Eks Presidium GMNI: Manuver Moeldoko Begal Demokrat Diduga tak Lepas dari Pengaruh Kekuasaan Jokowi

Kepala KSP Moeldoko yang berani membegal Partai Demokrat diduga tak bisa dilepas dari pengaruh kekuasaan Joko Widodo (Jokowi).

“Manuver Moeldoko sebagai kepala KSP yang membegal Demokrat diduga tak lepas dari pengaruh kekuasaan Jokowi,” kata Eks Presidium GMNI Yusuf Blegur dalam pernyataan kepada redaksi www.suaranasional.com, Senin (5/6/2023).

Kata Yusuf, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) harus berjuang menghadapi dugaan konspirasi Jokowi dan Moeldoko yang ingin merebut Partai Demokrat. “Sekelas SBY seorang mantan presiden yang berasal dari TNI, tak akan diam saat partai Demokrat besutannya diobok-obok Moeldoko dan merampoknya menggunakan MA yang menjadi alat kekuasaan,” jelasnya.

Dalam drama action partai Demokrat, kata Yusuf, rakyat akan menunggu keputusan Jokowi, memilih menjadi begawan atau menjadi penguasa yang menindas. “Bisa saja ini menjadi pengulangan sejarah yang menyelimuti setiap pergantian kekuasaan setiap rezim di republik ini,” tegas Jusuf.

Ketua Mahkamah Konstitusi 2003-2008, Prof. Jimly Asshiddiqie mengatakan Presiden Joko Widodo sebaiknya memecat Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko, agar tidak menimbulkan citra buruk. Sebab, seorang KSP mestinya melayani presiden dan bukannya mengurusi partai.

Sebelumnya, ada tudingan Partai Demokrat soal adanya gerakan politik yang melibatkan pejabat di lingkaran Presiden Joko Widodo dan ingin merebut kekuasaan pimpinan Demokrat secara inkonstitusional. Denny Indrayana mengatakan cawe-cawe politik paling nyata Jokowi terlihat dari dugaan pengambilalihan atau ‘pencopetan’ Partai Demokrat oleh Moeldoko.

Soal cawe-cawe Jokowi, Jimly mengatakan tidak masalah. Ia mencontohkan Barack Obama mendukung Hilary Clinton dalam pemilihan presiden Amerika Serikat. Jimly mengatakan tidak ada larangan jika Presiden Joko Widodo cawe-cawe untuk memilih penggantinya. Namun, menurutnya ini bukanlah tanggung jawab seorang presiden. Apalagi, budaya feodal masih begitu kuat di negara kita.

Upaya pengambilalihan kepemimpinan Partai Demokrat yang melibatkan Moeldoko diawali konferensi pers yang digelar Agus Harimurti Yudhoyono/AHY pada 1 Februari 2021.

Setelah itu, Kongres Luar Biasa (KLB) digelar di Deli Serdang dan menetapkan Moeldoko sebagai Ketua Umum pada 5 Maret 2021.

Merespons hasil KLB itu, Menkumham Yasonna H. Laoly mengumumkan pemerintah menolak permohonan pengesahan kepengurusan Partai Demokrat versi KLB Deli Serdang pada akhir Maret 2021.

Yasonna mengatakan dari hasil verifikasi, terdapat beberapa dokumen yang belum dilengkapi, antara lain dari perwakilan DPD, DPC serta tidak adanya mandat dari Ketua DPD dan DPC.

Setelah itu, berbagai gugatan dan upaya hukum pun dilayangkan oleh kubu Moeldoko untuk mendapatkan legalitas. Namun, berulang kali ditolak pengadilan.

Moeldoko sempat menggugat Menkumham ke PTUN DKI Jakarta terkait dengan penolakan pengesahan perubahan susunan kepengurusan DPP Partai Demokrat masa bakti 2020-2025 dan pengesahan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Partai Demokrat. Namun, gugatan itu kandas.

PTUN beralasan tidak mempunyai kewenangan untuk mengadili perkara yang menyangkut internal partai politik.

Upaya hukum Moeldoko juga kandas di tingkat Pengadilan Tinggi TUN dan Mahkamah Agung (MA) hingga akhirnya Moeldoko mengajukan PK.

Permohonan PK tersebut sudah masuk dan masih dalam proses untuk diadili oleh MA.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News