Indo-Pasifik: Tidak Mungkin Damai Tanpa Sejahtera

Perdamaian tidak mungkin terwujud bila kondisi rakyat miskin, korupsi merajalela, investasi sarat manipulasi, kerjasama internasional yang menyimpang dari konstitusi, diplomasi yang merusak kedaulatan negara, kerjasama bilateral dan multilateral yang merusak kedaulatan rakyat, penyelenggaraan pemerintahan yang dipengaruhi Komunisme Gaya Baru, kecurangan dalam pelaksanaan Pemilu yang selama ini terjadi di Indonesia.

Kondisi di atas, dalam pandangan Pengamat Kebijakan Publik Amir Hamzah berkaitan erat dengan upaya merumuskan perdamaian dan keamanan di Kawasan Indo – Pasifik yang tidak saja berkaitan dengan eksistensi serta realita dan fakta Indo – Pasifik, tetapi harus juga dilihat dalam kaitannya dengan pembentukan Australia, United Kingdom, United State (AUKUS) termasuk kaitannya dengan gerakan Melanisian Brotherhood.

Dua provinsi Papua Republik (Papua dan Papua Barat) diterima sebagai pengamat di Melanisian Brotherhood. Adanya kerjasama ekonomi Cina dengan Papua Nugini. Kerjasama pertahanan antara AS dengan Papua Nugini. Penempatan Stasiun Satelit Cina di Timor Leste. Fakta – fakta tersebut harus menjadi perhatian serius.

“Tumpuan Indnesia untuk merespons Indo – Pasifik, AUKUS, Melanisian Grup adalah Kawasan Timur Indonesia ,” ujar Amir.

Dalam rangka itu, pembangunan kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial di Kawasan Timur Indonesia (KTI) harus menjadi perhatian prioritas rejim Jokowi dan juga harus masuk dalam rencana strategis pasangan Capres dan Cawapres yang terpilih pada Pemilu 2024 nanti.

Menurut Amir, satu hal yang harus diperhatikan, karena kondisi geografis yang berbeda maka strategi pembangunan di Timur Indonesia tidak mungkin dan tidak bisa dilaksanakan dengan menggunakan paradigma dan metodologi pembangunan Jawa dan Sumatera.

Apabila pembangunan Jawa dan Sumatera merupakan pembangunan paradigma kontinental, maka pembangunan Kawasan Timur Indonesia dengan pendekatan kemaritiman. Dengan memanfaatkan seoptimal mungkin sumber daya kelautan dan potensi kemaritiman.

“Ini harus diperhatikan karena gangguan dari gerakan Indo – Pasifik, AUKUS maupun Melanisian Grup itu adalah dengan memperhatikan kelemahan kita dalam mengelola potensi kemaritiman dan sumber daya kelautan,” kata Amir.

Untuk itulah maka pengelolaan sumber daya minyak dan gas seperti Blok Masela harus dilakukan di darat bukan di laut.

Dalam konteks ini, maka penguatan Matra Laut dalam sistem pertahanan kita juga perlu diprioritaskan sehingga permasalahan seperti yang terjadi di Kabupaten Kepulauan Aru antara masyarakat adat dengan TNI AL dapat diselesaikan secara dini.

“Kondisi sosial politik sebagaimana terjadi di Kepulauan Aru, antara TNI AL dengan masyarakat adat, termasuk juga investasi pengelolaan nikel di Morowali dan Halmahera yang berlangsung tanpa kepedulian terhadap aspek kesejahteraan rakyat dan kondisi sosial secara nyata akan menjadi sumbu rusaknya perdamaian dan rasa aman di kawasan Indo – Pasifik karena suasana aman dan damai tidak mungkin terwujud bila masyarakat tidak sejahtera dan diberlakukan secara tidak adil,” pungkas Amir.