah benar dan penguasa berikutnya harus melanjutkan”

Sementara dirinya harus melewati garis finis masa jabatannya, ketika semua berantakan,  semua akan melahirkan masalah baru, dan menciderai dirinya .

Akhirnya akan dipaksa oleh keadaan, menyesali diri, menyerah dan mengakhirinya dengan bermacam macam segala resiko yang harus ditanggungnya

Jokowi akan menjadi korban dari dirinya sendiri, melangkah terlalu jauh diluar kepasitas dan kemampuannya menciptakan musuh yang akan memukul dirinya, melahirkan kekerasan dan penderitaan yang hebat jangka panjang

“Mengaku diri kemenangan dan keberhasilan di alam halusinasi – ketika akan mengakhirinya dengan buruk, itu tidaklah akan ada nilainya”