Oleh : Sholihin MS (Pemerhati Masalah Sosial dan Politik)
Indonesia terus dirundung musibah tanpa henti. Banjir di berbagai kota yang tak kunjung surut, kebakan terjadi di berbagai tempat (termasuk depo Pertamina), pembunuhan imam masjid terus terjadi, krisis ekonomi terus membelit rakyat, PHK massal di mana-mana, kedaulatan Indonesia terus dirongrong China, dll.
Ini semua akibat pengelolaan negara dipimpin oleh orang-orang yang bukan ahlinya. Sabda Nabi saw: “Jika suatu urusan diserahkan kepada orsng yang bukan ahlinya, tunggulah kehancurannya.”
Selain secara kualitas kompetensi mereka adalah orang-orang yang tidak layak, mereka juga membawa karakter akhlak dan moralitas yang rusak.
Pencanangan Revolusi Mental oleh Jokowi gagal total, karena selain tanpa konsep yang matang, yang terutama menjadi sumber kerusakan moral justru berasal dari pemimpinnya, yaitu Jokowi sendiri. Sehingga aparat yang di bawah menjadi tidak jujur dan tidak bisa dikendalikan oleh atasan. Di era Jokowi berlaku motto : maling teriak maling atau jarkoni (iso ngajar ora iso nglakoni)
Hampir semua lembaga di era Jokowi kacau balau, bukan saja Direktorat Pajak yang dipenuhi koruptor, tetapi jugs BUMN di bawah Erick Tohir, yang di bawahnya ada Pertamina, apalagi setelah dipegang Ahok sangat kacau balau. Di era SBY, pertalite cuma 4500/liter, sekarang sudah 10.000/liter. Juga PLN yang dikelola tanpa orientasi terhadap kesejahteraan rakyat. Di era SBY, tarif listrik 900 watt cuma 60-70 rb, di era Jokowi sudah 330 rb (naik 5x lipat).
Jika Jokowi lengser bukannya mewariskan kemajuan, keadilan dan kesejahteraan, tapi keterpurukan. Hampir semua aspek kehidupan di rezim ini berantakan. Buta dan tidak sesuai realita kalau ada orang yang memuji-muji rezim Jokowi karena keberhasilannya.
Mari kita analisa beberapa aspek saja :
Pertama, Ekonomi mikro yang hancur lebur
Mrmang ditinjau dari sudut ekonomi makro, Indonesia ada pertumbuhan. Menurut Direktur Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi (PPKE) Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Brawijaya (FEB UB) Candra Fajri Ananda menyebutkan bahwa secara makro, kondisi ekonomi Indonesia masih lebih baik dibandingkan dengan negara lain (maksudnya yang mengalami kemerosotan, pen)
Tapi apa artinya ekonomi makro bertumbuh jika ekonomi mikro terpuruk ? Ekonomi mikro berkaitan langsung dengan hajat hidup rakyat, mulai dari geliat usaha yang lesu, daya beli masyarakat yang rendah, mencari kerja sulit, PHK massal di mana-mana, harga-harga barang melambung, sampai sulitnya mendapatkan bahan pokok dengan harga terjangkau.
Kedua, Korupsi di era Jokowi meraja lela dan jor-joran
Sepertinya di era Jokowi korupsi sudah mendarah daging dan jadi budaya. Mulai dari pemimpin tertinggi sampai yang terendah terbiasa korupsi. Mulai dari keluarga Jokowi, keluarga Megawati, para pimpinan dan anggota lembaga tinggi negara, para Menteri kabinet, para anggota Dewan ‘yang tercela’ (tidak layak disebut terhormat), para Ketum Parpol (tidak semuanya), sampai kepada pegawai eselon bawah dan terbawah. Sepertinya semua instrumen hukum di Indonesia saat ini benar-benar mandul, tidak bisa menjerat para koruptor (besar) secara frontal, sistemik dan efektif-efisien. KPK, MK, Kejaksaan, Pengadilan Negeri, MA, dan Kepolisian menjadi lahan korupsi yang massif.
Kasus korupsi yang menimpa pegawai pajak, Rafael (pegawai eselon III) hanyalah sebuah ledakan dari puncak gunung es. Padahal di bawah gunung penuh dengan aparat yang korupsi.
Ketiga, Kriminalissi para ulama dan tokoh perubahan yang sangat biadab
Sikap “islamopobia” dari rezim ini telah menempatkan Islam dan pengamal Islam yang istiqamah bukan sebagai mitra, apalagai referensi, tapi malah dijadikan sebagai “musuh” negara. Bahkan ada statemen dari Ketua BPIP, Yudian Wahyudi bahwa Agama adalah musuh Pancasila. Demikian juga statemen yang disampaikan Puan Maharani dari PDIP, bahwa Agama menghambat kemajuan. Makanya, dalam pandangan Megawati istiqamahnya Ibu-ibu ikut pengajian itu hal yang buruk, karena akan menelantarkan anaknya (stunting?).
Para ulama, sebagai anak-cucu para pahlawan kemerdekaan dan pendiri bangsa ini, yang nota bene telah berjasa kepada bangsa Indonesia malah dikucilkan, dipersekusi, dan dikriminalisasi.
Keempat, Penegakkan hukum di era Jokowi sangat kacau
Hukum dipermainkan, banyak yang terjerat hukum tapi tidak ada sanksi. Hukum tidak lagi menjadi sakral yang dihormati oleh semua warga Indonesia, tapi sudah jadi alat kepentingan penguasa. Undang-undang dilanggar, konstitusi berkali-kali dilanggar oleh Jokowi tapi dibiarkan saja oleh MPR. Hukum suka-suka. Suka-suka membuat amandemen, suka-suka membuat hukum baru yang pro oligarki taipan, bukan lagi pro rakyat. Suka-suka membuat Perppu dan Kepres seenaknya sendiri saja. Hukum di era Jokowi hanya tajam kepada oposisi dan pengkritik Pemerintah, tapi tumpul kepada penjilat dan pendukung rezim.
Kelima, Keadilan dan Kesejahteraan masih jauh api dari panggangnya
Hanya di era Jokowi kehidupan semakin sulit, keadilan menjadi barang langka, dan kesejahteraan makin hari makin sengsara dan menderita. Bukan itu saja, rakyat terus diperas dan dihisap darahnya sampai hampir kering. BBM makin tak terjangkau, pajak rakyat terus diulik agar menambah pemasukan negara, tidak peduli rakyat makin tercekik atau tidak. Ada dua kehebatan Menteri Keuangan kita, Sri Mulyani : 1. jago ngutang tak terkendali, 2. Terus menaikkan pajak rakyat dan terus mencari agar semua jenis usaha dipajak, termasuk bagi pedagang kecil.
Hanya orang-orang yang telah nenikmati enaknya uang yang tidak halal dan mencekik rakyat yang memuji-muji kepemimpinan Jokowi. Bagi rakyat dan orang-orang yang waras (akal sehatnya) bisa menyaksikan bahwa Jokowi telah gagal dalam mengelola negara.
Semoga segera turun pertolongan Allah sehingga kelengseran Jokowi bisa dipercepat sehingga Indonesia bisa segera keluar dari krisis multidimensi.
Bandung, 16 Sya’ban 1444