Modus Operandi Kriminalisasi Gus Nur akan Diadopsi dan Diterapkan pada Kasus Denny Indrayana?

Oleh : Ahmad Khozinudin, S.H (Advokat, Kuasa Hukum Gus Nur)

“Saya minta kepada Pak Dirtipidum dan Dirsiber untuk menangani kasus ini secara cepat, sehingga bisa menjawab tuntutan masyarakat agar kasus ini segera diselesaikan.” [Kabareskrim Polri, Komjen Pol Agus Andrianto, Senin, 26/6/23]

Pengadilan Negeri Surakarta telah mengirimkan Relaas Pemberitahuan Putusan Banding Gus Nur dengan perkara nomor: 271/PID.SUS/2023/PT SMG pada hari Rabu tanggal 14 Juni 2023 lalu. Segera setelah mendapatkan relaas resmi, kami selaku Penasihat Hukum telah mengajukan Permohonan Kasasi dan diterbitkan Akta Permohonan Kasasi oleh Pengadilan Negeri Surakarta pada pada hari Senin, tanggal 19 Juni 2023.

Penulis selaku ketua Tim Advokasi Gus Nur, telah berkoordinasi dengan Tim Penasihat Hukum yang ada di Solo yang dikoordinatori oleh Rekan Andhika Dian Prasetya, untuk menyerahkan memori Kasasi pada hari Senin, tanggal 3 Juli 2023. Rencananya Jum’at ini kami serahkan, namun ternyata jum’at layanan pengadilan tutup karena cuti bersama, sehingga penyerahan memori Kasasi kami undur hingga Senin (3/7).

Sekedar untuk diketahui bahwa Gus Nur sebelumnya oleh Pengadilan Tinggi Semarang telah divonis melakukan tindak pidana sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan karena membimbing Mubahalah Bambang Tri Mulyono terkait Ijazah palsu Jokowi, dan karenanya dijatuhi pidana selama 4 (Empat) tahun dan denda sebesar Rp400.000.000,00 (Empat ratus juta rupiah) dengan ketentuan jika denda tersebut tidak dibayarkan maka diganti dengan pidana kurungan selama 4 (Empat) bulan.

Vonis ini memang lebih ringan daripada vonis Pengadilan Negeri Surakarta yang sebelumnya memvonis Gus Nur dengan pidana 6 (enam) tahun penjara, karena dianggap terbukti mengedarkan kabar bohong yang menerbitkan keonaran. Hanya saja, turunnya vonis dari Pengadilan Tinggi Semarang ini tidak membuat kami puas, karenanya setelah berkonsultasi kepada Gus Nur, kami sepakat mengajukan Kasasi.

Info diatas hanyalah pengantar, sebelum penulis mencoba menganalisa kasus yang menimpa mantan Wamenkumham era SBY, Denny Indrayana yang saat ini dijerat dengan kasus pidana ‘kabar bohong’ soal ‘bocoran putusan MK’.

Belum lama ini, Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Polri Komjen. Pol. Agus Andrianto menginstruksikan agar penanganan perkara dugaan penyebaran informasi bohong (hoaks) yang dilakukan Denny Indrayana untuk diproses secara cepat. Menurutnya, kasus tersebut sudah menimbulkan kegaduhan di masyarakat.

Perkaranya saat ini ditangani oleh Direktorat Tindak Pidana Siber dan Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri. Status perkaranya pun telah ditingkatkan ke tahap penyidikan.

Artinya, Polri telah memiliki kesimpulan adanya peristiwa pidana pasal kasus bocoran putusan MK soal Pemilu Proporsional tertutup. Peningkatan status dari penyelidikan ke penyidikan, hanya dilakukan jika penyidik meyakini ada peristiwa pidana dalam kasus tersebut dan kemudian akan mengarah pada penetapan status tersangkanya.

Denny Indrayana sendiri telah mengetahui siapa yang akan disasar sebagai tersangka dalam kasus tersebut.

Denny lantas membela diri, bahwa dirinya yang mengungkap informasi soal putusan MK akan mengabulkan Proporsional tertutup tidak menimbulkan keonaran. Walau pada akhirnya, vonis MK proporsional tertutup.

Malahan, jika vonisnya proporsional terbuka akan menimbulkan keonaran sebab 8 partai di DPR RI jelas menolak sistem Pemilu proporsional tertutup. Meski lega, karena informasinya keliru, lega pula niat mengontrol agar putusan MK proporsional terbuka berhasil, Denny mengaku bahwa upayanya justru mencegah terjadinya potensi kekacauan.

Kalau sistem tertutup yang diputuskan, menurutnya akan muncul potensi deadlock, bahkan penundaan pemilu, karena putusan MK ditentang oleh 8 partai di DPR. Ungkap Denny.

Masih menurut Denny, menurutnya sudah ada bahasa akan memboikot pemilu, yang muncul dari parlemen. Upaya Denny bersama-sama dengan media yang memberitakan luas (memviralkan) komentarnya di socmed, terbukti bisa menjadi kekuatan suara publik menyelamatkan suara dan mayoritas aspirasi masyarakat Indonesia.

Terkait proses hukum di Bareskrim Polri, berdasarkan pengalaman penulis mengadvokasi sejumlah kasus kriminalisasi khususnya yang dialami Gus Nur, maka Penulis menduga Bareskrim Mabes Polri akan mengadopsi strategi kriminalisasi terhadap Gus Nur pada kasus Denny Indrayana, dengan modus operandi sebagai berikut:

Peggabungan penyidik dari Dirtipidum dan Dirpidsiber dalam penanganan kasus Denny Indrayana adalah dalam rangka untuk mengaktivasi Pasal pidana umum dan pidana ITE untuk menjerat Denny Indrayana.

Pasal pidana umum yang akan digunakan adalah Pasal 14 ayat (1) dan/atau ayat (2), atau pasal 15, UU No 1 tahun 1946 tentang Peraturan Pidana, untuk menjerat Denny Inderayana dengan Pasal mengedarkan kabar bohong yang menerbitkan keonaran dikalangan rakyat. Ancaman maksimumnya adalah 10 tahun penjara.

Pasal pidana khusus yang berkaitan dengan delik ITE yang akan digunakan adalah ketentuan Pasal 45A ayat (2) Jo Pasal 28 ayat (2) UU No 19 tahun 2016 tentang perubahan UU No 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ,(ITE). Dalam kasus ini, Denny akan dijerat dengan Pasal menyebarkan kebencian dan permusuhan kepada individu dan kelompok masyarakat berdasarkan SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan). MK nantinya akan dikualifikasi sebagai ‘Antar Golongan’ berdasarkan keterangan ahli bahasa.

Selanjutnya, pasal delik penyertaan karena Denny mengaku mendapatkan informasi dari sumber kredibel soal putusan MK akan diputus dengan sistem Pemilu Proporsional tertutup. Penyidik akan menerapkan ketentuan pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP sebagai jaring pamungkas untuk menjerat Denny Inderayana.

Selanjutnya, saat Denny nantinya naik pangkat menjadi tersangka maka Denny akan ditahan. Mengingat, ancaman pidananya lebih dari 5 tahun maka berdasarkan KUHAP penyidik akan memanfaatkan kewenangan untuk menahan Denny Inderayana.

Modus operandi tersebut diatas terjadi dalam kasus Gus Nur. Namun, dalam kasus Gus Nur ada tambahan pasal pidana penodaan agama berdasarkan Pasal 156a KUHP. Walau akhirnya, ditingkat PN Surakarta Gus Nur divonis 6 tahun karena pasal kabar bohong, di PT Semarang dianulir dan dikenakan pasal ITE dengan vonis 4 tahun, sementara pasal penodaan agamanya tidak terbukti baik di PN maupun di PT.

Penulis kira, Denny Inderayana telah menyadari resiko kriminalisasi ini. Kita semua tentu mendukung Denny dan berharap Denny tidak masuk angin saat ditetapkan sebagai Tersangka, dan berkompromi dengan rezim Jokowi. Status Denny yang berada di Australia, penulis kira akan memberikan dampak imunitas hukum dan perlindungan dari potensi ‘pencidukan oleh Bareskrim’, berbeda dengan Gus Nur yang kala itu langsung ditangkap setelah berstatus Tersangka karena berada dalam wilayah yurisdiksi Indonesia.